Dua Sisi Kehadiran Bus Mamminasata


Sumber Foto: Antara

*Oleh Akbar

Mengutip data Dinas Perhubungan Kota Makassar terdapat 2,1 juta unit kendaraan pada 2020. Kondisi Kota Makassar yang kian dipadati kendaraan memaksa pemerintah untuk berinovasi. Salah satunya menghadirkan Bus Mamminasata. Bus ini merupakan implementasi program Buy The Service (BTS) yang keenam Kementerian Perhubungan Indonesia dengan Operator Trans Mamminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa, Takalar). Program BTS merupakan kebijakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dimana pemerintah hadir menyiapkan angkutan massal perkotaan yang nyaman, murah dan mudah diakses.

Bus Mamminasata merupakan Angkutan Bus Rapit Transit (BRT) yang diharapkan mampu mempermudah mobilisasi masyarakat Kota Makassar karena terkoneksi dengan beberapa titik sentral seperti Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Pelabuhan Soekarno Hatta hingga Terminal Mallengkeri. Tersedia 81 unit Bus untuk mengangkut warga Kota Makassar setiap harinya dengan 4 koridor rute layanan.

Namun dibalik proyeksi pendapatan daerah dengan kehadiran Bus Mamminasata ini, pada sisi lain menjadi ancaman bagi nasib hidup bagi para supir yang selama ini menyandarkan hidup pada Pete-Peta Kota Makassar

Namun dibalik proyeksi pendapatan daerah dengan kehadiran Bus Mamminasata ini, pada sisi lain menjadi ancaman bagi nasib hidup bagi para supir yang selama ini menyandarkan hidup pada Pete-Peta Kota Makassar

Konflik Berebut Lintasan

Beroperasinya Bus Mamminasata, dianggap ‘alarm bahaya’ bagi kelangsungan mata pencaharian sopir Pete-Pete. Mengapa? Titik masalahnya ada pada lintasan atau trayek yang sama-sama dilalui oleh Pete-Pete dan Bus Mamminasata. Rebut-merebut lintasan ini menyebabkan konflik horizontal kedua pihak. Akibatnya beberapa aksi unjuk rasa dilakukan sopir pete-pete sebagai bentuk protes. Audiensi  bersama pemerintah juga telah ditempuh, bahkan beberapa kali sopir Pete-Pete menurunkan paksa penumpang Bus Mamminasata ini ditengah perjalanan. Apa sebabnya? Bus Mamminasata mengambil lintasan pete-pete yang telah lama menjadi sumber penghasilan utama mereka. Kondisi kian mencekik, takkala Bus Mamminasata diuji coba selama 3 bulan secara ‘gratis’ sehingga semakin menyiksa para sopir pete-pete. Mereka mengalami penurunan penumpang bahkan kehilangan penumpangnya.

Masalah inilah yang membunuh profesi sopir pete-pete, keluarga mereka dan keluarga pemilik mobil. Lalu, dimana kehadiran Pemerintah dalam menyikapi persoalan ini?  Pemerintah mesti melihat pete-pete sebagai bagian dari miniatur klasik Kota Daeng sehingga mesti dijaga, pemerintah mestinya mengatur Bus Mamminasata agar tidak menimbulkan masalah baru. Peran sentral pemerintah bukan hanya sebagai upaya untuk meredam dan mengantisipasi konflik horizontal, tetapi juga untuk menyelamatkan golongan masyarakat kecil seperti sopir pete-pete.

Penulis melihat, kehadiran layanan Bus Mamminasata merupakan upaya membujuk masyarakat Kota Makassar untuk beralih dari kendaraan pribadi agar menggunakan transportasi umum, sehingga kehadiran Bus Mamminasata bukan untuk menggantikan peranan dari pete-pete. Namun pemerintah dan dinas terkait belum optimal dalam mengantisipasi dampak yang merugikan sopir pete-pete. Pemerintah setempat harus hadir sebagai penengah dan pemberi solusi konkret, bukan menghadirkan Bus Mamminasata sebagai musuh Sopir Pete-Pete.

Oleh karenya, konflik horizontal ini perlu segera diredam dengan memberhentikan sementara Bus Mamminasata beroperasi. Diperlukan evaluasi secara berkelanjutan dengan melibatkan para pemangku kebijakan dan juga mendengar aspirasi sopir pete-pete. Jika pemerintah tetap memaksakan, maka berpotensi terjadi konflik yang lebih besar. Sebab ini persoalan perut (mata pencaharian). Bagaimanapun, sopir pete-pete akan mencari cara bagaimana menghidupi keluarga dan anak-anak mereka, jika perlu mengorbankan nyawa mereka. Perlu juga meluruskan cara pandang pemerintah dalam berinovasi, jangan fokus mencari keuntungan lebih diatas penderitaan masyarakat kecil.

Meneropong Masa Depan Pete-Pete

Persoalan antara Bus Mamminasata dengan Sopir Pete-Pete harus dilihat secara utuh dan objektif. Meskipun Pete-Pete memang dirugikan dengan beroperasinya Bus Mamminasata, hadirnya Bus Mamminasata di Kota Makassar membawa dua petanda.

Petanda pertama adalah berakhirnya era Moda Transportasi klasik. Artinya Pete-Pete yang ada sejak tahun 1980 ini akan mulai berakhir pada 2022. Keberadaan pete-pete akan tergantikan dengan moda transportasi yang lebih modern. Kini Pete-Pete diperhadapkan dengan ancaman-ancaman yang akan menghapus keberadaan mereka.

Petanda kedua adalah Pete-Pete sudah saatnya berbenah. Minimal Pete-pete mampu setara dalam persoalan ‘harga tarif’ dan kualitas pelayanan dibanding transportasi online dan Bus Mamminasata. Jika Pete-Pete tidak mampu mengimbangi, maka besar potensi keberadaan Pete-Pete akan mengalami ‘Kiamat”. Namun, jangankan bersaing dengan Bus Mamminasata, beradaptasi pun kelihatan masih sulit bagi sopir pete-pete.

Hal ini dikarenakan perbedaan kualitas sumber daya dan jenis kendaraan yang mayoritas termakan usia. Dalam kondisi seperti ini, peran dan turut andil pemerintah dibutuhkan. Pemerintah seharusnya mampu merangkul dan mendorong Pete-Pete agar mampu beradaptasi di tengah desakan perubahan. Paling tidak ada dua hal yang dapat dilakukan Pemerintah Kota Makassar dan Pemerintah Sulawesi Selatan dalam menyalamatkan Angkot kita terkhusus Pete-Pete.

Pertama memberikan pelatihan secara berkelanjutan mulai edukasi hingga penganggaran dana secara khusus sebagai upaya pembaharuan angkutan kota yang lebih modern. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan APBD, APBN dan juga menggandeng pihak-pihak swasta yang bergerak di bidang moda Transportasi. Para sopir Pete-Pete perlu diberikan pemahaman sehingga terbangun pola pikir yang terbuka sehingga mau dan mampu beradaptasi. Dengan modernnya pete-pete tidak hanya turut andil dalam perputaran perekonomian pemerintah lokal nantinya,  tetapi juga menjadi layanan angkutan massal yang nyaman dengan kualitas pelayanan yang tidak kalah dengan moda transportasi modern lainnya.

Hal kedua adalah menjadikan Pete-Pete sebagai ‘Ikon Kota’ dengan nilai sejarah dan kearifan lokal. Hal ini perlu dilakukan agar keberadaan Pete-Pete mampu bertahan ditengah desakan modernitas tadi. Menjadikan Pete-Pete sebagai icon kota merupakan upaya yang tepat agar Pete-pete dapat dikenang dan tetap hidup sebagai kendaraan bersejarah. Karena bagaimanapun, keberadaan pete-pete sangat dekat dengan masyarakat Sulawesi Selatan.

Pada akhirnya, kehadiran Bus Mamminasata dapat dilihat dari dua sisi, sebagai ancaman dan cara memaksa pete-pete untuk berani berubah.

 

Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi UNM / Ketum HMI MPO Cabang Makassar 2021-2022