Jokowi, Demokrasi, dan Latto-Latto


Penulis

Oleh Makmur*

MAKASSARBICARA.ID – Dunia dikendalikan oleh perasaan-perasaan, kata Eka Kurniawan pada sebuah acara podcast. Dan sepertinya memang begitulah dunia ini bekerja, tidak terkecuali di dunia politik.

Kita tentu sudah tahu bahwa saat ini ada tiga nama besar yang digadang-gadang sebagai kandidat kuat calon presiden. Diantaranya Ganjar, Anies, dan Prabowo. Ketiganya adalah figur populer dan  teratas di banyak lembaga survei.

Namun ketiga calon ini naik elektabilitasnya bukan terutama karena kualitas pribadi atau program politik mereka, tetapi karena faktor di mana posisi mereka berhadapan dengan satu nama besar Jokowi.

Konkretnya: apakah dia teman Jokowi atau lawan Jokowi. Apakah dia merepresentasikan yang suka Jokowi atau mencitrakan diri yang membenci Jokowi. Pokoknya polarisasinya di antara dua itu, yakni yang menyukai dan membenci Jokowi.

Polarisasi seperti ini membuat Jokowi seperti tangan yang berada di antara dua bola latto-latto yang saling berbenturan. Jokowi menjadi penggerak sekaligus penentu awal dan akhir permainan.

Politik Indonesia pun menjadi sangat Jokowi-sentris

Kedua kutub pemilih dalam polarisasi ini telah terlalu memitoskan Jokowi. Di satu sisi, bagi yang menyukainya, Jokowi dibayangkan sebagai figur penguasa yang baik dan merakyat. Sementara, bagi yang membencinya, Jokowi digambarkan sebagai penguasa zalim yang bahkan dituduh komunis. Dua gambaran yang tercipta ini sama fanatiknya dalam mematikan rasionalitas.

Politik yang dilandaskan pada perasaan suka dan tidak suka semacam ini membuat demokrasi Indonesia serasa seperti slogan saja. Demokrasi yang idealnya mengandaikan pemilih rasional yang memilih pemimpin berdasarkan kalkulasi untung rugi telah kehilangan identitasnya.

Konsep demokrasi sebagai produk abad pencerahan modern, yang mengandaikan pertarungan rasionalitas dengan produk politik yang juga rasional telah mati, atau memang tidak pernah ada di Indonesia.

Demokrasi yang ada saat ini adalah demokrasi yang  jatuh pada perasaan-perasaan. Demokrasi yang lebih mirip tirani mayoritas daripada kontestasi rasionalitas.

Tepatnya, demokrasi tanpa demokrasi.

Penulis merupakan Mahasiswa Sosiologi FIS-H UNM, Angkatan Tua