“Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Abraham Lincoln)
Kutipan diatas merupakan penggambaran jika dalam proses demokrasi suara rakyatlah yang berdaulat. Olehnya, jika dalam pilkada yang juga merupakan bagian dari proses demokrasi hanya terdapat satu kandidat, yakinlah ada suara rakyat yang tidak tersalurkan.
Kotak Kosong Dalam Kamus Demokrasi Indonesia
Kotak kosong merupakan hal baru dalam pesta demokrasi di Indonesia. Meski demikian, dalam proses mencari pemimpin dalam laboratorium demokrasi telah diperaktekkan. Hasilnya pun beragam, ada yang berhasil mengalahkan kotak kosong dan adapula yang berhasil dikalahkan oleh kotak kosong. Meski bersifat abstrak, namun kotak kosong di beberapa daerah mampu menggaet para pendukung dan simpatisan.
Meski masih menuai pro-kontra dimasyarakat, namun proses seperti ini dijalankan di setiap daerah yang hanya memiliki satu kandidat dalam pilkada. Berdasarkan putusan Mahkamah konstitusi, hal tersebut dibolehkan yang kemudian diatur dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (mediaindonesia.com). Undang-undang ini kemudian direvisi menjadi undang-undang pemilu.
Aturan mainnya, menurut UU Pilkada No. 10 tahun 2016, calon tunggal dinyatakan menang jika mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari suara sah. Namun, apabila kurang dari 50 persen dari suara yang sah, maka yang menang adalah kolom kosong.
Pelajaran demokrasi dengan model seperti ini telah diterapkan dibeberapa daerah pada pilkada serentak tahun 2015 lalu, misalnya di Pilkada Tasikmalaya dan beberapa daerah lainnya. Hal ini dinilai oleh beberapa pihak jika sebagai bentuk tidak berjalannya proses demokrasi dengan baik. Tidak berjalannya proses kaderasisasi dan pembelajaran politik dalam parpol dan berbagai bentuk spekulasi lainnya.
Hal ini juga tentu berdampak bagi calon tunggal dalam pilkada. Seperti yang disampaikan oleh salah satu Doktor Sosiologi Dari Universitas Padjadjaran, Jannus TH Siahaan. Menurutnya ada beberapa hal yang dapat dirasakan oleh kandidat yang melawan kotak kosong. Pertama, pastilah bahagia karena kemenangan langsung ada di depan mata. Kedua adalah bangga, sebab tidak ada kandidat lain yang bisa “melawan” dirinya dalam pilkada. Ketiga, semestinya ada jenis perasaan ketiga yang dirasakan oleh kandidat yang akan berhadapan dengan kota kosong, yakni malu (news.detik.com)
Gagalnya Kotak Kosong Dalam Pilwalkot Makassar
Dalam pemilihan kepala daerah di SulawesI Selatan, terdapat pula beberapa daerah yang hanya memiliki satu kandidat. Misalnya Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Bone yang keduanya merupakan Incumbent. Selebihnya, dibeberapa daerah terdapat dua atau lebih kandidat yang akan bertarung. Khusus daerah makassar, pemilihan Walikota dan Wakil-Walikota Makassar akan dilaksanakan Head To Head, yakni Petahana Danny-Indira (DIAmi) dan Penantang Appi-Cicu (ACO).
Pasangan dari incumbent maju melalui jalur independen ditambah dukungan dari Partai Demokrat. Sementara penantang lolos melalu jalur parpol dengan koalisi “gemuk” yakni didukung 10 parpol. Dengan diadakannya sidang pleno oleh KPU Kota Makassar serta menetapkan dua pasangan calon pekan lalu masih menuai pro kontra. Salah satunya ialah munculnya pertanyaan oleh publik terkait hanya dua pasangan calon yang lolos. Hal inilah yang banyak memunculkan berbagai macam spekulasi. Misalnya tidak terdistribusinya dukungan parpol dengan baik. Atau adanya dominasi satu kandidat dengan memborong semua rekomendasi partai.
Persoalan kedua yakni adanya upaya yang terus dilakukan oleh pihak penantang dalam menjegal petahana dalam kontestasi Pilwalkot kali ini. Beberapa hari lalu Kuasa hukum pasangan Appi-Cicu mendatangi Panwaslu Kota Makassar menuntut pembatalan pasangan calon Walikota dan Wakil-walikota Makassar Danny-Indira. Tak tanggung-tanggung, pasangan Appi-Cicu memborong setidaknya 100 pengacara menuntut pembatalan pencalonan Danny-Indira. Meski pada akhirnya hasil musyawarah majelis sidang sengketa pilkada kota makassar menolak gugatan tersebut.
Gugatan yang dilayangkan oleh pasangan Appi-Cicu yakni menganggap pasangan petahana melakukan pelanggaran pemilu. Meski semua gugatannya ditepis oleh Panwaslu Kota Makassar. Berdasarkan keterangan Humas Panwas Kota Makassar, Moh.Maulana, SH.MH
Penolakan pembatalan itu dengan mempertimbangkan beberapa hal. pertama, karena pemohon tidak memenuhi kedudukan sebagai pihak pemohon, dengan mempertimbangkan, bahwa objek sengketa harus memuat keputusan dan berita acara, sementara pihak pemohon tidak memenuhi unsur tersebut. Kedua mempertimbangkan bahwa permohonan pemohon tidak satupun memuat cacat adminstrasi dalam penerbitan keputusan KPU Kota Makassar (metrotimur.com)
Kegagalan tim kuasa hukum pasangan Appi-Cicu merupakan kegagalan pula bagi “Kotak Kosong” dalam Pilwalkot Makassar. Sebab, andaikan gugatan tersebut diterima, maka di Kota Makassar bisa jadi muncul Laskar Kotak Kosong, Pejuang Kotak Kosong atau akronim lainnya.
Demokrasi Hanyalah Sebuah Angan
Ditolaknya gugatan tim kuasa hukum dari Panwaslu Kota Makassar tidak lantas membuat pendukung pasangan Appi-Cicu berpuas diri. Langkah selanjutnya yang ingin ditempuh yakni mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal tersebut tentu sebuah cerminan tidak berjalannya dengan baik sistem demokrasi di Kota Makassar. Sebab, KPU dan Panwaslu merupakan lembaga independen yang dibentuk untuk melaksanakan Pilkada. Ketika pasangan penantang ini menuntut secara terus menerus maka hal tersebut berdampak adanya mosi tidak percaya warga terhadap independensi lembaga penyelenggara pemilu.
Hal lain yang kemudian mesti menjadi pertimbangan ialah jika hanya terdapat satu kandidat dalam Pilwalkot Makassar kali ini, itu menandakan adanya dominasi orang-orang tertentu. Padahal, seyogyanya pemilihan Walikota dan Wakil-walikota lebih dari satu kandidat. Sehingga masyarakat dapat menilai siapa kandidat yang layak memimpin Kota Makassar lima tahun kedepan. Siapa kandidat yang mampu membawa perubahan bagi Kota Makassar, serta mampu mensejahterakan masyarakat.