*Oleh Akbar
MAKASSARBICARA.ID-Pada dasarnya inovasi dalam pembangunan adalah hal yang dibutuhkan. Sejauh ini Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar telah melakukan beragam inovasi, salah satunya akan menyulap Lorong-Lorong kumuh menjadi tertata, sekaligus menjanjikan nilai ekonomi. Tahun ini pemkot manargetkan 1000 Lorong Wisata yang akan di launcing pada 17 Agustus 2022 mendatang.
Tidak Sekadar Pelunturan Stigma
Lorong-lorong sering diidentik dengan kehidupan yang kumuh, sementara kehidupan kumuh erat kaitannya dengan kemiskinan. Kehidupan pada lorong-lorong dianggap sebagai sumber penyakit, kejahatan, dan perilaku menyimpang lainnya. Untuk itu pemkot menilai persoalan lorong harus segera dibenahi, ditata dan diberdayakan. Dengan program Lorong Wisata, pemkot optimis Kota Makassar dapat terbebas dari pemukiman kumuh dan masyarakat lebih berdaya secara ekonomi.
Namun persoalan kawasan kumuh bukan hanya tentang Kemiskinan. Bagi penulis, ini tentang Kebijakan Publik. Menjamurnya pemukiman kumuh dipicu oleh Urbanisasi yang tinggi dan tidak terkendali. Banyak penduduk desa memilih tinggal di Kota Makassar, meskipun persaingan hidup semakin ketat.
Menurut Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan, saat ini jumlah penduduk Kota Makassar sekitar 1,5 juta jiwa. Banyaknya penduduk dari daerah yang menetap di kota menyebabkan Kota semakin padat dan pada akhirnya menempati ruang atau lahan-kahan yang tidak seharusnya. Ketersediaan lahan yang terbatas, mendorong berdirinya bangunan-bangunan liar dan pemukiman kumuh.
Sementara Program Lorong Wisata hanya akan melunturkan ‘stigma negatif’ atas kehidupan lorong-lorong, namun tidak akan menyelesaikan persoalan pemukiman kumuh di Kota Makassar secara total. Disinilah kejelian pemerintah dalam mendiagnosa masalah dapat dilihat. Salah memahami masalah, akan salah menetapkan kebijakan, dan bahkan bisa menjadi fatal.
Untuk mengurangi pemukiman kumuh dan liar, pemkot perlu membuat kebijakan yang menekan tingkat urbanisasi dari daerah ke Kota. Juga mere-desain (menata ulang) tata ruang kota dengan memperhatikan tingkat populasi penduduk.
Dengan kebijakan tersebut, populasi penduduk dapat terkendali. Meski urbanisasi nantinya dapat dikendalikan, namun harus ada upaya membentuk penduduk agar berkualitas. Artinya jumlah penduduk yang banyak jika tidak berkualitas, tidak akan menjadi potensi pembangunan, tetapi dapat menjadi penghambat serta ancaman bagi pembangunan kota.
Terlebih ketika pemkot tidak siap dan tidak mempunyai kemampuan dalam menyiapkan prasarana dan fasilitas memadai untuk menampung ledakan penduduk ini. Kembali penulis menegaskan, bahwa Urbanisasi yang tidak terkendali akan menimbulkan pemukiman kumuh dan liar, kemiskinan serta pengangguran tinggi di perkotaan.
Oleh karenanya, persoalan urbanisasi harus mendapat perhatian serius pemkot, sebab urbanisasi yang ‘berlebih’ dapat membebani kota.
Lorong Sebagai Pusat Kebudayaan
Perihal Lorong Wisata, Pemkot Makassar menargetkan 5000 Lorong dalam kurung waktu 5 tahun. Sebagai ruang publik, tempat bertemunya pengendara dan pejalan kaki, Lorong menjadi ruang yang cukup strategis untuk bersosialisasi. Olehnya itu, pemkot juga dapat menjadikan Lorong Wisata sebagai Pusat Kebudayaan (Culture Center), yakni lorong yang memperkenalkan Kearifan Lokal Kota Makassar.
Inilah yang menjadi daya tarik dari Program Lorong Wisata yakni lorong wisata dengan konsep Kebudayaan dan Kearifan Lokal. Sehingga para wisatawan tidak hanya sekadar menikmati jajanan UMKM dan warna-warni hiasan lorong, tetapi secara bersamaan pengunjung bisa memahami bagaimana Kebudayaan dan Kearifan Lokal Makassar. Dengan Lorong Wisata, kebudayaan dapat dilestarikan.
Untuk itu, desain dan komposisi Lorong Wisata mestinya memuat unsur-unsur kebudayaan dan kearifan lokal Makassar sebagai sebuah Kota dengan sejarah panjangnya. Desain Lorong Wisata sebaiknya didominasi oleh nilai-nilai sejarah, serta penggambaran tradisi-tradisi lokal, corak keberagaman suku, bahasa dan agama. Agar lebih menarik, corak-corak kebudayaan itu dibungkus dengan format kekiniaan.
Hal penting lainnya adalah memprioritaskan partisipasi warga lokal yang bermukim di lorong. Partisipasi yang dimaksud tidak hanya pada saat proses penggarapan Lorong Wisata, tetapi juga pada tahap pengembangan dan evaluasi. Keterlibatan warga juga akan membantu kelompok tani yang dibentuk pemkot Makassar sebagai pengelola utama Lorong Wisata ini.
Pelibatan kelompok mahasiswa juga dibutuhkan sebagai pekerja seni dari kalangan muda. Keterlibatan mahasiswa membawa kesan energik pada program Lorong Wisata karena dianggap memahami kondisi ‘kekinian’. Dengan sentuhan seniman muda dan seniman tua, memungkinkan Lorong Wisata dapat dinikmati oleh semua kalangan, sebab pekerja seni tua dan muda dipadukan.
Lorong Wisata Yang Berkelanjutan
Program Lorong Wisata dapat optimal apabila didukung oleh perencanaan yang memadai. Ini penting, melihat banyak program pemerintah justru menghabiskan banyak anggaran, namun tidak menghasilkan apa-apa. Mayoritas program bernasib demikian dikarenakan tidak adanya ‘pendampingan’ yang dilakukan secara berkelanjutan.
Untuk itu, Pemkot Makassar perlu membentuk tim pendamping dari unsur pemerintah dan tenaga ahli untuk menggawangi setiap Lorong. Tim yang dimaksud tidak hanya sebagai fasilitator, tetapi juga sebagai ‘penerima aspirasi’. Ini penting sebab dapat menjembatangi pemkot dengan warga lorong. Tim pendamping akan melakukan evaluasi serta menjadi informan atas perkembangan Lorong Wisata secara berkala.
Jangan sampai Program Lorong Wisata berakhir sama seperti pengadaan Kotak Kontainer Makassar Recover, yang kini menjadi bangkai besi yang absen akan manfaat.
Jika program Lorong Wisata ini berhasil, maka bukan tidak mungkin dapat menegakkan ekonomi kerakyatan yakni ekonomi yang adil dan merata. Apalagi ada 5000 Lorong Wisata yang akan dikerjakan pemkot. Tentu ini akan menjadi nilai tambah, baik secara ekonomi, kebudayaan, dan rasa kecintaan warga terhadap kotanya.
Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi UNM, Ketum HMI MPO Makassar 2021-2022 dan juga Kolumnis di Makassarbicara.id