Problem Sampah Pulau Kodingareng


Foto : Penampakan Lokasi Pembuangan Sampah di Kodingareng

Oleh Akbar*

MAKASSARBICARA.COM-Pasca ancaman pengrusakan lingkungan oleh aktivitas Tambang Pasir Laut beberapa tahun terakhir, kini pulau Kodingareng kembali menghadapi masalah yang tidak kalah serius. Sampai hari ini pemerintah setempat dan warga Kodingareng belum menemukan formula yang tepat dalam menyelesaikan problem sampah.

Pada tahun 2020, Pulau Kodingareng memiliki penduduk 4.526 jiwa, pulau terpadat dibandingkan 10 pulau lainnya di Kota Makassar. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dan elemen masyarakat menyelesaikan persoalan sampah. Mulai dari Sosialisasi, Pendirian Bank Sampah, hingga pembentukan tim kebersihan. Meski begitu, upaya-upaya pemerintah sejauh ini patut diapresiasi meskipun belum optimal.

Berdasarkan pengamatan langsung penulis, ada dua persoalan mendasar yang menjadi penyebabnya.

Mentalitas dan Pola Pikir yang Keliru

Masalah sampah merupakan persoalan mentalitas. Meskipun warga pulau menyadari bahwa sampah merupakan ‘suatu masalah’, disatu sisi warga tidak menganggapnya sebagai sebuah ‘ancaman’ terhadap keberlangsungan kehidupannya.

Mayoritas warga terlihat ‘nyaman’ hidup berdampingan dengan sampah yang berserakan, terutama di bibir pantai, dimana warga berbondong-bondong berfoto ria.

Kondisi demikian membentuk pola pikir yang ‘keliru’ di masyarakat pulau. Sementara pola pikir yang keliru membawa pada perilaku menyimpang. Sebagian warga menyadari resikonya, namun tetap melakukannya.

Ada anggapan bahwa membuang sampah di laut ‘bukanlah masalah’ karena sampah akan hanyut dibawa ombak. Anggapan ini diyakini warga pulau berdasarkan pengalaman mereka, bahwa aktivitas membuang sampah di laut telah sejak dulu dilakukan dan kondisi pulau serta ekosistem laut ‘aman-aman’ saja.

Anggapan lainnya bahwa sampah yang ada dipulau merupakan sampah kiriman dari daerah lain. Anggapan ini memposisikan warga Kodingareng sebagai ‘korban’ dari sampah kiriman, yang dipercayai datang dari luar pulau Kodingareng.

Pola pikir tersebut menandakan masih lemahnya kesadaran warga. Yang dikhawatirkan adalah bila pola pikir ini terus dipelihara, akan mempercepat datangnya ‘bencana ekologis’. Bencana dan kerusakan ekosistem laut akibat disesaki oleh sampah. Selanjutnya, kehidupan warga Kodingareng juga akan ikut terancam.

Oleh karenanya, dibutuhkan metode penguatan kesadaran warga terkait pentingnya menjaga ekosistem laut. Sebagai langkah awal penyadaran, perlu dilakukan pendekatan persuasif secara berkelanjutan, guna menguatkan kegiatan-kegiatan Sosialisasi yang telah dilakukan sebelumnya. Pendekatan persuasif yang dimaksud dengan pemberian Reward (imbalan) dan Punisment (hukuman).

Memberikan Imbalan bagi warga yang tidak membuang sampah sembarangan merupakan bentuk apresiasi dan penghargaan. Demikian pula, penjatuhan hukuman bagi warga yang terbukti membuang sampah sembarangan. Pemberian Imbalan dan Hukuman dilakukan sebagai upaya kontrol sosial.

Bentuk Reward dan Punisment dapat disepakati bersama.  Imbalan dan hukumannya dapat berbentuk apresisasi moril atau sanksi social, dapat berupa pemberian hadiah dan denda bagi pelanggar.

Langkah ini layak dicoba, sebab kecenderungan perilaku masyarakat dipengaruhi oleh imbalan dan hukuman apa yang akan diterima sebagai konsekuensi logis dari tindakannya.

Secara teori, semakin bermakna imbalannya, semakin besar  kepatuhan warga untuk tidak membuang sampah sembarangan. Semakin ringan hukumannya, semakin besar potensi warga untuk membuang sampah sembarangan.

Dari segi regulasi, kita bisa menerapkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Makassar Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Sampah, lebih tegas lagi. Dalam aturan ini warga dapat didenda senilai 2 juta rupiah.

Solusi Konkret Bukan Sekadar Imbauan

Upaya yang dilakukan pemerintah setempat, tidak dibarengi dengan solusi konkret. Akibatnya beberapa program pemerintah mandek dan tidak mendapat dukungan warga.

Misalnya program Bank Sampah. Program pengelolaan sampah dengan nilai ekonomi ini, nyatanya tidak diminati warga pulau. Sampah yang terkumpul di Bank Sampah juga belum mampu diolah. Alhasil sampah-sampah terus bertumpuk di Bank Sampah.

Pemerintah setempat juga telah membentuk tim bersih-bersih pulau yang diberi upah. Langkah ini sebenarnya punya kontribusi cukup untuk menjamin sampah agar tidak berserakan, tetapi tidak ‘membebaskan’ Pulau Kodingareng dari bayang-bayang sampah.

Yang aneh adalah tatkala pemerintah Pulau Kodingareng memasang spanduk larangan membuang sampah. disaat yang bersamaan pemerintah tidak menyediakan tempat penampungan sampah. Ibarat disuruh Buang hajat di WC tapi bangunan WCnya belum ada.

Ketika sampah berhasil dikendalikan, maka tidak hanya akan ‘menyelamatkan’ Pulau Kodingareng dari bencana, tetapi juga membawa Kodingareng ke level ‘Pulau Wisata’. Kodingareng sebagai Pulau Wisata akan mendatangkan nilai tambah sehingga kesejahteraan warga lokal dapat meningkat dan menjadi percontohan bagi pulau lainnya.

Untuk sampai kesana, pada level kesadaran memahami hakikat lingkungan sebagai harta yang harus dijaga, warga pulau harus memposisikan dirinya layaknya seorang anak bagi Lautan. Sementara warga mesti memperlakukan lautan layaknya ‘seorang ibu’ yang harus dijaga dan dihormati, sebagaimana Suku Kajang menjadi Hutan sebagai Ibu.

Lagi pula, warga pulau Kodingareng mafhum terhadap ajaran agama. Terlihat masjid-masjid dipenuhi jamaah setiap 5 waktu sehari. Seharusnya, ketaatan tersebut juga mencerminkan perilaku warga yang ramah terhadap lingkungan. Jangan menunggu hingga apa yang dikatakan Allah tiba “Telah nampak kerusakan di darat dan laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (Surat Ar-Rum, 30:41).

Bagaimanapun, kita harus mewaspadai dan mengantisipasi problem sampah ini dengan segera, sebab volume sampah tiap tahunnya terus membeludak. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Makassar mengatakan tahun 2020 produksi sampah Makassar berkisar 900 ton tiap harinya. Sementara 2022, setiap orang di Makassar menghasilkan 0,6 kg sampah tiap harinya.  Angka fantastis yang akan menenggelamkan Kota Dunia dan pulau-pulaunya.

Selamat Menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2022

Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi UNM dan juga Kolumnis di Makassarbicara.id