FIKK UNM; Simbol Fakultas Jahiliyah


Represifitas Terhadap Mahasiswa FIK. Sumber: YT. PROFESI TV

*Oleh Dirga

MAKASSARBICARA.ID – Saat melewati sebuah papan iklan bertajuk “Upacara Pembukaan Pertandingan Olahraga” dalam rangka memeriahkan Dies Natalis UNM (Universitas Negeri Makassar), seketika penulis memikirkan sebuah fakultas.

“Yang penting banyak uangmu, sudah bisa kuliah di FIKK”.

Sontak teringat ucapan tak meriah dari beberapa teman ketika membicarakan Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan (FIKK) UNM.

Di samping itu, tak adanya Lembaga Kemahasiswaan (LK) di FIKK membuat rasa penasaran menyelimuti penulis. Tak adanya LK akan membawa banyak pengaruh pada karakter dan kapabilitas mahasiswa.

Inilah penyebab mengapa kebanyakan orang mencibiri mahasiswa FIKK. Karena mereka meragukan kapasitas mahasiswa yang tak memiliki organisasi internal kampus.

Ketika birokrasi bersikap amoral dan tak ilmiah, LK sebagai penyeimbang dan penjaga nilai moral tidak hadir di tengah-tengah mahasiswa.

Sehingga birokrasi, termasuk dosen, menjadi satu-satunya panutan dan sumber pengetahuan mutlak di FIKK. Maka hari ini, dapat dikatakan mahasiswa FIKK merupakan cerminan dari birokrasinya.

Berangkat dari asumsi tersebut, rasa penasaran penulis semakin menjadi-jadi untuk menggali lebih dalam tentang FIKK.

Ternyata, usaha pembungkaman LK dimulai sejak tahun 2018.

Dari ‘9 mata orange’, ternyata ada satu mata yang menyimpan sisi gelap. Hanya itu yang bisa penulis katakan ketika melihat kondisi FIKK hari ini.

Pembungkaman berawal pada saat BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) bersama LK FIK melakukan demonstrasi menuntut penyelesaian berbagai masalah ke Dekanat pada tahun 2018.

Aksi protes mahasiswa FIK direpresif habis-habisan oleh dosen. Beberapa massa aksi dipukuli di tempat oleh dosen bak penjambret yang dihakimi sepihak.

Ada juga mahasiswa yang diseret masuk ke ruangan dan dikeroyok oleh dosen. Bahkan mahasiswa yang menonton pun ikut kena batunya, padahal tidak terlibat dan hanya melihat saja.

Pengakuan teman, oknum dosen pemukul mahasiswa adalah orang yang ahli seni bela diri. Ini jelas penyalahgunaan kekuatan karena seni bela diri dipakai untuk memberangus massa aksi yang sama sekali tidak melakukan tindak kejahatan.

Di sisi lain Dekanat FIK gagal memperlihatkan ruang ilmiah yang dialektis dan demokratis terhadap publik dan mahasiswanya. Ini berbanding terbalik dengan marwah kampus sebagai tempat perdebatan argumen secara rasional.

Kejadian itu sontak viral dan mendapat kecaman dari berbagai pihak, terutama mahasiswa.

Semenjak itu, satu per satu pembungkaman terjadi terhadap mahasiswa pengkritik Dekanat. Mulai dari main fisik secara brutal sampai dengan dipersulit semasa perkuliahan.

Usaha Dekanat berhasil karena sekarang LK telah mati dan dunia aktivisme sirna. Hingga penulis sampai pada kesimpulan bahwa status ‘ruang ilmiah’ kini tak pantas dilekatkan pada FIKK.

Karena tidak adanya LK yang berfungsi mengawasi dan mengintervensi keotoriteran Dekanat, maka seluruh permasalahan mencapai klimaksnya.

Pungli (pungutan liar) bertebaran di mana-mana, mulai dari tugas mata kuliah sampai dengan skripsi sebagai tugas akhir.

Tak sedikit mahasiswa yang mengeluhkan pembelian buku dengan harga ‘tak ngotak’ demi menghindari nilai E (error).

Tugas akhir adalah puncak pengeluaran uang sebab skripsi tak lagi dipandang sebagai karya ilmiah hasil ide dan inovasi mahasiswa, tapi skripsi sudah dianggap sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan.

Maka Peraturan UNM No. 9618 Tahun 2019 tentang Kode Etik Dosen diduga kuat dilanggar di FIKK, sebab pasal 5 dan 11 menjelaskan tentang pelarangan dosen menyalahgunakan wewenangnya.

Sarana dan prasarana (sarpras) memang menjadi masalah akut di UNM, akan tetapi di FIKK keadaannya lebih parah.

Mahasiswa harus menyewa fasilitas pada saat mata kuliah praktik. Itu di luar pengeluaran untuk membeli kebutuhan penunjang mata kuliah praktik seperti baju lapangan dan yang lainnya.

Tak perlu membahas permasalahan umum tentang sarpras karena di FIKK ruangan perkuliahan saja sulit.

Kalau di fakultas lain mahasiswa bersaing meraih nilai tinggi, di FIKK mahasiswa harus berlomba-lomba untuk mendapatkan ruang kelas demi bisa berkuliah.

Belum lagi saat sudah mendapat ruangan, mahasiswa harus mengadu nasib dengan suhu kelas yang tidak wajar sebab AC hanya menjadi pajangan.

Konon pelecehan dan kekerasan seksual juga terjadi di sana. Itulah mengapa penulis mengatakan FIKK tak pantas lagi disebut ‘ruang ilmiah’.

Sebab di sana sudah seperti pasar, kebanyakan yang terjadi hanya transaksi jual beli. Keadaan di sana nampaknya sudah sesuai dengan visi UNM, untuk menciptakan mahasiswa yang berwawasan kependidikan dan ‘kewirausahaan’.

Untungnya brankas narkoba tak ditemukan di sana.

Tentu pertanggungjawaban besar ada pada Dekan karena telah mengantar FIKK pada masa jahiliyah.

Lebih lucunya lagi bagi penulis adalah ketika orang nomor satu di UNM mendeklarasikan Dekan FIKK sebagai salah satu kandidat Calon Rektor yang baru.

Pun kalau nantinya gagal menjadi Rektor tapi tetap mendapatkan ‘kursi’ di Universitas, penulis khawatir kejahiliyahan di FIKK akan merebak ke seluruh seluk beluk UNM. Entah bagaimana nasib mahasiswa dan kampus ke depannya.

Tak adanya LK di FIKK menjadi hal yang sangat membekas di mahasiswa fakultas lain.

WR (Wakil Rektor) III baru yang telah menghidupkan BEM tingkat Universitas harusnya juga mampu melahirkan kembali LK dan BEM tingkat fakultas. Tapi itu tidak terjadi sampai sekarang.

BEM Universitas pun harusnya telah mengadvokasi permasalahan di FIKK jikalau memang serius untuk menghimpun 9 mata orange dan menjalankan misi ‘memperbaiki dari dalam’. Tapi nyatanya itu juga tidak terjadi.

Malah WR III bersama BEM-nya terlihat lebih kompak meningkatkan jejak prestasi UNM, mengomentari brankas narkoba, dan menegaskan ketakberpihakannya ke mahasiswa, terutama LK fakultas.

Contohnya saja pernyataan sikap BEM Universitas kemarin. LK tingkat fakultas tidak pernah diajak oleh BEM Universitas untuk berdiskusi persoalan brankas, tapi tiba-tiba sudah ada pernyataan sikap.

Pergantian WR III serta lahirnya kembali BEM Universitas nyatanya belum mampu menjawab persoalan di FIKK.

Fenomena di FIKK bukan lagi rahasia dan telah diketahui khalayak umum. Tapi itikad baik Dekanat dan Rektorat tak kunjung terlihat.

Hal ini membuat penulis kebingungan. Atau jangan-jangan kejahiliyahan di FIKK sengaja dirawat?

Kalau sengaja dirawat, sungguh tak berempatinya Dekanat karena sama sekali tidak khawatir dengan kehidupan mahasiswanya setelah lulus sebab membiarkan keadaan yang amburadul di kampus.

Pertanyaan selanjutnya kemudian muncul, seperti inikah kualitas pendidikan di UNM?

Mulai dari dosen-dosen pelanggar kode etik, aktor politik ulung, sampai pada LK egois yang hanya bisa bergagah-gagahan mengenakan PDHnya mudah ditemui.

Ketika tidak ada yang mampu menjadi seberkas cahaya, apa lagi yang perlu kita harapkan dari model pendidikan semcam ini?

Maka setiap orang, khususnya mahasiswa harus mulai sadar akan ketimpangan yang terjadi. Sebab masalah-masalah itu tidak bisa terselesaikan hanya dengan mengandalkan doa dan nilai IPK yang tinggi.

Akan tetapi UNM membutuhkan sesosok yang berjiwa humanisme dan berwawasan kependidikan untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Dan hari ini penulis belum menemukan sosok itu.

Semoga UNM lekas sembuh.

Penulis merupakan mahasiswa UNM.