Oleh Agung Surya Salam*
MAKASSARBICARA.ID – Pendidikan adalah proses dimana ilmu-ilmu yang bermanfaat dijadikan bahan untuk berkehidupan bangsa. Pendidikan di Indonesia bisa didapatkan di segala ranah dan tempat, termasuk pendidikan perguruan tinggi.
Perguruan tinggi tak terlepas dari keberadaan Lembaga Kemahasiswaan (LK) yang memiliki tugas dan fungsinya tersendiri. Bagi mahasiswa aktivis, LK merupakan hal yang selalu menarik.
Perihal LK, ada banyak asumsi-asumsi yang berlagak positif dan negatif. Terutama para pelaku LK. LK adalah wadah mahasiswa mendapatkan ilmu ‘diluar’ daripada bangku kelas perkuliahan.
Orang-orang yang tergabung didalamnya adalah orang-orang yang terpilih sebagai pemegang amanah. Hal ini selaras dengan fungsi LK sebagai penyedia wadah aspirasi dan penyaluran minat bakat mahasiswa yang dinaunginya.
LK Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UNM yang terdiri dari 7 jurusan diisi oleh orang-orang hebat dan terpilih. Namun, tidak sedikit pula fungsionaris LK yang melenceng dari tupoksinya. Alhasil, banyak mahasiswa berpikir panjang untuk menjadi pengurus LK, terlebih ketika menghambat akademik mereka.
Dari hasil riset sederhana penulis (wawancara dan observasi), memang banyak mahasiswa lebih memilih akademik ketimbang terjun sepenuhnya menjadi pengurus LK. Contohnya mahasiswa berinisial T dan I ketika ditanya ‘pilih Lembaga atau akademik’, keduanya pun menjawab ‘lebih saya pilih akademik’.
Pilihan terhadap akademik begitu dipengaruhi oleh tujuan mahasiswa masuk perguruan tinggi yakni untuk menyandang gelar sarjana.
Namun perlu digaris bawahi bahwa kita sudah diberikan tanggung jawab menjalankan roda kepengurusan, sehingga seharusnya tidak lebih condong ke akademik semata. Kita harus mampu memanajemen waktu agar antara LK dan akademik dapat berjalan ‘seimbang’.
Berikut dua faktor mengapa mahasiswa lebih memilih akademik dibanding berdarah-darah menjadi pengurus LK di FIP UNM.
Pertama, efek candu program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Penulis memandang MBKM tidak lebih sebagai sebuah ‘bencana’ terhadap himpunan. MBKM lebih dipilih karena dapat menutupi kekurangan akademik plus mendapatkan uang saku.
Kedua, tuntutan penyelesaian studi. Hal ini tak luput dari para pengurus LK yang didesak dan terdesak penyelesaian studi. Celakanya, banyak pengurus LK menjadikannya sebagai alasan ‘menyampingkan’ urusan LK, yang notabenenya bertolak belakang dengan pengikraran sumpah pelantikan sebagai pengurus LK.
Fenomena lumrah ini mudah kita temui. Misalnya dengan melihat antusias para pengurus LK beraktivitas di lingkungan kampus.
Sekretariat sebagai pusat aktivitas organisasi kerap kali terpantau sepi. Pengurus bahkan lebih memilih sibuk diluar.
Para mahasiswa yang hampir setiap hari dulunya berapi-api berkata “Ayo masuk Himpunan, apalagi yang mau kita diskusikan” kini berubah menjadi “untuk apa berhimpun, lebih penting akademik, pesimis ka sama himpunan” dan bualan-bualan lainnya yang membuat penulis geli.
Harapan kita bersama bahwa tupoksi LK kembali kejalan yang benar dan lurus.
Sejatinya LK hadir karena rasa tanggung jawab dan amanah yang diemban. Bukan ajang memojokkan salah satu pihak, apalagi sampai mendewakan kurikulum merdeka ini.
Silahkan fokus ke akademik namun bukan berarti melupakan tanggung jawab sebagai pengurus LK.
Penulis merupakan Mahasiswa UNM