Wajah Murung BEMYU UNENG; Tidak Lagi Dipercaya Mahasiswa


*Oleh Yuyun Barania

MAKASSARBICARA.ID – Semenjak dilantik April lalu, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Makassar (UNM) belum membawa pengaruh signifikan terhadap kondisi pergerakan dan perkembangan keilmuan di kampus.

Situasi pergerakan dan keilmuan kalangan Lembaga Kemahasiswaan (LK) UNENG, memang mengalami kemunduran drastis.

Hal ini dikarenakan LK pada level Universitas tidak mampu merangkul LK fakultas hingga prodi untuk menyatu lantaran memudarnya ‘trust’.

Kondisi tersebut melahirkan persoalan lainnya yakni menurunnya minat mahasiswa UNENG untuk menyelami dunia aktivisme sehingga membuat forum-forum diskusi sepi. Dari masalah ini, BEMYU semestinya hadir menawarkan solusi.

Di wilayah internal kampus, BEMYU tidak memiliki sikap serius tentang masalah yang ada.

Persoalan klasik seperti pecah kongsi antara LK UNENG menyebabkan BEMYU berjalan tanpa dukungan LK. Pecah kongsi ini juga berdampak pada tidak maksimalnya kinerja BEMYU satu periode kedepan.

Masalah yang lebih membahayakan adalah mulai masuknya politik praktis di UNENG.

Sikap kritis dan berani, terakhir kita jumpai pada Maret 2019, dimana BEMYU dibawah kepemimpinan Dwi Rezky Hardianto mengecam dugaan politik praktis Husain Syam yang mendukung Akbar Faizal atas nama institusi kampus.

Indikasi politik praktis belakangan ini semakin menguat lantaran beberapa figur politik bertandang ke UNENG.

Pada Februari 2022, AHY selaku Ketua Umum Partai Demokrat hadir memberikan kuliah umum. Kemudian pada Maret 2023, Rektor UNENG menghadirkan Sekjed PDIP Hasto Kristiyanto memberikan kuliah umum.

Dari dua kuliah umum tersebut, Husain Syam sama-sama mengeluarkan pernyataan tentang ‘Pilgub Sulbar 2024’.

Dari rutinnya agenda politik yang dibungkus ‘kuliah umum’, nyatanya tidak memantik BEMYU dibawah kepemimpinan Guntur Gagairate Anwar mengeluarkan kartu kuning.

BEMYU UNENG saat ini belum menyampaikan sikap apa-apa terkait dugaan berpolitik praktis Sang Rektor. Sehingga tidak adanya sikap secara kelembagaan dapat mengindikasikan BEMYU turut mendukung politik praktis di lingkungan kampus.

Persoalan lainnya adalah belum jelasnya upaya dalam melawan kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Masyarakat akademika UNENG masih mempertanyakan keberadaan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual (PPKS) yang katanya telah dibentuk Rektorat.

Selain itu, pembentukan Satgas juga dinilai tidak transparan dan asal-asalan. Tim Satgas dinilai diisi oleh tenaga non profesional atau tidak memiliki pemahaman cukup tentang kekerasan seksual dan gender.

Memang dua persoalan di atas bukan perkara mudah, namun bukankah pengurus BEMYU dilantik untuk menyikapi masalah-masalah ini?

Rapat kerja (Raker) Pengurus BEMYU di Hotel Lamacca memamerkan wajah ‘lux’ organisasi. Sebenarnya tidak jadi ‘masalah’ menghelat kegiatan di tempat mewah, hanya saja terlihat kurang pantas dan aneh.

Merumuskan program kerja di tempat wah justru menampilkan watak hedon pengurus BEM. Namun sayang, jas pengurus BEMYU seharga jutaan tidak sebanding dengan gagasannya.

Menarik ditunggu, program kerja seperti apa yang akan dipersembahkan selama satu periode kedepan. Yang kita harapkan adalah proker yang mampu menjawab masalah mahasiswa. Bukan program seremonial dan buang-buang anggaran.

Jika melihat komposisi pengurus BEMYU, wajar jika sebagian besar mahasiswa UNM masih menaruh ragu. Penulis tidak pernah melihat Presiden BEMYU terlibat dalam aksi-aksi besar. Tidak juga di forum-forum bergengsi kelembagaan. Lantas bagaimana mungkin, ribuan mahasiswa UNM dipimpin oleh Presiden BEM yang tidak memiliki rekam jejak yang jelas .

Beberapa pengurus BEMYU saat ini cukup mengejutkan penulis. Ternyata rekan penulis turut nimbrung di kolam yang sama. Mereka adalah orang yang penulis kenal jauh hari.

Meski begitu, perasaan kecewa tidak sepenuhnya menyelimuti penulis. Mungkin saja, mereka orang-orang pilihan dengan misi memperbaiki BEMYU UNM ‘dari dalam’.

Namun BEMYU tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Secara struktur, BEMYU dibawah kendali kampus. Akibatnya, BEMYU tidak bisa asal bicara dan bersikap.

Bahkan dalam situasi tertentu, BEMYU wajib taat dan patuh. Ketergantungan anggaran terhadap birokrat,  terus menerus menggerus independensi BEM. Jadilah BEMYU milik birokrat, bukan milik mahasiswa.

Ini karena BEM belum mampu mandiri secara penuh.

BEMYU tak ubahnya antara hidup dan mati. Hidup di media sosial, tapi mati di tengah masyarakat kampusnya sendiri. BEM hanya bisa membuat flyer ucapan ‘Selamat Datang’ hingga berlomba-lomba sok idealis di hadapan mahasiswa baru.

Jika terus begini, BEMYU perlahan ditinggal mahasiswa. Mahasiswa tidak lagi melihat BEM sebagai wadah pengembangan diri dan tempat mendiskusikan kebenaran dan memberangus kejahatan. BEMYU kian terpuruk, sebab ada juga mahasiswa yang mencari hidup di BEM, bahkan dengan cara menggadaikannya.

Tanpa bermaksud membandingkan, memang iklim dan kualitas berlembaga mahasiswa UNM mengalami degradasi tidak biasa.

Teringat pada 2017 silam, ketika BEMYU berhasil merangkul 9 Fakultas. Setiap isu dikaji mendalam. Gerakan yang terbangun terstruktur, sistematis, dan masif. Setelah  itu, BEMYU mandek 3 tahun di bawah kepemimpinan mahasiswa asal Fakultas Olahraga.

Sementara hari ini, tidak sedikit pengurus LK menjadikan lembaga untuk pemenuhan hasrat media sosial. Bersewa foto dengan pdh menjadi kebangaan tersendiri.

Masyarakat kampus tentu tidak menginginkan kondisi BEMYU seperti sekarang. Mahasiswa UNM membutuhkan BEMYU yang mampu mengisi ruang kosong yang cukup lama ditinggalkan. BEMYU harus mempertegas posisinya, antara melindungi aspirasi mahasiswa atau malah menjelma sebagai juru bicara rektorat.

Pekerjaan rumah BEMYU adalah bagaimana merebut kembali kepercayaan LK dengan tiga cara. BEMYU mesti mulai membiasakan bersikap tajam terhadap kampus, mengurangi bermain mata,  dan menghilangkan perasaan gengsi tidak terlibat dalam gerakan akar rumput. Kegagalan BEMYU mengembalikan ‘trust’ mahasiswa, menjadikannya lembaga kering manfaat dan sunyi peminat.

Sementara di eksternal, BEMYU dikucilkan dan terkucilkan.

Ada penyakit yang melekat pada LK kampus yang kian akut. BEMYU lebih melihat organisasi eksternal sebagai musuh. BEM dalam mengawal isu masih cenderung ikut-ikutan, tak memiliki daya tahan lama, dan belum mampu memproduksi wacana sendiri.

BEMYU bertolak belakang dengan nafas perkembangan zaman yang mengedepankan gerakan kolaboratif. Tertutupnya BEMYU dalam menjalin kolaborasi dengan organisasi eksternal, menunjukkan kualitas pengurus BEM yang tradisional pula. BEMYU gaya zaman batu adalah BEM yang takut dengan tantangan, persaingan, dan cara berpikir yang berbeda dengan dirinya.

Pemikiran dan sikap tertutup demikian semakin melemahkan peran dan pengaruh BEM, baik di internal maupun eksternal kampus.