Oleh: Andi Hendra Dimansa*
MakassarBicara.com-Rumah menjadi tempat yang paling indah untuk mengekspresikan dan meluapkan serta melepaskan berbagai kepenatan setelah seharian melakukan berbagai aktivitas. Secara natural semua mahluk hidup memiliki insting untuk mencari tempat berteduh dan berlindung dari terik matahari, kemampuan seperti itu mengilhami mahluk hidup untuk membuat tempat berlindung. Manusia sebagai bagian dari mahluk hidup mengalami evolusi terkait teknik dan capaian teknologi untuk membuat tempat berlindung dan berteduh (rumah).
Manusia dalam capaian peradaban telah mengukir perkembangan yang sangat signifikan terkait kemampuan membuat rumah. Mulai dari menjadikan gua sebagai tempat berlindung seperti yang ditemukan di Gua Leang-Leang Kab. Maros terdapat cap tangan manusia dan hewan buruan, sampai capaian kemampuan membuat rumah yang menjulang ke langit seperti rumah hunian yang ditawarkan oleh pengembang yang didalangi Lippo Group, Ciputra dan Meikarta serta pengembang yang sejenisnya.
Berbicara rumah dalam kearifal lokal Makassar memiliki makna yang dalam, bukan hanya rumah diartikan sebagai bangunan fisik, melainkan rumah menjadi episentrum yang menghubungkan antara dunia metafisik dengan dunia fisik. Dalam bahasa Makassar rumah disebut dengan kata balla, rumah bagi orang Makassar menjadi wujud pengejawantahan dari filosofi kehidupan sulapak appak.
Rumah mewakili empat dimensi (sulapak appak) yang terdiri dari dimensi tanah (tempat berpijak tiang-tiang rumah), dimensi air (sumber kehidupan yang menjamin kehidupan bagi penghuni rumah), dimensi api (mewakili sifat, identitas dan karakter) dan dimensi udara (secara simbolik yang menghubungkan antara dunia atas, tengah dan bawah serta segaligus mewakili dunia metafisik).
Sehingga rumah bagi orang Makassar memiliki makna horizontal (dunia metafisik) dan vertikal (dunia fisik) yang terdapat dalam konsep sulapak appak.
Secara simbolik dimensi tanah menjadi tempat berpijak segaligus mewakili sifat keberterimaan kepada siapa saja. Implementasi dari dimensi tanah menjadikan orang Makassar mampu menerima secara terbuka siapa saja yang datang berkunjung ke rumahnya, sifat ini dalam kearifan lokal Makassar disebut dengan pacce. Perjalanan sejarah telah mencatat bahwa tanah Makassar membuka diri terhadap siapa saja yang datang, termasuk Makassar telah menjadi saksi sejarah Gubernur Sulawesi yang pertama Dr. Sam Ratulangi yang berasal dari Manado dengan pusat pemerintahan di Makassar.
Dimensi air yang menjadi sumber penghidupan bagi orang Makassar mengingat wilayah geografis Makassar dikelilingi dengan garis-garis pantai dan aliran-aliran sungai. Kehidupan orang Makassar telah begitu akrab dengan air bahkan dari sanalah sumber rezeki mereka berasal. Fakta juga menunjukkan begitu banyaknya pulau-pulau dan kawasan pesisir di wilayah Nusantara yang terdapat orang Makassar bermukim disana segaligus bermata pencaharian sebagai nelayan.
Dimensi api menjadi simbol dari sifat, identitas dan karakter orang Makassar. Api secara fisik dapat dijumpai dengan membakar, nyala api yang berdiri dan hawa panas yang ditimbulkannya. Dari api simbolik mengalir sifat orang Makassar yang berani menyatakan sikap dan berdiri membela kehormatan apabila nilai-nilai kemanusiaan dipinggirkan, implementasi sikap orang Makassar yang khas tersebut diekspresikan dengan ungkapan siri na pacce.
Dimensi udara menjadi penghubung antar dimensi. Sebagaimana dimensi tanah sebagai tempat berpijak membutuhkan udara guna menjamin proses kehidupan, dimensi air membutuhkan udara untuk menghembuskan hawa kesejukannya dan dimensi api membutuhkan udara demi menjaga derajat kehangatannya. Sehingga kehadiran dimensi udara dapat menjadi penghubung dan penetralisir atar dimensi. Segaligus dimensi udara menjadi simbol dari dunia metafisik yang dapat dijumpai dalam bentuk atap rumah yang kerucut menghadap ke atas (perlambang dimensi yang lebih tinggi).
Semua dimensi dalam kearifan lokal Makassar yang terdapat pada appak sulapak terwejantahkan dalam rumah baik secara fisik maupun metafisik. Rumah bagi orang Makassar terbagi tiga bagian yakni bagian atap yang menjadi simbol dunia atas (dimensi udara) dalam bahasa Makassar diartikan dengan pamakkang, bagian tengah atau kale balla yang menjadi tempat berlangsungnya berbagai aktivitas baik aktivitas penghuni rumah (dimensi api mewakili sifat, karakter dan identitas) maupun proses pengolahan makanan (dimensi air) dan bagian bawah atau kolong rumah yang dalam bahasa Makassar diartikan dengan siring (dimensi tanah tempat dimana rumah berpijak).
Bagi orang Makassar rumah menjadi bagian yang tak terpisah dengan diri, secara sosiologis keterikatan orang Makassar dengan rumah ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Dimanapun seseorang berada baik atau buruk yang dilakukannya maka yang akan tercoreng dan menanggung malu dalam hal ini rumah. Siapapun yang pernah berhubungan dan memiliki keterikatan dengan rumah yang sama maka juga akan turut serta menanggung akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pengguni rumah yang lain.
Ketika ingin merantau orang Makassar punya kebiasaan setiap kali hendak meninggalkan rumah, maka dipesankan untuk menatap bagian atap rumah sebelum berangkat. Hal tersebut dimaksudkan, supaya seseorang pada saat di tanah rantau senantiasa menjaga nama baik keluarga segaligus menjadi pertanda bahwa atap rumah yang menjadi pelindung penghuninya, di sana juga terdapat pamakkang biasanya dimanfaatkan untuk menyimpan persediaan makanan. Mengingat bahwa kepergiannya untuk mencari penghidupan demi mengangkat derajat keluarga.
Selama berada di perantauan orang Makassar senantiasa dipesankan untuk menjaga diri dan kehormatan keluarga yang disimbolkan dengan rumah. Sebab, baik atau buruk perilaku seseorang selama di tanah rantau maka akan memberi efek pada rumah baik secara psikis dianggap telah gagal membawa nama baik maupun secara ekonomis telah dianggap gagal memelihara kepercayaan yang dapat berpengaruh terhadap penghasilan. Sehingga bagi orang Makassar gagal di tanah rantau berarti telah menutup peluang untuk kembali ke rumah, para perantau Makassar biasanya baru menginjakkan kembali rumahnya di kampung apabila telah ada generasinya yang sukses.
Walaupun generasi pertama yang meninggalkan rumah untuk merantau telah tiada, tetapi generasi penerusnya baik anak maupun cucunya atau cicitnya baru ada yang sukses maka keinginan kuat untuk kembali mengunjungi rumah bergejolak kembali. Sehingga rumah bagi orang Makassar menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dengan diri seseorang.
Ungkapan Arab “baity jannati” rumahku surgaku tampaknya menjadi satu tarikan nafas dalam diri orang Makassar. Kalau setiap yang pergi akan pulang, maka bagi orang Makassar tempat kembali yang indah dan senantiasa dirindukan adalah rumah. Karena, kesempurnaan hidup bagi orang Makassar saat kembali di rumahnya.
Engkau bisa tampak perkasa saat berada di luar rumah, namun saat engkau berada di rumah sisi pengasih-lah yang muncul. Sehingga siapapun yang datang mengunjungi rumah orang Makassar maka semua hidangan terbaik akan dipersembahkan.