Dien Fakhrur Razi*
MAKASSARBICARA.ID–Kota secara umum dapat ditinjau dari dua sudut pandang, yaitu kota dari segi sosial dan kota dari segi spasial. Dari segi sosial, kota dilihat berdasarkan aspek kemasyarakatan, yakni interaksi yang terjadi antarindividu atau antarkelompok, budaya, agama, suku yang dianut, mata pencarian, dan sistem pemerintahan. Sedangkan dari segi spasial, kota dipandang sebagai ruang atau tempat yang bersifat fisik, yaitu bangunan, jalanan, fasilitas umum, dan sebagainya.
Kota Makassar merupakan salah satu kota besar yang ada di Indonesia, sekaligus menjadi ibu kota dari Provinsi Sulawesi Selatan. Sebagai sebuah kota, maka, Makassar dapat ditelaah berdasarkan dua sudut pandang di atas.
Kota Makassar dari Segi Sosial
Kota Makassar memiliki rekam jejak historis sebagai pusat perdagangan terbesar di Indonesia Timur sekitar abad ke-16. Hal ini tak lepas dari letak geografis kota Makassar yang sangat strategis, ditambah dengan sikap toleran dan keterbukaan penguasa pada masa itu dalam menerima pedagang-pedagang dari berbagai penjuru Nusantara bahkan mancanegara, seperti pedagang dari Jawa, Melayu, Tiongkok, Arab, dan Eropa.
Interaksi yang terjadi antara penduduk lokal dengan masyarakat pendatang tidak hanya sebatas perdagangan, melainkan berkembang menjadi sarana penyebaran agama, budaya, tradisi, bahkan ekspansi dari bangsa Belanda (VOC). Atas dasar inilah, kota Makassar menjadi kota yang multietnik, yang di dalamnya terdapat masyarakat yang memiliki latar belakang yang beragam, baik itu agama, ras, suku, maupun tradisi.
Dalam skala regional, kota Makassar merupakan “titik temu” dari suku atau etnis yang ada di Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan sendiri setidaknya terdapat empat suku/etnis yang dominan, yaitu suku Makassar, Toraja, Mandar, dan Bugis. Keempat suku tersebut tersebar di wilayah Sulawesi Selatan sekaligus menjadi identitas kedaerahan.
Keberagaman budaya yang ada di kota Makassar selaras dengan sikap toleransi yang ditonjolkan. Masyarakat asli suku Makassar hidup berdampingan dengan suku atau etnis yang berasal dari luar, baik dalam region Sulawesi Selatan (Toraja, Bugis, dan Mandar), region Indonesia (Jawa, Flores, Papua, dan lainnya) maupun mancanegara (Timur Tengah, Tiongkok, Afrika, dan Eropa).
Akulturasi yang terjadi juga bersifat positif, dalam artian tidak ada budaya yang terlalu mendominasi, justru budaya lokal (Makassar) dan Bugis yang dapat dikatakan dominan, baik dalam hal bahasa, tradisi, maupun penampilan. Dalam hal keyakinan atau agama, mayoritas masyarakat memeluk agama Islam–agama yang dianut mayoritas suku Makassar dan Bugis.
Meskipun demikian, yang namanya kota, tentu tak lepas dari fenomena globalisasi dan modernisasi, bahkan merembet ke arah westernisasi. Di kota Makassar, mulai muncul beberapa budaya alternatif (sub-culture) yang sebagian besar dianut oleh kawula muda. Hal ini tak lepas dari internalisasi budaya global melalui berbagai medium, terutama media sosial atau internet. Hal tersebut tentu berimplikasi pada pergeseran budaya, dari budaya lokal menjadi budaya asing atau “budaya orang”.
Tak sampai di situ, globalisasi dalam hal kebudayaan ini juga berpotensi mereduksi identitas suku Makassar yang memiliki sejarah yang panjang. Budaya lokal sedikit demi sedikit digantikan dengan sebuah budaya baru yang katanya “keren” dan kekinian. Semakin lama, anak-anak muda akan ter-stigmatisasi dengan sebuah stereotip, budaya lokal itu kuno dan budaya asing itu modern.
Sementara dalam hal interaksi antarindividu, atau lebih sederhananya kedekatan antarwarga dalam keseharian, masyarakat di kota Makassar cenderung sama dengan karakteristik masyarakat kota pada umumnya, alias masih menonjolkan sifat individualisme, khususnya di beberapa lokasi tertentu seperti di perumahan-perumahan elit nan modern.
Namun ada pula yang masih mengedepankan kekeluargaan dan kebersamaan dalam kesehariannya seperti di area “pinggiran” kota dan lokasi yang mayoritas penduduknya berasal dari latar belakang suku/etnis dan daerah yang sama. Hal ini didukung oleh bahasa yang mereka gunakan, yaitu bahasa tradisional.
Mata pencarian atau profesi dari masyarakat kota Makassar bisa dikatakan sangat heterogen. Sekali lagi, sama dengan masyarakat perkotaan secara umum. Mata pencarian ini juga erat kaitannya dengan beberapa aspek, yaitu aspek geografis, antropologis, bahkan politis. Namun mayoritas masyarakat kota Makassar cenderung bekerja di instansi pemerintahan, instansi pendidikan, dan korporasi. Perkembangan zaman yang paralel dengan perkembangan teknologi turut mempengaruhi mata pencarian masyarakat Kota Makassar. Seperti menjamurnya bisnis startup yang banyak dirintis oleh kawula muda atau Gen Z.
Kota Makassar dari Segi Spasial
Makassar adalah kota metropolitan. Kota yang termasuk dalam kategori kota terbesar di Indonesia dan merupakan kota terbesar yang ada di Indonesia Timur. Hal ini tak lepas dari beberapa faktor, seperti letak geografis yang sangat strategis, jumlah penduduk, dan pembangunan infrastruktur.
Dari segi ruang atau bangunan, kota Makassar sama seperti kota-kota besar lainnya yang ada di Indonesia, yaitu memiliki karakteristik gedung yang besar dan tinggi, kepadatan rumah penduduk, banyak tempat hiburan, dan infrastruktur yang modern. Namun umumnya di beberapa titik dalam sebuah kota juga terdapat kawasan yang cenderung kumuh dan “tradisional.”
Di kota Makassar sendiri dapat dilakukan pemetaan mengenai letak-letak ruang atau bangunan berdasarkan karakteristiknya. Pemetaan ini juga berhubungan dengan kondisi sosial dan ekonomi di area-area itu.
Di pusat kota, yaitu di bagian kecamatan Mamajang, Mariso, Rappocini, Makassar, dan Panakkukang merupakan area perkantoran (pemerintahan), perhotelan, dan tempat hiburan yang notabene bangunannya cenderung padat dan menjulang tinggi. Perumahan penduduknya pun demikian, sangat padat dan mayoritas merupakan rumah-rumah mewah dan elit.
Bagian barat hingga utara kota Makassar mayoritas merupakan tempat wisata, perniagaan, dan tempat-tempat bersejarah. Area ini merupakan daya tarik utama bagi orang dari luar Makassar, baik dalam negeri maupun mancanegara, karena terdapat beberapa tempat yang ikonik, seperti pantai Losari, Benteng Fort Rotterdam, dan Museum Kota Makassar. Di bagian barat daya merupakan kawasan reklamasi dan merupakan area real estate. Karakteristik bangunannya dapat dikatakan modern dan agak “kebarat-baratan.”
Namun di bagian tersebut juga, khususnya bagian barat laut hingga utara juga dapat dikategorikan sebagai area pinggiran kota dan terdapat banyak area kumuh (slum area).
Di timur kota Makassar, kebanyakan orang menyebutnya sebagai pusat pendidikan dan pusat perindustrian. Pusat pendidikan karena terdapat beberapa kampus, salah satunya Universitas Hasanuddin. Bergeser sedikit ke arah timur, terdapat area industri yang dikenal dengan nama KIMA (Kawasan Industri Makassar). Bagian timur ini juga merupakan kawasan real estate dan diproyeksikan sebagai area investasi.
Di bagian tenggara kota Makassar yang juga notabene kawasan pinggiran kota karena berbatasan dengan Kabupaten Gowa merupakan kawasan yang cenderung “tradisional”. Di kawasan ini, minoritas masyarakatnya bekerja sebagai petani dan peternak. Di kawasan ini juga terdapat area pembuangan sampah terbesar di kota Makassar, yang dikenal dengan nama TPA Antang. Dari segi kepadatan bangunan atau perumahan, kawasan ini tidak begitu padat. Terdapat beberapa lahan kosong yang umumnya digunakan untuk mengembala ternak maupun bermain sepak bola.
Terlepas dari pemetaan tersebut, logika pembangunan perkotaan secara umum terus bergerak ke arah modernisasi. Bukan tidak mungkin, kota Makassar di masa depan akan memiliki karakteristik bangunan dan infrastruktur yang lebih modern, yang berkaca pada kota-kota maju di dunia. Ya, Makassar kota dunia–sesuai visi Bapak Walikota.
Dien Fakhrur Razi, Mahasiswa FISIP Universitas Hasanuddin. Fans (layar kaca) Manchester United.