Oleh: Sulaiman Saputra
MAKASSARBICARA.ID-Pendidikan menjadi lahan subur untuk memperoleh keuntungan. Segala aktivitas dalam proses pembelajaran selalu diukur dengan prinsip kalkulasi ekonomi. Termasuk pola pikir “memberikan tugas” adalah uang, “seminar proposal” adalah uang, “seminar hasil” adalah uang dan “wisuda” juga uang.
Ada sebuah kejadian. Tepatnya pada hari selasa, 8 November 2022 di sebuah grup Whatsapp. Ada dua orang yang mengirimkan link video agar ditonton dan diberi like untuk memenuhi tugas mata kuliah mereka. Disaat link tersebut saya buka satu persatu ternyata, itu channel youtube pribadi seorang dosen.
Begitupun standar penilaian tugas yang diberikan, nilai bagus bergantung pada jumlah like yang diperoleh. Jumlah like dari semua tugas yang diberikan kepada mahasiswa adalah rating untuk channel. Hal ini mengindikasikan bahwa tugas yang diberikan sebenarnya dimanfaatkan demi mendapatkan keuntungan pribadi.
Bukan hanya kasus ini saja yang sering terjadi dikalangan mahasiswa UNM. Ada beragam masalah. Sehingga saya inisiatif mencari tahu lebih dalam terkait problematika di kampus.
Pada hari Selasa, 15 November 2022. Saya mencoba bertanya melalui pesan whatsapp, perihal kewajiban membayar jika ingin seminar proposal, seminar hasil dan ujian tutup. Kepada tiga orang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, yang sementara melakoni tugas akhirnya sebagai mahasiswa. Mereka membenarkan bahwa dalam menjalani tugas akhirnya; seminar proposal, seminar hasil dan ujian tutup. Ada “amplop” yang mereka berikan kepada dosennya.
Alasan mereka memberi amplop kepada dosennya itu beragam, ada yang bilang tidak dilayani jika tidak membayar, “kalau tidak membayar kami dipersulit”, dan bahkan dosen memberi isyarat dengan pertanyaan “Adakah amplopnya?”. Tutur mereka.
UKT UNM Mahal?
Disisi lain, pembayaran UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang wajib dibayar oleh semua mahasiswa itu tidak sesuai dengan fasilitas yang akan diperoleh.
Misalnya mahasiswa yang kuliah online, tidak menikmati fasilitas kampus. namun pembayarannya tetap sama dengan mahasiswa yang kuliah secara tatap muka.
Tidak hanya itu, mahasiswa yang menjalani tugas akhirnya (seminar proposal, seminar hasil, ujian tutup, dan wisuda) masih saja dibebankan pembayaran, padahal biaya tugas akhir sudah termasuk dalam pembayaran UKT (Uang Kuliah Tunggal).
Tanggapan serupa, juga dibenarkan oleh seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UNM. Pembayaran wisuda masih diberlakukan, bahkan tidak mengikuti proses wisuda pun tetaplah sama (wajib membayar).
Dalam PERMENDIKBUD No. 25 Tahun 2020, tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Pada Perguruan Tinggi Negeri Di Lingkungan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, bahwa Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (BOPT) dikelompokkan ke dalam 2 (dua) komponen utama, yaitu: Biaya Langsung (BL) dan Biaya Tidak Langsung.
Biaya Langsung (BL) merupakan biaya operasional yang terkait langsung dengan penyelenggaraan program studi. Komponen Biaya Langsung (BL) di huruf a. Jenis Biaya Langsung, poin 3 bahwa kegiatan tugas akhir/skripsi: tugas akhir, skripsi, seminar, ujian komprehensif, pendadaran dan wisuda.
Dari uraian tersebut, sudah jelas bahwa biaya seminar proposal, ujian hasil, ujian tutup dan wisuda, sudah termasuk dalam pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT). Perlu diperjelas, jika masih ada pemberian “amplop” pada pelaksanaan tugas akhir mahasiswa, maka itu termasuk bagian dari gratifikasi.
Tingginya hasrat kalkulasi ekonomi membuat para pendidik tidak lagi memprioritaskan peserta didiknya dalam memberikan pengajaran, banyak kita temui para pendidik yang memiliki pekerjaan ganda (Dosen yang pedagang, pengusaha dan sebagainya).
Adanya pekerjaan ganda yang dimiliki oleh pendidik, berdampak pada efektivitas proses pembelajaran yang diberikan. Hal ini diresahkan oleh seorang mahasiswa baru dari Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UNM, yang jadwal kuliahnya selalu dipindahkan pada malam hari dengan alasan dosen ada kesibukan lain di luar kota.
Jika melihat realitas pendidikan hari ini, maka pendidikan seolah kehilangan maknanya sebagai wadah pencerdasan. Pendidikan yang diyakini sebagai awal dari sebuah perubahan yang lebih baik, kini telah mengalami paradoksal. Dimana pendidikan berada antara pencerdasan atau pembodohan, antara kemajuan atau kemunduran, antara perbaikan atau pengrusakan. Bukankah demikian?
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Psikolgi UNM dan Ketua Umum PK IMM Psikologi UNM / sulaimansul9656@gmail.com