Politik Mobil Ambulance


Oleh Akbar*

MAKASSARBICARA.ID-Keberadaan mobil ambulance tentu tidak asing lagi bagi kita. Biasanya mobil ini seringkali kita temui pada kondisi-kondisi tertentu seperti pada saat terjadi kecelakaan lalu lintas, orang yang sedang membutuhkan pertolongan pertama dan mendesak, hingga mobil ambulance tidak jarang menjadi saksi bisu proses berpindahnya manusia ke alam baka.

Normalnya, ambulance difungsikan menjadi kendaraan utama untuk melakukan hal-hal darurat. Namun sesuai dengan perkembangan perilaku masyarakat, kini keberadaan ambulance tidak lagi hanya sebatas kendaraan darurat, ambulance kini menjadi kendaraan politik terselubung.

Tak heran, mobil ambulance juga menjadi sesuatu yang bisa di politisasi. Di beberapa kesempatan, penulis menyaksikan mobil-mobil ambulance dengan branding yang tak biasa di Kota Makassar. Mobil ambulance yang didalamnya melekat ‘rasa iba’ dan ‘kesan empati’ mampu dimanfaatkan oleh politisi untuk meraih simpati. Oleh karenanya banyak partai politik yang menyumbangkan mobil ambulance sebagai alat kampaye dengan kedok bantuan. Tentu hal demikian menjadi angin segar bagi politisi-politisi mobil ambulance, sebab yang namanya mobil ambulance pasti diidentik dengan ‘rasa turut belasungkawa’, bentuk kepedulian, dan memang akan dibutuhkan masyarakat di semua kelas sosial.

Mobil ambulance pemberian partai politik tentu berbeda dengan mobil ambulance pada umumnya. Merujuk pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 143/Menkes-kesos/SK/II/2001 tentang Standarisasi Kendaraan Pelayanan Medis. Standarisasi Mobil ambulance beberapa diantaranya adalah warna kendaraan kuning muda lengkap dengan tanda pengenal kendaraan yakni di depan terdapat tulisan ‘gawat darurat atau emergency’, begitu pula disamping kanan dan kiri atas.

Selanjutnya terdapat tanda ambulance dan logo Star Of Life yang melambangkan enam tugas utama kedaruratan medis nasional yaitu deteksi, pelaporan, penanggapan, perawatan di tempat kejadian, perawatan dalam perjalanan dan perawatan khusus di rumah sakit. Dalam logo Star Of Life (bintang enam biru) terdapat simbol ular tongkat sebagai lambang pelayanan medis darurat. Dalam mitologi Yunani, tongkat ini dinamakan asklepios yang merupakan tongkat yang dililit ular milik Dewa Yunani asklepios yaitu dewa penyembuhan dan pengobatan pada saat itu.

Perbandingan antara mobil ambulance Menteri Kesehatan dengan mobil ambulance partai politik terletak pada desain ambulancenya. Mobil ambulance versi partai politik tentu didesain sesuai dengan selera partai politik, mulai dari warna mobil, penggunaan logo hingga memenuhi mobil ambulance dengan foto figur partai politik. Alih-alih menaikkan popularitas, justru mobil ambulance pemberian partai politik merusak citra medis. Dalam hal ini, para politisi kita menjadikan persoalan medis menjadi lahan siap garap dengan pencitraan palsu, defisit empati dan kemunduran moralitas.

Bagi penulis, bukan masalah partai politik menyumbangkan mobil ambulance sebagai bentuk sumbangsinya terhadap kemanusiaan. Yang menjadi soal adalah ketika politisi menjadikan rasa duka warga sebagai alat menaikkan popularitas partai politiknya. Politisi mobil ambulance mengekspresikan rasa empati mereka melalui pemberian dan pelayanan mobil ambulance gratis. Namun bagaimana mungkin kita membenarkan politisi yang menjadikan ‘rasa duka’ untuk memperoleh ‘rasa aman’ sebagai kendaraan politis untuk sampai ke singgah sana kekuasaan. Untuk itu, perlu kita mendalami dan mempertanyakan kemurnian rasa empati para politisi mobil ambulance ini. Jika benar-benar peduli dengan rakyat, mengapa sekalian tidak membuat rumah sakit atau apotek ‘gratis’ untuk masyarakat miskin. Agar yang terlayani tidak hanya bagi mereka yang membutuhkan kendaraan, tetapi juga mereka yang tidak mampu mengakses pelayanan dan obat-obatan karena biaya yang mahal dan kerumitan administrasi pengurusan.

Politisasi rasa empati bagi penulis setara dengan kejahatan kemanusiaan bahkan berpotensi lebih buruk yakni merendahkan kemanusiaan.

Bagaimana tidak, perasaan duka justru dijadikan peluang menang oleh golongan tertentu. Rasa empati yang dimiliki warga menjadi kesempatan emas partai politik untuk berlomba-lomba menebar pesona. Kondisi ini tentu tidak aneh di negara kita, yang hampir semua aspek dapat di politisasi oleh partai politik. Apalagi belakangan ini, dimana kita lebih sering di hadapkan dengan berbagai macam bentuk musibah seperti bencana alam.

Penulis sulit membayangkan, bencana pada umumnya dilihat sebagai ancaman dan ujian kehidupan, justru menjadi momentum yang sempurna bagi para politisi di negara +62. Dalam kondisi pandemi misalnya, berbagai partai politik berlomba-lomba berperilaku ‘riya’ dengan berbagai program atas nama kemanusiaan. Salah satunya dengan menyalurkan bantuan mobil ambulance, mobil ambulance yang telah dibranding dengan nuansa partai politik pastinya. Tak hanya itu, politisi kita memang layak dinobatkan sebagai kelompok yang cerdik dan lihai memanfaatkan berbagai peluang dalam memenangkan hati rakyat. Baru-baru ini salah satu partai politik membagi-bagikan sembako dengan pembungkus partai dan menebar baliho di berbagai titik-titik bencana Erupsi Gunung Merapi.

Alhasil, perilaku tak etis ini menuai cibiran dan kritikan oleh rakyat netizen di negeri maya. empati dibalas antipati.
Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi fenomena ini? Barangkali salah satu diantara pembaca tertarik menjadi sopir tetap mobil ambulance para politisi?

Menghukum Politisi

Ada guyongan yang mengatakan ‘Anda Sopan Kami Curiga, Jangan-Jangan Calon Kepala Desa’, artinya kita bisa membaca bahwa perilaku individu atau kelompok tertentu patut kita curigai bilamana dengan tiba-tiba berperilaku tidak seperti biasanya.

Sehingga wajar jika kita curiga dengan politisi-politisi yang mendadak baik dengan menyalurkan bantuan tiba-tiba.

Perilaku-perilaku demikian tentu sangat syarat akan kepentingan. Untuk itu, kita mesti lihai dalam memahami perilaku-perilaku politisi. Mengapa? Sebab dalam kondisi seperti inilah biasanya kita sering ditipu dan dimanfaatkan sehingga tidak heran politisi yang telah meraih kepentingannya pada akhirnya mengalami amnesia yang tiba-tiba pula.

Kita mesti menghukum politisi-politisi dan partai politik  dengan cara memberi efek jerah secara berkelanjutan dengan menjadi agen sosialisasi Pendidikan Politik Sehat di lingkungan masing-masing. Cara ini sederhana dan tidak membutuhkan biaya namun efektif menghukum politisi nakal. Setiap dari kita bisa mengedekuasi warga untuk cerdas dalam menjatuhkan pilihan. Sebab salah memilih akan menentukan kondisi politik daerah kita masing-masing. Politik kotor sudah barangpasti akan merusak aspek yang lain, termasuk kondisi pendidikan formal dan begitu menentukan kondisi birokrasi kepemerintahan tiap daerah. Hal ini sangat penting namun masih belum jadi perhatian di banyak tempat.

Perilaku-perilaku politisi yang mendadak ramah patut kita curigai. Semakin sering kita menerima pemberian-pemberian politisi maka mereka akan menganggap bahwa kita menerima perilaku kotor mereka dan berpotensi akan melakukan hal yang sama. Jadi buruknya iklim politik dilingkungan kita tidak selamanya karena buruknya moral politisi, tetapi juga tergantung bagaimana sikap kita merespon tindakan politisi tadi. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan George Hofman dalam teori Exchange yakni semakin baik respon kita terhadap tindakan politisi dan partai politik maka semakin besar potensi pengulangan tindakan.

Terimalah pemberian politisi asal tidak membutakan kita terhadap kebenaran. Ingat, 2024 masih lama.

Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi UNM / Ketum HMI MPO Cabang Makassar 2021-2022