Menjelang Cuti, Danny Berpesan: ASN Profesional Dalam Bekerja, Netral Dalam Pilkada


 Pilkada serentak tahun ini semakin menampakkan proses demokrasi yang semakin maju dengan berbagai dinamika yang mengiringinya. Salah satu yang sering menjadi sorotan oleh berbagai pihak dalam pesta demokrasi lima tahunan ini, yakni konstituen. Tak jarang konstituen ini menjadi penentu kemenangan, begitupun sebaliknya konstituen terkadang menjadi faktor penghambat.

Salah satu sebabnya yaitu adanya kategorisasi konstituen. Pembagian kategori pemilih berdasarkan profesi, tingkat intelektual, hingga kehidupan sosial ekonomi turut mempengaruhi pilihan seseorang dalam menentukan pemimpin daerahnya. Selain itu, terkadang terdapat “pelarangan” bagi profesi tertentu yang dalam politik praktis. Diantaranya ialah pejabat pemerintahan atau aparatur sipil negara (ASN).

Bagi petahana, tentu ASN ini akan menjadi bumerang dalam setiap pelaksanaan pilkada. Sebab, terkadang muncul stigma atau tudingan pelanggaran pilkada, diantaranya terkadang petahana dianggap memobilisasi ASN untuk mendukung dirinya sebagai kandidat pemilihan kepala daerah. Hal ini dapat diamati pada masa orde baru, dimana banyak pegawai negeri yang terlibat dalam politik praktis. Mereka berasal dari golongan militer (ABRI) ataupun pejabat pemerintah. Mulai dari tingkat pusat hingga daerah, pusat kota hingga daerah terpencil, masyarakat kelas atas hingga masyarakat kasta terendah.

Semua komponen masyarakat dituntut untuk membantu pemerintah orde baru dalam melanggengkan kekuasaannya. Pelaksanaan pemilu berlangsung penuh dengan intrik, sehingga pelaksanaannya dinilai cukup demokratis, namun kenyataannya sungguh berbeda. Belajar dari pelanggaran-pelanggaran pilkada pada masa orde baru tersebut, dituntut peran aktif dari Bawaslu (badan pengawas pemilu) dalam mengawal pilkada yang akan dilaksanakan tahun ini.

Berkaca dari adanya pelanggaran diatas, dalam pemilihan walikota Makassar kali ini petahana sepertinya sudah sangat paham dengan kondisi itu. Sehingga jauh hari sebelum pemungutan suara berlangsung, Sang Walikota sudah memberikan peringatan dini bagi para aparatur sipil dalam lingkup kerjanya. Hal itu terlihat dengan diterbitkannya instruksi walikota Makassar, Nomor 060/32/Ortala/XI/2017. Terbitnya instruksi tersebut bertujuan untuk menjaga Netralitas Aparatur Sipil Negara dalam Pemilihan Walikota (Pilwalkot) Makassar pada 2018 mendatang.

Latarbelakang diterbitkannya instruksi walikota makassar tersebut juga sebagai wujud komitmen kerja Mohammad Ramdhan Pomanto sebagai Wali Kota Makassar. Guna mewujudkan ASN yang memiliki integritas, professional, netral, dan bebas dari intervensi politik (rakyatku.com)

Ketika berkaca pada aturan tata pelaksanaan pemerintahan, memang sudah seharusnya pesta demokrasi lima tahunan ini, tidak mengganggu pelayanan aparatur pemerintah bagi warga Makassar. Sebab, profesionalisme harus dikedepankan dari segala kepentingan lainnya, termasuk kepentingan politik.

Selain tuntutan profesionalisme, pemerintah juga telah menyiapkan sanksi bagi ASN yang terlibat dalam politik praktis. Sesuai dengan surat Menteri PANRB No. B/71/M.SM 00.00/2017 yang dikeluarkan pada 27 desember 2017, berbagai tingkatan sanksi bagi ASN yang terlibat dalam politik praktis. Sanksi menanti terdapat beberapa tingkatan sesuai dengan jenis pelanggaran.

Tingkat sanksi bagi pelanggar berupa teguran, penundaan gaji, penundaan kenaikan pangkat, penurunan pangkat, pencopotan jabatan hingga pemecatan secara tidak terhormat (beritagar.id)

Sebagai pekerja profesional, tentunya tidak ada yang mengharapkan sanksi seperti yang telah dikemukakan diatas. Tentu tidak ada pula yang menginginkan menjadi korban pilkada. Olehnya, bagi warga Makassar yang berstatus ASN hal ini mestinya menjadi pertimbangan ketika ingin melibatkan diri dalam politik praktis. Yang terpenting ialah ASN dapat bekerja secara profesional dan netral dalam pilkada.