OPINI: Simalakama Pengesahan RKUHP


Sumber: lpmperspektif.com

Oleh Aim*

MAKASSARBICARA.ID-Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah dilakukan DPR pada 6 Desember 2022 di tengah penolakan berbagai kelompok masyarakat.

Namun, masih ada pasal-pasal bermasalah yang mengharuskan kita untuk tetap mengawasi DPR-RI agar mencabut dan merevisi kembali pasal-pasal tersebut.

Saya terfokus pada pasal 188 yang tertulis bahwa; “Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau PAHAM LAIN YANG BERTENTANGAN DENGAN Pancasila di muka umum.. dipidana penjara 4 tahun”.

Saya tidak habis pikir dengan pemerintah yang mengeluarkan rancangan UU KUHP. Apa yang salah dengan mengadopsi “pemikiran” marxisme-leninisme? Itu hanya pikiran.

Dengan hadirnya pasal seperti ini, betapa bernafsunya negara, mengatur cara kita untuk berpikir. Negara sepatutnya menjaga ketertiban dan keamanan kehidupan masyarakat tanpa mengekang kebebasan individu.

Tidak ada gunanya kita berbicara kemerdekaan berpikir, kalau di ujungnya pemerintah membatasi kita untuk “berpikir bebas” dengan dalih bahwa, hal tersebut “bertentangan dengan pancasila”.

Benarkah ajaran Marxisme bertentangan dengan Pancasila?

Jika dikaji dengan kacamata hukum kausalitas, maka pertama saya mau katakan bahwa, apa yang diajarkan Marx adalah reaksi atau akibat dari apa yang telah disebabkan penguasa pada masanya.

Coba kita baca sejarah, soekarno bilang dia Marxisme, sultan syahrir dia penganut paham Marxisme dan beberapa founding father kita terinspirasi dengan sosialisme yang tentunya buah dari ajaran Marxisme.

Ajaran Marxisme justru memantik kita agar peka terhadap problem sosial yang terjadi sampai saat ini. Dan banyak sekali ketimpangan yang terjadi salah satunya kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap kesejahteraan masyarakat.

Dengan ini menolak sebuah bentuk ketidak adilan yang diperbuat oleh penguasa merupakan suatu kewajiban untuk dilakukan.

Inilah akibatnya jika negeri ini dipimpin oleh orang yang kekurangan inovasi pikiran dan sesuatu yang masih bisa didiskusikan tapi perdebatan dibatalkan dikarenakan arogansi melalui rancangan UU tersebut.

Kita selalu dikendalikan oleh kecemasan, seolah-olah kalau tidak Pancasilais maka negara ini akan bubar. Seharusnya negara kita akan bubar kalau hutang tidak dibayar dan harga kebutuhan pokok terus dinaikkan.

Namun pemerintah seolah-olah apatis terkait masalah tersebut, mereka hanya sibuk membuat aturan yang bersifat melindungi diri agar tidak dikritik.

Jangan-jangan mereka-mereka yang merancang UU tersebut, adalah orang yang tidak punya pengetahuan konkret tentang ajaran Marxisme-leninisme, hanya kabar burung yang mereka dengar, bahwa ajaran Marxisme itu berbahaya, mengancam keutuhan negara dan bertentangan pula dengan nilai-nilai pancasila.

Kemarin, saya ngobrol dengan salah satu kawan pers, dia menceritakan sebuah kejadian bahwa, pada tanggal 1 Desember dia membonceng seseorang yang tidak dikenali. Orang itu ingin diantarkan sebuah tempat, dimana lokasi itu ada sebuah diskusi, dengan bertemakan “festival human right ”.

Kawan pers tersebut pun juga ikut masuk ke lokasi diskusi itu. Saat pers berpendapat di forum dia menyinggung ihwal revolusi bolshevik dan ajaran Marxisme, dia pun melihat seseorang yang mukanya terlihat agak marah. Pers ini mulai curiga bahwa itu adalah intelijen.

Dengan kejadian ini, ekspresi yang ditampilkan intelijen tersebut menandakan kalau dia tidak senang dengan kata Marxisme dan sejenisnya.

Saya pikir intelijen tersebut sedari awal didoktrin oleh atasannya bahwa kata marxisme-leninisme dan sejenisnya itu, adalah kata yang bertentangan dengan nilai pancasila, yang seharusnya mereka ini mencari tahu terlebih dahulu makna kata tersebut, kenapa revolusi Marxisme itu bisa terjadi.

Dari sini saya anggap, sebuah pemikiran kolot yang di perlihatkan intelijen tersebut. Pemerintah dalam hal ini harusnya melindungi, bukan malah mengekang dan membatasi ruang untuk berekspresi.

Melindungi dalam artian masyarakat sipil tetap bebas berekspresi di manapun tanpa ada ancaman dari pemerintah itu sendiri.

Sehingga masyarakat tidak merasa takut dari kebebasan-Nya untuk berbicara. Jangan masyarakat itu ditakut-takuti dengan aturan sehingga mengakibatkan matinya demokrasi.

Dengan ini, seharusnya pemerintah melalui aparat jangan kemudian mengekang dan membatasi orang berekspresi, dengan catatan kebebasan itu tidak mengganggu hak orang lain.

Penulis adalah mahasiswa UINAM, senang berdemonstrasi