Makassar Tidak Rantassa’ dan Budaya Bersih Masyarakatnya!


Sampah di TPA Antang, Foto : Internet

MakassarBicara.com-Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tamangapa adalah tempat yang tepat memotret persoalan sampah di Kota Makassar. Produksi sampah yang meningkat, kurangnya ketersediaan lahan dan tercemarnya lingkungan merupakan masalah yang terpampang jelas disana. Jika tidak segera diatasi, megahnya gunungan sampah hanya menambah beban daya tampung yang terancam melebihi kapasitas di 2020 mendatang.

Penambahan lahan seluas 5 hektar telah dicanangkan guna mengurai persoalan tersebut. Langkah yang membutuhkan anggaran besar untuk pembebasan lahan masyarakat. Hal itu akan menambah beban daerah karena alokasi anggaran pengelolaan sampah selama ini sudah memakan porsi yang cukup besar. Selain itu, penambahan lahan hanyalah langkah alternative yang sejatinya tidak menyelesaikan inti permasalahan.

Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Makassar, sampah yang dihasilkan berkisar 1.200 ton tiap harinya. Rilis tirto.id merujuk Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional juga mencatat volume sampah yang dihasilkan Makassar yaitu 5.931,4 meter kubik di 2016. Menempatkan makassar di peringkat tiga nasional sebagai produsen sampah terbanyak, tepat di bawah Surabaya dan Jakarta.

Hal itu menginformasikan bahwa kesadaran masyarakat akan lingkungan juga tidak mengalami kemajuan bahkan cenderung stagnan. Data pemerintah kota di 2017 membuktikan dari 98 persen dukungan ke program Makassar tidak rantasa, hanya tercipta 65 persen kultur bersih di masyarakat.

Artinya, sekitar 500 ribu lebih masyarakat kurang memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Hal itu diperparah dengan prilaku mengelola dan memilah sampah yang hanya sampai di angka 20.1 persen.

Statistik diatas menunjukan program “Makassar Tidak Rantassa” tidak tertanam baik dimasyarakat. Padahal, kampanye melawan sampah membutuhkan interaksi intens pemerintah dan masyarakat. Kolaborasi dan kerjasama semua pihak diperlukan demi terbebas dari sampah. Setiap kebijakan pro lingkungan wajib disambut dan dijalankan bersama secara maksimal. Olehnya itu, kita harusnya menyadari bahwa partisipasi dan keterlibatan kita memiliki pengaruh signifikan mewujudkan wajah kota yang bersih.

Berhasil mengurangi sampah sebanyak-banyaknya juga dapat menghemat anggaran yang diperuntukkan ke pengelolaan sampah. Biaya angkut sampah yang besar dapat dihemat sebesar 50 persen jika berhasil menekan produksi sampah langsung dari sumbernya, lingkungan masyarakat. Keterlibatan sekolah, kampus dan media juga dibutuhkan untuk selalu mengampanyekan budaya bersih dan ramah terhadap lingkungan.

Mengingat ambisi besar Makassar menuju kota dunia, maka wajah kota tidak cukup dicitrakan hanya dengan kemajuan infrastruktur semata. Tidak juga diarahkan pada kemajuan teknologi semata. Makassar sebagai kota dunia harus berkiblat pada kemajuan budaya yang menghargai lingkungan. Penghargaan terhadap lingkungan yang bersumber dari falsafah masyarakatnya akan membawa Makassar sejajar dengan kota dunia lainnya. Wajah Makassar yang bersih berkat kesadaran dan budaya masyarakatnya jua. Langkah revolusioner dan paling sederhana mewujudkan hal tersebut adalah dengan mengunyah sampah yang kita hasilkan sendiri. Mulailah setelah membaca tulisan sederhana ini. Sekadar mengingatkan, maaf.

Abdussalam Syahih, Pemerhati Kota/Mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi di Kota Makassar