Oleh : Muhammad Syarif*
MAKASSARBICARA.ID – Nampaknya para mudi muda bangsa ini paling banyak memilih terjun menjadi seorang mahasiswa. Entah itu hanya sekedar ikut-ikutan, keinginan orang tua, atau bahkan dari mereka sendiri. Tapi setidaknya pandangan sebagian besar masyarakat bahwa menjadi seorang mahasiswa adalah hal paling menjanjikan kedepannya.
Namun yang menjadi pertanyaan penulis, apa ia menjadi seorang mahasiswa dapat memberikan solusi bagi mereka untuk kedepannya?
Jika kita melihat beberapa kasus yang terjadi di sebagian besar kampus-kampus yang ada, tentu hal yang menjadi masalah yang tak pernah terselesaikan adalah tentang pungli (komersil). Entah kenapa, mereka para oknum ini selalu saja punya ide untuk meraih keuntungan materil yang lebih dari mahasiswa.
Oknum tersebut bisa jadi dari mahasiswa sendiri, dan juga kebanyakan dari dosen-dosen yang merasa kekurangan gaji.
Mengapa saya katakan kebanyakan dari dosen, sebab mereka punya alat mengintervensi mahasiswanya, entah karena dari persoalan akademik yang menyangkutkan dengan mata kuliah yang ada ataukah hal lain.
Lalu cara seperti apa sih yang mereka gunakan untuk meraih keuntungan lebih?
Jawaban yang pertama adalah, penjualan buku.

Buku ini adalah ladang yang sangat baik untuk mereka jadikan sebagai alat komersial, sebab mahasiswa akan dipaksa untuk memiliki buku ini sebelum masuk mata kuliahnya.
Harga buku tersebut juga “gak ngotak”, konsekuensinya jika menolak, yah tentu mereka para mahasiswa ini tidak akan dibiarkan masuk.
Kedua, membuat kegiatan-kegiatan seminar yang memaksa seluruh mahasiswa ikut dengan cara membayar.

Agak sedikit aneh sih, yah walaupun sebenarnya acara-acara seminar itu baik karena menghidupkan budaya-budaya literatur.
Tapi, yang anehnya adalah jika ada pemaksaan mengikuti kegiatan tersebut dengan ancaman akademik, apalagi ada proses bayar membayar tanpa memiliki benefit yang jelas.
Ketiga adalah membayar pada saat ujian proposal, ujian hasil, dan tutup.
Inilah kegiatan yang saya tidak habis pikir bagi mereka melakukan pungutan liar semacam ini, maksud saya mereka para penguji ini, sudah digaji, sudah disiapkan makanan di atas meja, tau-taunya masih butuh amplop, aneh kan?
Kempat, pembuatan jurnal atau artikel.
Nah ini saya sering mendengar keluh bagi mereka yang merasa rugi membuat atau mengerjakan skripsi mereka, karena saat penerbitan jurnal/artikelnya para dosen akan memaksakan dengan iming-iming membayarkan segala kebutuhan penerbitan tersebut dengan syarat, nama penulis yang pertama adalah dosennya.
Kelima adalah tak jarang mahasiswa akan diarahkan untuk memakai pakaian yang telah ditentukan oleh dosen atau pimpinan prodinya.

Nah inilah salah satu cara lain bagi mereka yang memanfaatkan kedudukannya untuk meraih keuntungan yang lebih, sebab pakaian yang mereka tentukan, mereka sendiri yang membuat dan memperjual belikannya pada mahasiswa.
Lalu apalagi? tentu masih banyak lagi cara yang tidak bisa saya cantumkan dalam tulisan ini. Tapi dari beberapa cara-cara di atas tentunya saya berharap agar kita kembali merefleksikan apa tujuan kampus yang sebenarnya?
Bukankah kampus tempat kita belajar sebagai bahan, alat atau bahkan bekal kita untuk memperbaiki kehidupan kedepannya?
Kampus yang seharusnya menjadi tempat sarana pertukaran ide, malah kampus dijadikan sebagai lahan mempekerjakan mahasiswa tanpa upah (tanpa pengetahuan yang jelas), malah sibuk menjadikan mahasiswa sebagai celengan dari proyek proyek kecil yang mereka buat.
Lalu pertanyaan selanjutnya, seperti inikah kualitas pendidikan kita? Lalu apa yang mesti diharapkan dalam pendidikan kita hari ini?
Pendidikan yang kita harapkan sejatinya adalah menyadari sekaligus mengembangkan dan mewujudkan gambaran tentang manusia.
Dalam artian mendorong manusia-manusia yang mampu berpikir mandiri dengan tujuan-tujuan eksistensial pribadi yang mereka rumuskan sendiri dan menjadikan dirinya menjadi tuan berdaulat atas hidupnya sendiri.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Julian Nida-Rumelin, filsuf Jerman asal Munchen yang menuliskan buku yang berjudul Philosophie Einer Humanen Bildung.
Dia menentang habis habisan semua proses pendidikan yang mengabdi pada kepentingan perolehan uang semata.
Baginya, pandangan semacam itu salah besar, justru akan merusak nilai-nilai luhur yang menopang peradaban manusia. Pendidikan yang ia maksud mesti mendorong manusia untuk menjadi tuan atas hidupnya sendiri.

Perlu kita ketahui, mengapa terjadi hal demikian karena pendidikan kita kehilangan visi kemanusiaan yang seharusnya menjadi dasar sekaligus arah dari sistem pendidikan kita.
Sampai saat ini, pendidikan kita masih di terpa salah satu arus ekstrim yaitu pada fundamentalisme pasar (menjadikan orang semata pembeli dan penjual yang pikirannya hanya berfokus pada keuntungan finansial semata).
Maka kita seharusnya sering saling mengingatkan pada hal yang paling penting, yakni bagaimana pendidikan sebagai roh dalam memanusiakan.
Banyak orang, termasuk para ahli pendidikan, guru besar, dosen-dosen, lupa akan hal ini, karena terpesona pada keuntungan finansial (kapitalisme dan globalisasi pasar) yang menawarkan kemungkinan-kemungkinan ekonomi seolah tak terbatas.
Mengingat pendidikan kita saat ini hanya menghebatkan kebodohan yang ada. Terlihat aneh, tapi itulah nyatanya.
Maka ada seorang filsuf yang bernama Kierkegaard yang mengatakan bahwa hal yang paling penting untuk memulai merubah semuanya adalah peran individu yang mampu memilih jalan sendiri dan mempertanggung jawabkan dari pilihannya.
Penulis merupakan pegiat literasi