Membela Juru Parkir Liar


Parkir Liar di Sepanjang Terowongan MP / Foto : edunews.id

Oleh Akbar*

MAKASSARBICARA.COM-Fenomena Parkir Liar di kota-kota besar salah satunya di Kota Makassar, menjadi tontonan kita sehari-hari. Di manapun  Parkir Liar menjadi fenomena laten yang nampaknya akan terus eksis. Fenomena Juru Parkir (jukir) liar dalam hal ini dilihat sebagai gejala sosial yang hadir karena adanya permasalahan sosial sebelumnya seperti tingginya angka pengangguran serta kian melebarnya kesenjangan sosial di perkotaan.

Telaah Kritis Fenomena

Banyak di antara kita, mengganggap jukir liar sebagai ‘pelanggar hukum’ dan menilai jukir legal ‘terbebas’ dari potensi pelanggaran hukum. Untuk itu, diperlukan pemahaman kritis dan berimbang dalam melihat fenomena ini.

Ada tiga hal yang membedakan Jukir Liar dan Jukir Legal di antaranya adalah mengindentifikasi status sang Jukir, jumlah tarif dan lokasi parkiran.

Umumnya, Jukir Parkir Legal secara administrasi di bawah naungan dan kerja sama  Pemerintah setempat, Dinas Perhubungan serta Perusahaan Daerah (PD) Parkir sebagai pelaksana teknisnya. Biasanya, para Jukir Legal ini dilengkapi dengan atribut pembeda dengan Jukir Liar seperti rompi, dan kartu nama. Namun, terkadang kita masih sulit membedakan antara Jukir Legal dan Jukir Liar di lapangan, sebab rompi dan kartu nama bisa saja dimanipulasi.

Di Kota Makassar, PD Parkir menetapkan tarif beragam, mulai dari Rp2000 untuk motor dan Rp5000 untuk mobil, dengan sistem hitungan perjam. Beberapa tempat menggunakan teknologi, namun sebagian besar masih konvensional, hal ini juga membuka potensi terjadinya kecurangan pengenaan tarif parkir karena cara konvensional juga rawan dimanipulasi.

Selain itu, Jukir Legal juga menyediakan lahan parkiran khusus. Namun, banyak kita temui di pusat keramaian, jukir-jukir dengan atribut lengkap menjadikan bahu jalan dan fasilitas umum sebagai lahan parkiran, sehingga menganggu kelancaran laju kendaraan.

Kondisi-kondisi di atas, secara kritis masih membingungkan publik, tentang bagaimana cara mengindentifikasi Jukir Legal dan Jukir Liar, sebab keduanya sering kita jumpai tanpa perbedaan yang mencolok. Namun letak kekeliruan kita adalah selalu memusatkan ‘kesalahan’ pada profesi jukir-jukir liar, dengan menganggap Jukir Legal terbebas dari praktik-praktik liar.

Mengapa Membela Jukir Liar?

Sebelum menetapkan kebijakan dalam menyelesaikan fenomena ini, maka perlu terlebih dahulu meluruskan kekeliruan dalam memahaminya. Paling tidak, ada tiga alasan menurut penulis mengapa Jukir Liar ini mesti dibela.

Pertama, sebagian dari kita, menilai Jukir Legal terbebas dari praktik menyimpang dan melanggar hokum. Faktanya, di berbagai tempat, kita menemui  Jukir dengan atribut lengkap, yang justru menjadikan badan jalan dan fasilitas umum sebagai lahan parkiran. Fakta ini mengkonfirmasi, bahwa yang menjadi soal bukan hanya tentang status jukirnya,  legal atau liar, serta lokasi parkiran sudah tepat atau tidak. Tetapi adanya ‘kekosongan kontrol serta pengawasan’ dari stakeholder terkait, terutama pada ranah teknis lapangan.

Dalam konteks ini, tidak ada salahnya kita mempertanyakan sejauh mana pengawasan Pemerintah, Dinas Perhubungan dan PD Parkir Makassar Raya terhadap jukir-jukirnya di lapangan dan seperti apa evaluasinya?

Pada kondisi inilah, kita mesti melihat fenomena menjamurnya Jukir Liar sebagai akibat belum optimalnya stakeholder terkait dalam menertibkan Jukir yang notabenenya Legal. Sehingga anggapan yang mengatakan Jukir Legal terbebas dari potensi melanggar hukum adalah tidak sepenuhnya benar. Bisa saja, Jukir Legal ini ‘taat secara administratif’ namun menyimpang pada ranah teknis. Bentuk penyimpangannya beragam, misalnya penetapkan tarif lebih mahal dari ketentuan hingga memarkir kendaraan sembarangan.

Bahkan, Jukir Legal sebenarnya jauh lebih berpotensi merugikan publik, sebab dapat melakukan kecurangan secara sistematis dan terstruktur. Seperti yang baru-baru ini terjadi di mana petugas Dinas Perhubungan Kota Medan berkolusi dengan jukir-jukir melakukan praktik pungutan liar.

Di beberapa titik Kota Makassar, seperti pusat perbelanjaan, warung kopi, warung makan, para jukir-jukir ini menguasai lahan yang sebetulnya tidak pantas dijadikan sebagai tempat parkir, karena menganggu laju kendaraan serta merebut hak pejalan kaki.

Kedua, melihat para Jukir Liar ini sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial. Mengingat pertambahan penduduk di kota-kota besar begitu pesat yakni berkisar 4-5% tiap tahun mengakibatkan pengangguran merajalela. Sementara menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Selatan, menunjukkan angka pengangguran di Kota Makassar mencapai 13,18% pada 2021. Meskipun angka pengangguran ini mengalami penurunan dari 15,92% pada 2020, namun tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah Jukir Liar di Kota Makassar.

Mesti dipahami adalah para Jukir Liar ini menjadikan parkiran sebagai usaha tunggal, karena sulitnya mengakses lapangan pekerjaan yang layak, ditambah lagi mereka tidak memiliki keterampilan khusus.

Lagi pula, para Jukir Liar ini bekerja bukan untuk menjadi kaya, tetapi untuk bertahan hidup. Justru secara konstitusi, masih menjamurnya jukir-jukir liar menjadi alarm gagalnya pemerintah setempat dalam menjalankan amanah konstitusi, pasal 34 UUD 1945 menegaskan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.

Namun peningkatan pengangguran dan maraknya Jukir Liar tidak terjadi begitu saja. Fenomena ini juga erat kaitannya dengan pertambahan penduduk, terutama penduduk yang berasal dari daerah kemudian merantau ke Kota Makassar. Pertambahan penduduk yang tidak terkendali ini, semakin memperketat persaingan hidup di Kota Makassar. Dalam kasus ini, pemerintah belum optimal dalam mengendalikan pertumbuhan pendududk, terutama para pendatang dari daerah tadi. Sehingga idealnya, bertambahnya penduduk dan penggunaan kendaraan harus dibarengi dengan bertambahnya lahan parkiran. Mengingat jumlah kendaraan di Kota Makassar menurut Dinas Perhubungan pada 2020 mencapai 2,1 juta unit kendaraan, di mana 1,6 juta di antaranya merupakan sepeda motor.

Alasan terakhir mengapa Jukir Liar harus dibela karena fenomena ini erat kaitannya dengan Rencana Tata Ruang Kota. Mengapa? sebab penataan sebuah kota harus disesuaikan dengan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi.

Di Kota Makassar, banyak pemilik toko atau usaha yang tidak memiliki kapasitas lahan parkir yang memadai, sehingga menjadikan badan jalan sebagai lahan parkir tambahan. Oleh karenanya, Pemerintah Kota mesti segera mengambil kebijakan dengan penataan ruang kota sesuai pertumbuhan penduduk, infrastruktur dan problem yang dihadapi Kota Makassar. Salah satunya dengan melakukan pembaharuan tata ruang kota guna memenuhi permintaan lahan parkir yang semakin bertambah.

Volume kendaraan ini kita yakini akan terus bertambah mengingat kondisi Kota Makassar kian menyesakkan pengendara dari waktu ke waktu.

Penataan dan pembaharuan tata ruang kota harus dilakukan dengan hati-hati, terutama memperhatikan kelompok warga kelas bawah dan kelompok disabilitas. Namun yang dimaksud penulis bukan penataan ruang kota agar tercipta nuansa estetik semata, tetapi pembaharuan tata ruang kota tanpa harus ‘mematikan’ mata pencaharian si jukir-jukir tadi. Keterkaitan antara persoalan ekonomi dan tata ruang kota inilah, menjadi alasan kuat mengapa profesi Jukir Liar harus dibela dengan cara menatanya, bukan diberangus.

Jikalaupun Pemkot Makassar ingin memberangus Jukir Liar, seharusnya pemkot juga harus berani menawarkan pekerjaan yang lebih layak atau memfasilitasi mereka agar memiliki keterampilan. Sebab tidak bisa dinafikan bahwa fenomena Jukir Liar ini di sisi lain dapat menjadi solusi pengangguran yang belum mampu diakomodir secara maksimal oleh Pemerintah Kota.

Fenomena dan segala persoalan yang ditimbulkan Jukir Liar maupun legal ini, harus menjadi agenda prioritas pihak terkait agar Kota Makassar tidak menjadi Kota yang ‘depresi’, karena terus mengalami perkembangan yang cepat tetapi tidak dibarengi pola tata ruang yang tepat, yang berujung pada akutnya kemacetan, krisis sosial, melebarnya kemiskinan serta memicu tindakan-tindakan kriminalitas di Kota Makassar.

Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sosiologi UNM, Ketum HMI MPO Makassar 2021-2022