Negara Lucu


Penulis

Oleh Dodi Pratama Putra*

MAKASSARBICARA.ID – Pertarungan kelas menunjukan hubungan sosial antar individu sangat dipengaruhi gengsi dan gaya hidup hedon.

Pembagian kelas oleh kekuatan borjuasi kecil dalam sudut pandangnya, memberikan sanksi kepada kelas tertindas untuk tidak memiliki hak nasionalisme (hak istimewa) dalam membuat perkembangan pada dirinya sendiri.

Tekanan kelas penindas saat ini tidak lagi bermuara pada ruang lingkup kesenjangan sosial, tetapi sudah mengarah pada hal-hal tabu dalam agama dan Negara yaitu kekerasan seksual.

Kekerasan seksual, menjadi momok mengerikan yang dialami oleh semua kalangan. Ada kelas yang diuntungkan dan dirugikan.

Kebanyakan kasus, semenjak era meramu dan berburu sampai pada zaman sekarang kapitalisme-imperialisme, yang dirugikan selalu saja kelas proletar atau golongan akar rumput, yang tidak mempunyai sumber daya dan kekuatan sosial.

Kekerasan seksual terjadi ketika adanya hubungan antar produksi sesama golongan yang telah dibagi menjadi beberapa golongan. Kelas menengah atau atas, telah memiliki kesempatan untuk melakukan kekerasan seksual tersebut.

Dikarenakan mempunyai sumber daya seperti, alat produksi, kekuatan sosial, kekuasaan, hingga relasi kekuasaan. Semua itu mejadi alat dan power untuk melancarkan aksi nyata.

Pemerintah dan semua alat Negara yang seharusnya menjadi pelindung, pengawas, dan pembasmi dari seluruh kejahatan yang akan terjadi tidak bekerja optimal.

Pencegahan dilakukan oleh Negara lewat berbagai alatnya, agar kejadian kekeraan seksual tidak terjadi diberbagai kalangan. Tapi Negara hanya hadir jika kejahatan sudah terjadi.

Ini menjadi PR untuk Negara. Hak istimewa yang menjadi landasan, tidak diberikan. Membuat sekat pembeda tiap warga Negara hingga terbentuknya kelas-kelas dalam masyarakat. Kekuatan yang berlebihan menjadikan kelas menengah sebagai pemberi dampak negatif terhadap gejala sosial.

Memberikan contoh kesenjangan sosial kepada tiap generasi hanya membunuh karakter utama yang ditanamkan oleh Negara. Pelaku kekerasan seksual, pasti memiliki relasi sosial yang kuat dan menjadikan kekuasaan itu menjadi alat untuk merusak tatanan sosial yang ada.

Kelas menengah atau tahap imperialisme adalah tahapan tertinggi dari kapitalisme. Kelas ini menjadikan keuntungan sebagai ideologi mereka.

Keuntungan menjadi tolak ukur dalam kesuksesan hingga mempengaruhi tindakan yang diperbuat. Dampak dari tahapan ini, salah satunya menjadikan manusia sebagai komoditas dan dihargai sebagai materi yang menguntungkan.

Imperialisme bukan saja merusak tatanan kehidupan, lewat perusakan alamnya. Tetapi juga manusianya lewat moral yang berkebudayaan seperti negeri nusantara Indonesia. Merusak moral anak bangsa adalah jalan terbaik untuk membunuh masa depan generasi selajuntnya.

Tugas Negara bukan hanya membuat aturan aturan untuk menakuti pelaku atau mengantisipasi kejadian tersebut, tetapi juga memberikan pemahaman karakter yang sesuai dengan nilai bangsa kita.

Hemat penulis, Negara seperti dibuat mati kutu oleh pelaku kejahatan, seolah tidak mempunyai power dalam melindungi masyarakat yang telah terbagi kelasnya. Pertanggungjawaban harus dilakukan oleh Negara dari akibat yang diperbuatnya.

Negara dilumpuhkan oleh kekuatan yang tak kasat mata, menjadikan Negara sebagai boneka untuk mempertahankan lingkaran setan dalam aktivitas keseharian masyarakat. Negara selalu saja kalah, oleh bayang-bayang ‘Negara Siluman’.

Peraturan tidak bisa dijadikan sebagai senjata yang melindungi semua dan seluruh kelas akar rumput. Pelaku hanya selalu diberikan ganjaran yang tidak sesuai sanksi agama, undang-undang dan sanksi sosial yang berlaku lewat kebudayaan masyarakat kita.

Kekuatan pelaku melebihi kekuatan Negara, sehingga pelaku dengan gampang menukar sanksi yang diberikan dengan berbagai kekuatan yang dimilikinya. Pelaku bukan hanya cerdas dalam menikam calon korbannya, sebab tingkat kecanduan pelaku lebih tinggi daripada kecerdasaan korban.

Hukum, aturan-aturan, dan alat Negara, biasanya lumpuh dengan efek kecanduan yang tidak bisa dikendalikan oleh dirinya sendiri. Secara psikologi, korban tidak mendapatkan penanganan dari Negara, yang seharusnya menjadi tempat bersandar para korban kekerasan seksual.

Himpitan masyarakat kadang kala menjadi musuh yang tidak dapat diatasi oleh korban, sehingga menjadikan korban sebagai ‘bangkai masyarakat’. Hal-hal yang tidak terduga bisa terjadi karena efek keterasingan, seperti bunuh diri.

Tidak ada yang berpikir kalau Negara, sebagai payung untuk berteduh, tidak bersalah atas semua ini. Kecerdasan Negara dan pelaku kadang-kadang sama, dalam hal, meninggalkan jejak.

Berkomprominya Negara dan pelaku tidak memberikan rasa aman bagi korban. Dikucilkan, diasingkan, disanksi sosial walaupun bukan keinginan pribadi sehigga terjadi hal demikian.

Perlunya menanamkan rasa empati dan simpati pada masyarakat, bahwa kekerasan seksual yang menimpa korban bukan akibat dari diri pribadinya. Tetapi karena tidak hadirnya Negara pada masyarakat.

Menjadikan Negara sebagai tempat berlindung kadang kala salah perhitungan. Karena bukan tanpa sebab, Negara justru bisa menjadi musuh korban.

Negara melihat relasi kuasa pada pelaku sebelum memutuskan sanksi yang akan diberikan. Putusan akan menjadi lucu, ketika yang diduga pelaku adalah ‘Negara Bayang-bayang’ atau ‘Negara Siluman’, yang selama ini menjadikan Negara sebagai boneka.

Negara takut pada bayangannya sendiri, sebab hidup pada siang hari. Dan pada malam hari, tertidur lelap bagaikan habis begadang menonton final piala dunia.

Jika Negara tertidur pada malam hari, biasanya para maling, ‘Negara bayang-bayang’ dan ‘Negara Siluman’ melancarkan aksinya.

Korban yang berjatuhan tidak memiliki tempat pada malam hari, tanpa disadari Negara hanya hadir pada waktu tertentu. Waktu sudah dibagi-bagi menjadi beberapa bagian.

Sehingga para siluman tadi, yang ingin merusak moral generasi bangsa mempunyai kesempatan, yang telah diberikan oleh Negara itu sendiri. Berselingkuh, seperti halnya sepasang pasangan.

Negara kadang berselingkuh dengan para siluman tadi, sehingga kelas proletar dan tertindas tidak mempunyai lagi tempat bersandar. Ditambah, fatwa-fatwa kaum agama yang menjadikan pelaku bebas dari sanksi sosial yang berlaku.

Kaum-kaum yang menjadi penengah kadang kala lupa diri, bahwa dirinya sebagai penengah. Mereka mengajarkan bahwa, tidak boleh ada yang disanksi, baik korban maupun pelaku.

Karena pemahaman mereka yang bersifat jangka panjang, yang ingin pelaku dan korban ini sama-sama mendapatakan konsekuensinya di akhirat nanti.

Umat manusia menjadi spesies yang terancam punah akibat tidak adanya moral yang tertanam di dalam diri mereka. Sehingga masa depan hanya menjadi angan-angan dan imajinasi yang selalu digaungkan.

Sama halnya kejayaan masa lalu kaum-kaum kerajaan besar, mulai dari Uni Soviet hingga Umat Islam.

“Saya suka kaum agamawan, tetapi kaum agamawan yang revolusioner. Saya suka Negara tapi Negara yang revolusioner”, ucap Ir. Sukarno.

Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar.