Oleh: Andi Hendra Dimans
MakassarBicara.com-Sejarah perjalanan kebudayaan manusia sering kali digambarkan oleh para ahli dengan periodesasi zaman batu hingga zaman tembaga dan besi. Yang telah menjadi penanda titik awal perkembangan kebudayaan manusia dari satu fase kemampuan mengolah dan menghasilkan alat teknologi (perkakas untuk berburu dan bercocok tanam). Kemampuan memproduksi teknologi menjadi acuan untuk menunjukkan kemajuan peradaban yang mampu dihasilkan oleh manusia.
Peradaban manusia yang mampu menghasilkan teknologi berupa perkakas berburu dan bercocok tanam, hanyalah kemampuan secara eksternal yang mampu mengolah bahan-bahan material. Tetapi, ada kemampuan manusia yang secara internal yang mendahului kemampuan memproduksi teknologi yakni kemampuan manusia dalam berbicara.
Manusia menjadi mahluk yang paling memiliki kemampuan yang maha canggih dalam menghasilkan kemampuan komunikasi kepada sesamanya manusia. Mahluk hidup yang bertulang belakang yang juga mampu mengeluarkan bunyi seperti sapi, kerbau, anjing, kucing dan burung. Namun, kemampuan berkomunikasi binatang bertulang belakang tersebut tidak mengalami perkembangan sebagaimana manusia yang terus mengalami perkembangan kemampuan menghasilkan cara berkomunikasi (berbicara).
Kemampuan berbicara yang dimiliki oleh manusia telah merangsang berkembangnya kapasitas dan volume otak. Lewat data-data dari ilmuan menunjukkan fosil volume otak manusia senantiasa mengalami perkembangan dari zaman ke zaman (zaman batu hingga zaman tembaga dan besi). Telah menjadi bukti bahwa kemampuan berbicara manusia telah merangsang dan membuat kemampuan bernalar manusia semakin berkembang yang turut mempengaruhi kemampuan memproduksi teknologi.
Bayi menjadi gambaran betapa kemampuan manusia dalam menyerap hingga memproduksi kata lewat berbicara menjadi kemampuan tersendiri yang dimiliki oleh manusia. Kepekaan manusia dari usia bayi hingga kanank-kanak untuk menyerap berbagai kata-kata dan saat telah mampu mengolah serta memproduksi kata maka kapasitas otak di usia kanak-kanak akan menunjukkan sikap aktif termasuk dalam mengkreasikan berbagai jenis-jenis permainan. Sehingga di usia kanak-kanak manusia mampu dan sanggup super aktif dalam berbagai hal.
Martin Heidegger salah seorang filsuf hermeneutika yang menyorot tentang manusia segaligus memaparkan keterkaitan dan ketakterpisahan manusia dengan bahasa serta kemampuan berbicara. Bagi Heidegger bahasa dan kemampuan berbicara menjadi modus mengada bagi manusia. Sehingga secara eksistensial manusia ditunjukkan lewat bahasa dan berbicara. Menurut Heidegger rumah bagi manusia yaitu bahasa, untuk mengenal rumah bahasa kemanusiaan akan ditunjukkan lewat bicara.
Seolah ungkapan dalam bahasa Melayu menunjukkan eksistensi yang paripurna terkait manusia dan berbicara, lewat syair “bahasa/bicara menunjukkan budi”. Karena, lewat ungkapan kata-kata menjadi bildungsmachte batu fondasi bagi peradaban kemanusiaan menghias dirinya. Peradaban besar yang ingin mengukir nofta-nofta (titik-titik) dalam sejarah senantiasa mengabadikan ungkapan-ungkapan yang bersumber dari kedalaman pengalaman kemanusiaan yang diabadikan dalam prasasti-prasasti. Ukuran keberadaban suatu bangsa ditunjukkan dengan budi bahasa dan keindahadan dalam ungkapan kata-kata.
Makassar sebagai identitas peradaban dan suku bangsa juga memiliki ciri serta keunikan tersendiri dalam kemampuan mengolah tutur kata. Dalam interaksi antar sesama orang Makassar senantiasa mendahului dengan ungkapan tabe, guna menunjukkan penghormatan kepada lawan bicara. Karena, kebudayaan Makassar begitu mengafirmasi kesetaraan termasuk dalam hal menghormati siapa saja yang menjadi teman berbicara.
Sultan Hasanuddin kala menjadi Raja Gowa pernah mengungkapkan “Laut merupakan kepunyaan Allah, maka tidak boleh ada yang mengganggu siapa saja yang tengah berlayar dan melakukan perniagaan di laut”. Untuk menunjukkan sikap yang tegas terhadap sikap Belanda yang ingin memonopoli pelayaran dan perdagangan di Selat Makassar. Bila ditelisik lebih jauh ungkapan Sultan Hasanuddin mengandung makna yang dalam segaligus menunjukkan sikap penghormatan kesetaraan termasuk dalam urusan pelayaran dan perniagaan.
Kebudayaan Makassar juga memberikan apresiasi yang tinggi kepada kalangan atau orang yang memiliki kemampuan bertutur kata yang bermakna dalam dan memiliki kualitas keindahan kata yang tinggi. Struktur jabatan Kerajaan Gowa dan Tallo yang wilayahnya kini bermetamorfosis dalam bentuk Kota Makassar dan Kabupaten Gowa, dulu memberikan jabatan khusus kepada orang yang memiliki kecakapan bertutur yang disebut dengan to pabbicara butta atau juru bicara/ juru runding.
Secara umum dalam struktur bangunan rumah orang Makassar terdapat satu ruang yang namanya dallekang, yang banyak digunakan untuk membicarakan berbagai hal termasuk urusan penghasilan keluarga sampai urusan politik yang hangat diperbincangkan. Makassar memiliki tradisi oral (berbicara) yang mungkin di atas rata-rata angka nasional, keberadaan warkop yang tersebar di berbagai jalan-jalan yang ada di Makassar bisa menjadi indikator betapa orang Makassar sangat gemar berbicara. Salah satu contoh teranyar dari budaya bicara orang Makassar di atas rata-rata dengan kemampuan mengkampanyekan dan mensosialisasikan “kotak kosong” yang mengantarkan kepada kemenangan bersama.
Kecanggihan berbicara orang Makassar mampu menggaungkan kotak kosong melawan kandidat calon wali kota yang tentunya punya struktur pemenangan segaligus akomodasi. Tetapi, prinsip dasar dalam kebudayaan orang Makassar yang senantiasa mendahulukan “tabe” penghormatan kepada siapa saja, telah membangkitkan nurani kemakassaran untuk mengungkapkan jati diri kebudayaannya. Dalam ungkapan heroik nan estetik dalam bahasa Makassar “Buranne na’tarang kana-kanan’na” yang artinya lelaki yang tajam kata-katanya.
Bagi orang Makassar pantang berbicara dua kali apalagi menjilat ludah sendiri, yang membuat orang Makassar dalam urusan berbicara menjadi perkara yang sangat penting diperhatikan dan dipertimbangkan. Sebab, mengungkapkan kata-kata yang tidak berkenan bagi teman berbicara dapat menimbulkan sesuatu yang tidak mengenakkan pikiran dan perasaan. Sehingga di rumah-rumah orang Makassar pelajaran pertama bagi penghuni rumah khususnya kepada anak-anak mereka yakni pelajaran berbicara, untuk senantiasa mengungkapkan kata “tabe” kepada siapa saja yang diajak berbicara.
Bagi orang Makassar verstand (pemahaman) anak-anak mereka terhadap adap dan sikap sopan santun dalam berbicara menjadi ukuran utama, sebelum kemampuan vernuft (bernalar) anak-anak mereka. Orang Makassar secara kebudayaan sangat memperhatikan cara mereka mengada dan berada. Karena, semua orang tahu bahwa dirinya tengah berada di tengah-tengah komunitas masyarakat, namun hanya sebagian orang yang memahami cara mereka mengada di tengah-tengah komunitas masyarakat.
Kebudayaan Makassar telah begitu jeli memahami cara mengada yang elegan dan egalitarian dalam menempatkan eksistensi orang Makassar yang memberikan pengertian yang berlebih kepada kata “tabe”, dalam berbicara mendahulukan pembicaraan dengan kata penghormatan. Ungkapan “tabe” menjadi penghormatan yang sangat dalam kepada nilai-nilai kemanusiaan, sebab dalam literatur kebudayaan manusia hanya memberikan penghormatan kepada Tuhan, orang Makassar lewat kata “tabe” hendak mengungkapkan penghormatan kepada manusia sebagai ciptaan Tuhan. sebab, lewat jalan menghormati manusia yang ciptaan Tuhan terdapat pengakuan dan penghormatan yang demikian besar kepada Tuhan Sang Maha Pencipta.
Secara psikologi memberi penghormatan baik dalam ucapan dan tindakan, hanya bisa dilakukan oleh orang yang telah melampaui ego kediriannya. Dari kode-kode kebudayaan itulah orang Makassar dimana pun berada dengan lantang mengatakan “tabe, innakke to mangkasara”.