Oleh Andi Rahmat Al Muhajir BB*
MAKASSARBICARA.ID – Setiap pidato yang diucapkan pada kegiatan kampus, patut didengar secara serius. Apa lagi jika yang berpidato adalah Rektor atau sejenisnya.
Pagi itu, Universitas Negeri Makassar (UNM) menggelar Upacara Wisuda, tepat 20 Februari 2023.
Yang menarik ialah pidato Rektor dalam acara tersebut. Rektor bersabda “Jangan berhenti belajar jika tak ingin tersingkir oleh zaman”. Kemudian dilanjutkan dengan menawarkan wisudawan (i) melanjutkan jenjang S2 dan S3.
Bagi mahasiswa yang mendapatkan ‘predikat terbaik’/Cumlaude, diberi kesempatan masuk tanpa syarat atau bebas tes, bila ingin melanjutkan kuliahnya di UNM. Sepintas seperti tawaran yang menarik. Namun Rektor tidak menyebutkan, bahwa pembayaran kuliah tetap ada dan mahal.
Layaknya Teori Marketing, Rektor membuat seseorang merasa, pendidikan itu sangat penting dan menjadi kebutuhan mendasar. Lalu kemudian menawarkan harga termurah, bahkan gratis, tapi hanya berlaku pada tahapan tertentu.
Bagi saya bukan masalah, namun justru khawatir bila banyak yang menangkap pidato tersebut dengan tidak hati-hati. Lalu menganggap tawaran lanjut pendidikan merupakan satu-satunya jalan untuk terus belajar dan menuai kesuksesan.
Usai Rektor berpidato, meski acara telah selesai, tetap saja perkataan Rektor masih terbayang dipikiranku. Apakah iya pendidikan itu hanya sekolah? apakah iya belajar itu jika terdaftar di perguruan tinggi?
Saya teringat tulisan pak Toto Rahardjo yang berjudul Sesat Pikir ‘Belajar’. Tulisan yang mengajak kita untuk mengetahui terlebih dahulu, bahwa pengertian pendidikan dan belajar sudah diambil alih cukup lama oleh sekolah.
Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa pendidikan adalah sekolah. Jadi orang yang tidak sekolah dianggap tidak berpendidikan. Orang yang tidak sekolah dianggap tidak belajar. Akhirnya, pengertian pendidikan dan belajar bernasib buruk di negara kita.
Arkian, cara pandang tersebut mendistorsi pengertian belajar, belajar dipahami jika hanya membaca buku atau menghafalkan sesuatu.
Sedangkan para petani misalnya, menyediakan pangan bagi banyak orang dianggap tidak pernah belajar dan tak berpendidikan. Para pemulung plastik di Kota Makassar, para pekerja seni, para pengukir kayu di Toraja, hingga para peternak sapi perah di Malino dan sebagainya, yang barang tentu menghadirkan kebermanfaatan dan nilai estetik untuk dunia, dianggap tidak berpendidikan dan tidak belajar, hanya karena mereka tidak sekolah atau kuliah.
Dengan begitu, adalah wajar, bila banyak orang yang secara kritis melihat pendidikan di Indonesia makin menjauh dari realitas kehidupan nyata.
Hemat saya, kampus mestinya berperan dalam membangun kesadaran kelas, kesadaran gender, atau kesadaran kritis lainnya, serta turut mendialogkan cara pandang yang keliru.
Bukan malah ikut-ikut salah kaprah perihal arti pendidikan dan belajar.
Penulis merupakan Alumni UNM