Persekutuan Ulama dan Negara


Penulis

Oleh Tasbih Ali*

MAKASSARBICARA.ID – Siapa sebenarnya yang dimaksud ulama? Jika kita memberikan otoritas kepada Ahmet T. Kuru untuk menjawab, maka beliau akan merespon dengan mengatakan bahwa ulama pernah melakukan persekutuan dengan negara.

Hmmm, sungguh jawaban yang tidak menyenangkan bagi mereka yang mengglorifikasi ulama. Tapi itulah yang pernah terjadi, paling tidak yang ditemukan Kuru selama ia mengembara ke masa lalu.

Mari sejenak mengesampingkan jawaban yang menyebalkan dari Kuru, kemudian kita hadapkan pandangan kepada Al-Qur’an.

Ternyata di dalam Al-Qur’an, ada empat ayat yang berbicara tentang realitas ulama pada masanya. 

Pertama, ulama sebagai pemelihara kitab-kitab Allah sekaligus saksi terhadapnya (QS. 5:44).

Kedua, ulama pernah tidak melarang mengucapkan perkataan bohong dan tidak melarang memakan yang haram (QS. 5:63).

Ketiga, ulama sebagai sosok yang berpengetahuan (QS. 26:197).

Keempat, ulama sebagai hamba yang takut kepada-Nya (QS. 35:28). 

Menariknya, selain berbeda-beda dalam menggambarkan realitas ulama pada masa lalu, keempat ayat ini sama sekali tidak ada yang berbicara tentang persekutuan ulama dengan penguasa.

Kendatipun demikian, kita harus mengakui bahwa definisi ulama pada poin kedua seakan-akan mensinyalir adanya persekutuan.

Ulama yang berpengetahuan, mempunyai rasa takut kepada Allah dan diberi tanggungjawab menjaga kitab-kitab-Nya, justru pernah membiarkan perkataan bohong dan membiarkan memakan yang haram. Dari sini, Ahmet T. Kuru sudah hampir benar.

Kalau begitu, mari kita melihat apa yang pernah terjadi antara negara dan ulama di masa lalu dan era kiwari, benarkah pernah terjadi persekutuan?

Di negara dengan rujukan konstitusional ke syariah, ulama telah berfungsi sebagai otoritas legislatif yang tidak demokratis. Bahkan di berbagai negara sekuler, para ulama bekerja sama dengan atau dikooptasi penguasa otoriter.

Misalnya di Turki, Tayyip Erdogan mengeksploitasi Direktorat Urusan Agama (Diyanet) sebagai lembaga terpusat di bawah kendali pemerintah.

Bahkan para imam abdi negara yang menyebar di 100.000 masjid di seluruh Turki terus membaca khotbah Jumat yang disusun oleh kantor Diyanet pusat. Kemudian pada saat-saat kritis, seperti sebelum pemilihan umum, khotbah buatan pemerintah mempropagandakan pandangan rezim Erdogan.

Bukan hanya itu, Erdogan bahkan melakukan banyak tindakan otoriter, termasuk penyitaan ribuan harta milik pribadi warga negara dan pemenjaraan puluhan ribu orang dengan dakwaan teror. Namun dia terus mendapat dukungan dari mayoritas tokoh ulama, termasuk ulama terkemuka dan syekh sufi. 

Ahli hukum Islam termasyhur Turki, Hayrettin Karaman, berperan penting dalam mempertahankan persekutuan antara Erdogan dan ulama.

Selama beberapa dekade, Karaman menjembatani ulama Turki dan ideologi Islamis. Karaman berpendapat bahwa setiap dan segenap Muslim seharusnya Islamis. Meskipun tidak menggunakan istilah itu, dia seharusnya menerima makna dan isi konsep tersebut.

Penting diketahui bahwa Tayyip Erdogan merupakan pendiri rezim Islamis populis di Turki.

Di masa lalu, satu bagian besar persekutuan ulama dengan negara adalah ulama Sunni Ortodoks.

Epistemologi ulama ortodoks sebagian besarnya dibentuk pada abad ke 9. Syafi’i berperan besar dalam pembentukan yurisprudensi ortodoks. Selanjutnya akan kita temukan Ghazali yang melakukan persekutuan dengan negara.

Pada awal abad ke-11, reaksi Sunni melawan dominasi penguasa Syiah mulai terlihat. Khalifah Abbasiyah, Qadir yang memerintah 991-1031 berperan besar dalam menggerakkan reaksi Sunni. Sunni menyerang teologi Syiah, dia mencoba membuat blok dengan para sultan Sunni, misalnya Mahmud Ghaznawi, untuk melawan Buwaihi di Baghdad dan kekhalifahan Fatimiyah di Kairo.

Pada 1017, Khalifah Qadir mengeluarkan dekrit melawan kelompok heterodoks, termasuk Mu’tazilah, melarang mereka mengajarkan pemikiran yang bertentangan dengan Islam ortodoks, dengan ancaman hukuman. Mahmud Ghaznawi mendukung keputusan itu dengan mempersekusi Mu’tazilah dan berbagai kelompok Syiah.

Selanjutnya, pada 1029 di Baghdad, Khalifah Qadir bergabung dengan beberapa ulama dan mengeluarkan dekrit yang lebih luas, bertujuan mengakhiri perdebatan teologis dengan mendirikan ortodoksi Sunni dan mengancam mereka yang menolaknya. 

Adapun isi dekrit tersebut diantaranya:

Pertama, mereka yang menggambarkan Qur’an dalam arti apapun sebagai sesuatu yang diciptakan kelompok Mu’tazilah adalah sesat dan boleh dibunuh.

Kedua, kedudukan empat khalifah dalam agama mengikuti urutan kronologis Abu Bakar, Umar, Utsman secara keagamaan dianggap lebih tinggi daripada Ali (berkebalikan dengan kepercayaan Syiah), dan mereka yang memfitnah Aisyah istri Nabi yakni kelompok Syiah, tidak ada hubungannya dengan Islam.

Ketiga, mereka yang tidak melaksanakan shalat setiap hari dianggap kafir.

Dua tahun kemudian, putra Qadir, yakni Qaim menjadi Khalifah pada 1031-1075. Pada 1041, Qaim menegaskan kembali dekrit ayahnya dan menekankan kembali peran dekrit itu dalam memperkuat teologi Sunni ortodoks.

Dalam konteks ini, Mawardi seorang ahli hukum dan hakim mazhab Syafi’i yang terkenal, bekerja untuk Qadir dan Qaim di posisi yang berbeda.

Kontribusi Mawardi yang paling penting adalah bukunya, Al-Ahkam As-Sulthaniyah mengenai kekhalifahan Islam. Buku ini telah banyak berpengaruh dalam menghubungkan hukum Islam dengan pemikiran politik dan mempromosikan pandangan Islam yang negara sentris.

Mawardi berpendapat bahwa otoritas politik hanyalah milik Khalifah yang mendelegasikan wewenangnya dengan menunjuk Wazir, Gubernur, Panglima, Hakim, pemimpin ibadah, dan pengawas moralitas publik. Kekuasaan para pemegang jabatan itu mengalir langsung dari Khalifah yang merupakan seorang laki-laki suku Quraisy.

Wajib diketahui bahwa Al-Ahkam As-Sulthaniyah ditulis saat Khalifah Abbasiyah hidup di bawah kekuasaan dinasti Buwaihi di Baghdad. Kondisi inilah yang membuat Mawardi berusaha mengklaim kembali otoritas Khalifah sebagai sumber legitimasi keagamaan.

Singkatnya, persekutuan ulama-negara pada masa Khalifah Qadir mengakibatkan persekusi terhadap kelompok Mu’tazilah dan Syiah. Sedangkan pada kasus Erdogan, mengakibatkan penyitaan ribuan harta milik pribadi warga negara dan pemenjaraan puluhan ribu orang. 

Sebenarnya dalam konteks inilah Al-Qur’an heran dan menegur dalam bentuk pertanyaan sekaligus mengutuk dengan mengatakan, “sungguh sangat buruk apa yang mereka perbuat,”(QS. 5:63). 

Penulis merupakan Sekretaris Umum HMI MPO Cabang Makassar Periode 1442-1443 H