*Oleh Andi Ulfa Wulandari
MAKASSARBICARA.ID – Sejarah mencatat bahwa bangsa ini terlahir dari berbagai macam perbedaan, baik suku, budaya, ras, adat istiadat, agama, apalagi bahasa.
Seringkali seseorang takjub pada keindahan pelangi yang terdiri atas aneka macam warna, tetapi enggan menerima kenyataan bahwa perbedaan sebenarnya membuat sesuatu jauh lebih bermakna.
Indonesia yang terbentuk di atas kemajemukan, dilatarbelakangi oleh masyarakat yang multikultur, sebaiknya tidak membuat kita hanya berhenti pada toleransi pasif. Artinya kita tidak boleh hanya sekedar memahami kenyataan bahwa kita ini plural dan berbeda.
Lebih dari itu, kita harus melangkah jauh, memasuki dan menyelami samudera perbedaan itu.
Kita mesti mengambil peran saling mengenal, berdialog, bersolidaritas, dan sama-sama memperjuangkan hak sebagai warga negara. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi gesekan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Meminjam istilah Dr. Amin Abdullah dalam bukunya Studi Agama, bahwa yang menjadi polemik umat saat ini adalah adanya penyakit ‘klaim kebenaran’. Masalah ini menyebabkan pengkotak-kotakan pemahaman teologi pada enclave tertentu. Bahkan tidak hanya pada tataran teologi, hal sederhana seperti perbedaan etnik maupun gender pun, berpotensi besar terjadi.
Oleh karena itu, sekolah sebagai instansi pendidikan memiliki peran penting mewujudkan kemaslahatan antar umat, termasuk penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara.
*Sekolah Memiliki Privilege untuk Mencetak Generasi Terbaik
Selain materi-materi yang terdapat dalam buku ajar maupun sistem pendidikan karakter kita, penting bagi sekolah, melakukan learn by practice.
Hal ini dimaksudkan agar siswa tidak hanya memahami teori, namun juga mampu membaca realitas. Dengan begitu, siswa mampu memahami kemajemukan sejenak dini, dan tidak ‘alergi’ lagi terhadap perbedaan.
Itulah mengapa, sekolah menjadi salah satu mediator terbaik dalam membentuk karakter anak bangsa, sehingga menciptakan kerukunan di tengah keberagaman.
Adapun upaya yang dapat dilakukan sekolah antara lain memberikan edukasi terkait multikulturalisme di Indonesia, melibatkan siswa dalam kegiatan sosial, mendorong siswa untuk membuat proyek tentang kerukunan umat beragama, atau melakukan outing class, serta dialog ringan untuk membuka mindset siswa.
Program-program di atas juga diterapkan pada salah satu sekolah Islam di Makassar, yakni SDIT Makassar Islamic School Baruga.
Sebagai sebuah sekolah Islam terpadu yang notabennya seluruh siswa dan guru merupakan umat Muslim, sekolah ini tidak luput memberikan edukasi lanjutan kepada siswa dalam bentuk outing class.
Misalnya, pada 27 Januari kemarin, siswa kelas 4 SDIT Makassar Islamic School Baruga melakukan kunjungan ke Pura Giri Natha, yang merupakan pura terbesar di Kota Makassar. Kunjungan ini merupakan bentuk implementasi dari pembelajaran PKn yang bertema Kerukunan Umat Beragama.
Dalam kunjungan itu pula, siswa-siswi melakukan dialog berupa tanya-jawab tentang hal-hal apa saja yang siswa ingin ketahui dari agama Hindu.
Dewa Mahendra selaku Ketua PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Kota Makassar dengan ramah memberikan pemahaman terhadap siswa SDIT Makassar Islamic School untuk tetap hidup rukun dan berbuat baik terhadap saudara Muslim maupun Non-muslim.
Melalui program outing class ini, diharapkan memberikan kontribusi positif bagi semua pihak, terutama para tenaga pendidik dalam proses belajar-mengajar, dan bagi siswa-siswi dalam menyikapi perbedaan.
Pepatah mengatakan, bahwa katak dalam tempurung merasa dunia ini sempit, namun ketika ia keluar dari tempurung, barulah ia bisa melompat ke sana kemari dan mengatakan bahwa dunia ini amat luas.
Demikian juga hakikat manusia, dan sekolah adalah media terbaik untuk menyampaikan pesan-pesan perdamaian.
Penulis merupakan Founder Komunitas Cadar Garis Lucu