Kearifan Lokal Perkotaan


Oleh Ahmad Yani*

“Think globally act locally” berfikir secara global namun tetap bertindak sesuai dengan budaya. Itulah kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan warisan bangsa yang seharusnya dilindungi dan dilestarikan. Keraf (2002), menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib.

Namun nampaknya, posisi kearifan lokal mengalami benturan dengan modernisasi perkotaan. Sikap modernisasi telah mengeliminasi kearifan lokal di perkotaan. Begitupula pembangunan yang dilakukan di perkotaan telah banyak menggusur kearifan lokal setempat misalnya, gaya bangunan yang berkiblat ke barat, penggusuran tempat tinggal warga, reklamasi pantai sehingga menghilangkan mata pencarian warga. Dan lebih mengkhawatirkan lagi bahwa pembangunan yang hanya bertujuan untuk mengekplorasi sumber daya alam yang ada (use oriented law).

Filosofi Kearifan Lokal

Kearifan lokal perlu dipahami sebagai hal yang “suci”, ia adalah nilai-nilai kemajemukan yang dturunkan oleh Sang Pencipta kepada ciptaan-Nya. Nilai-nilai kemajemukan mendorong manusia bertindak dalam melakoni hidup dan kehidupannya.

Pada prinsipnya jika kita berbicara mengenai nilai-nilai, maka menurut perspektif penulis nilai dapat dibagai dalam dua bagian, yaitu nilai-nilai mutlak dan nilai-nilai relatif. Maksud dari nilai-nilai mutlak ini diartikan oleh penulis sebagai nilai dasar kemanusian yang bersifat universal yang dibawa sejak lahir sampai meninggal dunia. Setiap manusia memiliki nilai-nilai mutlak yang terpatri dalam dirinya dan bentuknya sama dengan manusia lainnya. Misalnya, nilai kasih sayang (penyayang). Semua manusia di mana pun ia berada dengan latar belakang apapun pasti menyukai nilai tersebut. Nilai-nilai mutlak ini hadir dalam diri manusia, karena pada dasarnya manusia hanya diciptakan oleh satu Dzat Pencipta yaitu Tuhan.

Logika sederhananya, bahwa jika manusia hanya diciptakan oleh Pencipta Yang Satu maka disetiap ciptaan-Nya (manusia) pasti merepresentasikan secuil dari sifat pencipta-Nya. Oleh karena Tuhan memiliki sifat Maha Penyayang, maka tentu ciptaan-Nya pula menyukai sifat tersebut.

Adapun yang dimaksud sebagai nilai relatif adalah nilai yang diturunkan oleh Tuhan kepada setiap manusia sebagai tanda bahwa Tuhan juga memberikan kebebasan kepada manusia untuk bertindak namun tidak keluar dari nilai-nilai mutlak tadi. Nilai-nilai relatif ini, masing-masing dimiliki oleh sekelompok orang yang berbeda satu sama lain. Misalnya daerah A memiliki nilai relatif berupa nilai X yang dipraktekkan dan dianggap sebagai ciri identitas daerah. Begitupula misalnya daerah B memiliki nilai relatif berupa nilai Y, yang tentunya tidak sama dengan nilai relatif daerah A.  Nilai relatif inilah yang menyusun kearifan lokal di suatu daerah, yang tentunya berbeda dengan daerah yang lain. Jadi, karena nilai kearifan lokal ini merupakan nilai yang diturunkan oleh Tuhan maka tentu nilai ini perlu dianggap nilai yang “suci”— bukan Maha Suci— dan oleh karena “suci” maka setiap manusia wajib melestarikan dan melindungi dari bentuk apapun.

Realitas Pelaksanaan Nilai Kearifan Lokal di Perkotaan

Kearifan lokal hampir tidak bisa lagi diidentifikasi di masyarakat perkotaan. Struktur dan pola kebiasaan masyarakat perkotaan yang cenderung modern telah menyapuh bersih kearifan lokal masyarakat di perkotaan. Contoh sederhana misalnya rasa kekeluargaan yang bahkan tetangga samping rumahpun kebanyakan tidak saling mengenal. Misalnya pula—yang lagi tren—adalah sikap oknum pengantar jenazah di jalan raya, yang tidak bisa dibedakan mana supporter sepakbola dan yang mana pengantar jezanah—rupanya kematian belum menjadi nasihat terbaik baginya.

Terlepas dari celotehan di atas, secara fisik banyak pembangunan yang tidak mengindahkan aspek kenyamanan dan ketentraman. Tidak ada spesifikasi daerah tertentu misalnya untuk jenis bangunan A dengan jenis bangunan B dan seterusnya. Bahkan kantor-kantor pemerintah tak sedikit di sampingnya adalah tempat perbelanjaan yang justru akan sedikit-banyak berpengaruh bagi kontrentasi pejabat dalam melayani masyarakat.

Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar kota di negara-negara berkembang belum dapat berfungsi sepenuhnya dan peranannya.sebagai wadah konsentrasi pemukiman dan sebagai pusat kegiatan-kegiatan sosial-ekonomi masih kurang memuaskan. Kebutuhan masyarakat perkotaan sangat banyak dan beraneka ragam jenisnya. Tetapi, kemampuan penyediaan fasilitas dan pelayanan yang diperlukan serta kurangnya perhatian terhadap kearifan lokal setempat menyebabkan ketidakseimbangan dan ketimpangan tersebut sehingga menimbukan permasalahan.

Secara umum masalah perkotaan dapat dibagi dalam beberapa kelompok permasalahan seperti di bawah ini. Pertama, keadaan lingkungan fisik perkotaan (urban setting) kurang memadai, antara lain laju pertumbuhan yang cepat dan tidak terencana dengan baik, sikap hidup para pendatang baru masih asing dengan tata kehidupan kota, penciptaan lapangan pekerjaan yang terbatas, kebutuhan perumahan meningkat, dan masih banyak lagi. Kedua, perencanaan dan program pembangunan kota serta koordinasi pelaksanaannya masih mengalami berbagai kelemahan. Disadari bahwa penyusunan rencana perkotaan yang tersistematis dan memerhatikan kearifan lokal setempat adalah tidak mudah. Ketiga, sarana penunjang yang tersedia seringkali belum dimanfaatkan, prasarana dan sarana perkotaan yang masih relatif terbatas. Di samping itu keahlian dan keterampilan yang berada di perguruan tinggi, data dan informasi, pengalaman-pengalaman, potensi sumber pembiayaan dan lain sebagainya belum sepenuhnya dimanfaatkan. Keempat, partisipasi masyarakat dari lapisan atas sampai lapisan bawah untuk menunjang pembangunan kota belum dikembangkan secara luas atau dengan kata lain masyarakat hanya sebagai pihak penerima (receiver) yang pasit. Kelima, nilai dan norma serta tertib pergaulan masyarakat (kearifan lokal) tidak terakomodir dengan baik melalu perencanaan pembangunan.

Kearifan Lokal atau Pembangunan?

Adanya krisis multidimensional yang kebanyakan negara-negara berkembang alami, dengan pola hidup masyarakat berbasis kearifan lokal maka krisis tersebut tidak begitu terasa. Di sisi lain, sebagaimana kita ketahui bahwa kita tidak bisa menutup diri terhadap laju pembangunan yang ada, dengan mamandang sebelah mata proses pembangunan yang sedang berjalan. Dengan pembangunanlah akan mempermudah segala aktivitas dan kebutuhan manusia. Oleh karena itu, bertitik tolak pada pentingnya kearifan lokal dan begitupulah pentingnya pembangunan di suatu daerah, namun kedua hal ini secara de facto sulit untuk disatukan, maka kita harus memilih yang mana?

Jika kita bijak dalam memahami permasalahan ini, tidak mesti ada yang harus dikorbankan, misalnya memilih pembangunan namun menggusur kearifan lokal, atau sebaliknya mempertahankan kearifan lokal lalu menghambat pembangunan. Menurut hemat penulis, sudah semestinya kedua hal ini disatukan sebagai energi rekontruksi pembangunan kota yang berkualitas.

Sudah saatnya kearifan lokal terintegrasi dalam sistem permbangunan perkotaan baik penataan masyarakat maupun penataan sarana dan prasarana. Pembangunan harus mampu mengakomir berbagai nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat. Misalnya, model bangunan perkantoran dan tempat umum yang ditata dengan model arsitektur khas budaya setempat.

*Penulis Merupakan Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Unhas