Memaknai ‘Pappasang’ ala Descartes


Penulis

*Oleh Muhammad Yusran

MAKASSARBICARA.ID – Akhir pekan saya menemani nenek kepasar dan melihat laki-laki paruh baya dengan pakaian berantakan bertingkah aneh.

Saya langsung teringat dengan sosok Descartes yang sering menyamar menjadi banyak rupa ketika dia mengasingkan diri.

Menurut Fahruddin Faiz, itulah momen penting hidup Descartes dalam berfilsafat, mengasingkan diri. Dia memilih keluar dari zona nyaman dan melakukan banyak refleksi tentang kehidupan.

Sepulang dari pasar saya kembali membuka buku ‘Ngaji Filsafat Fahrudin Faiz’. Kemudian menjumpai gagasan Descartes “pikiran kitalah yang mengkonstruk dunia ini.”

Gagasan ini mirip dengan ungkapan beberapa motivator yang sering muncul di sosial media bahwa hidup bergantung pada pikiran. Senada dengan pesan Rasulullah bahwa Tuhan bergantung dari pikiran hambanya.


Memprovokasi Pikiran

Lantas bagaimana membenahi pikiran? Hemat penulis, membaca buku, tontonan edukatif, dan interaksi positif adalah cara yang tepat memprovokasi pikiran untuk berbenah. Sebab dalam aktivitas inilah kita melakukan belanja wawasan agar pikiran tidak pakir.

Seperti halnya dapur, maka kita harus mensuplai akal dengan ‘bahan’ pemikiran agar mampu memproduksi ucapan dan tindakan yang berkualitas.

Variasi bahan pemikiran inilah yang membuat kita mampu mengkonstruk dunia yang diinginkan. Jadi, kuantitas dan kualitas referensi yang kita konsumsi menjadi penentu bagaimana kondisi kehidupan kita.

Kata Ibnu Qayyim, referensi yang kita konsumsi akan menjadi lintasan pikiran (khatirah) kemudian menjadi memori (dzakirah) lalu jadi gagasan (fikrah).

Tahap selanjutnya setelah menjadi gagasan akan membentuk keyakinan (iman) yang kemudian menjadi keinginan (iradah). Setelah keinginan mengkristal maka jadilah dia tekad (al azimah).

Tahap terakhir setelah kita bertekad barulah menjadi tindakan (amal) dan ketika diulang akan menjadi kebiasaan (adab). Lalu, kebiasaan yang dipertahankan akan membentuk karakter (akhlak).

Waduh, ngeri juga ketika pikiran tidak beres. Bisa jadi makhluk yang tidak berakhlak kita ini.

Jika betul yang dikatakan Ibnu Qayyim bahwa tindakan adalah ekspresi pikiran berarti pemimpin kita banyak yang bermasalah pikirannya. Sebab tindakannya sering aneh-aneh.

Sudah tau nenek moyang kita seorang pelaut, malah mau jadi penambang pasir laut. Kasian masyarakat pulau Lae-Lae. Semoga saja Ibnu Qayyim hanya bercanda.


Kemampuan Menggunakan Hati

Gagasan Descartes ini saya coba sampaikan saat berdiskusi dengan pengurus Rumah Baca Pesisir (RBP).

“Ternyata kalau mauki berubah, pikiran dulu yang harus diperbaiki. Bilang begitui Descartes di buku yang kubaca”, ujarku.

“Sepertinya haruski juga baca kak gagasannya Bergson yang mengkritik Descartes bahwa akal itu lemah. Dia natawarkanki hal lain yang nasebut intuisi (kata hati)”, ucapnya menyangkal.

Sebelum azan magrib saya sempatkan membaca gagasan Bergson. Ternyata pada masanya, Dia menjadi minoritas dengan gagasan Intuisinya. Sebab, mayoritas orang saat itu mendewakan akal (pendukung Descartes).

Menurutnya, fungsi akal itu lebih ke arah yang praktis. Akal tidak bisa mencari dimensi hakikat dalam kehidupan. Misalnya ketika kita haus dan ada minuman di depan kita, maka yang ditahu oleh akal hanya minum saat haus.

Akal tidak akan sampai kepada mempertimbangkan orang di sekitar kita yang tidak memiliki minuman. Sedangkan Intuisi sangat erat kaitanya dengan kemampuan merasa  yang merupakan ekspresi hati.

Hemat penulis, ekspresi hati inilah yang membuat kita tidak sekadar mengucapkan “kasiannya masyarakat Pulau Lae-Lae, dirampas haknya”.

Tetapi mendorong kita untuk segera berkontribusi, “apa yang bisa kulakukan ini untuk masyarakat Pulau Lae-Lae, apalagi mauka maju jadi calon Gubernur, eh salah ketik kanda”.

Setelah membaca gagasan Bergson, saya tersadar bahwa akal saja tidak cukup. Hidup harus berbekal akal dan intusi agar lebih bijaksana dalam melihat realitas dan mengambil kebijakan.

Jika akal untuk mengubah diri menjadi Gubernur maka hati untuk menolong Masyarakat Pulau Lae-Lae.


Siri’ na Pacce Sebagai Basis Gerakan

“Hayya ala sholah…”, azan maghrib berkumandan dan seperti biasa Masjid di kampung selalu ramai di waktu itu.

Kebiasaan masyarakat di kampungku adalah saling bertanya ketika ada salah satu jamaah yang tidak datang salat.

Sikap saling peduli masih sering diperlihatkan masyarakat kampung. Intuisinya bukan sebatas untuk diri sendiri tetapi untuk kemaslahatan bersama.

Keteladanan dalam tindakan juga masih sering dijumpai. Meski wawasan orang kampung masih kurang tetapi nalarnya mampu mewujudkan akhlak yang baik.

Sebenarnya, gagasan Descartes dan Bergson sudah kita jumpai dalam budaya siri’ na pacce.

Siri’ sebagai simbol kemampuan bernalar yang menjadi ekspresi malu untuk melakukan tindakan amoral. Sedangkan pacce menjadi kosakata hati yang lahir sebagai kalimat kepedulian terhadap sesama.

Sebagai orang Makassar kita harus mensyukuri kekayaan filosofis yang dimiliki.

Hidup berbekal siri’ na pacce harus diupayakan. Bukan malah “tena siri’ tena pacce” yang menyengsarakan masyarakat pulau.

Jika Descartes menawarkan gagasan optimalisasi akal dan Bergson dengan kemampuan penggunaan hati (Intuisi), maka kita orang Makassar telah memiliki ke dua gagasan itu dalam ‘pappasang’ siri’ na pacce.

Namun, apakah kita bersedia menghiasi hidup dengan senandung siri’ na pacce? Semoga semuaki tambah baik, pokoknya baik untuk Sulsel.

Penulis merupakan Ketua Bidang Kader PC IMM Makassar Timur.