Macam-macam Dosen; Dosen Macam-macam


Penulis.

*Oleh Dirga

MAKASSARBICARA.ID – Apa yang terpikir di benak kalian ketika mendengar kata ‘guru’ ataupun ‘dosen’?

Dahulu, penulis kerap mendengar kalau profesi guru dan dosen adalah pekerjaan yang mulia nan berjasa.

Semenjak mengenyam proses pendidikan tinggi di UNM (Universitas Negeri Makassar), pandangan tentang ‘pendidik adalah profesi mulia’ mulai luntur.

Bukan tanpa sebab. Pasalnya, beberapa dosen yang ditemui, khususnya di UNM, justru membuat bingung. Kok bisa mereka memberanikan diri untuk menitih karir sebagai seorang pendidik?

Dalam sebuah proses pembelajaran, menggugah semangat belajar peserta didik adalah hal utama. Sebab di era postmodern, layaknya sekarang, ilmu pengetahuan bukan lagi hal yang sulit ditemui.

Di era postmodern, simulacra; realitas semu, menjadi tantangan utama bagi pendidik. Siapa saja bisa terjangkit simulacra. Maka, rasa penasaran untuk mencari kebenaran menjadi obatnya. Rasa penasaran ini yang penulis maksud sebagai semangat belajar.

Pendidik harusnya mampu menggugah semangat belajar agar peserta didik tak terperangkap dalam simulacra yang merajalela dewasa ini.


Kultur Akademik yang Toxic

Belum lama, teman sejawat menerima perlakuan tak mengenakkan dari dosennya. Tulisan berupa opini Ragam Pungli di Kampus yang dibuatnya ternyata membuat beberapa dosen tersinggung. Akhirnya Ia menerima pesan singkat yang mengiris hati.

“Saya tidak mau menguji sebelum teman-teman mencabut pernyataan ‘dosen minta sesaji setelah menguji’,” cuit si dosen dalam sebuah pesan.

Tulisan tersebut sama sekali tidak menyinggung dosen fakultas manapun di UNM, bahkan tak menyinggung dosen bersangkutan yang mengirim pesan. Tapi kenapa si dosen tersinggung? Atau jangan-jangan? Ahh… sudahlah.

Teranyar, teman sejawat dipanggil oleh pihak Jurusan. Mungkin ingin dimintai klarifikasi soal tulisan yang dibuat.

Tak hanya itu. Teman penulis yang lain juga sempat berkonflik dengan dosennya karena persoalan rambut. Ia dikeluarkan dari kelas karena rambutnya dinilai tidak rapi dan tak mencirikan seorang mahasiswa.

Setelah adu gagasan, teman penulis menantang si dosen. Tantangannya bukanlah sesuatu yang receh. Justru tantangannya mengadu integritas.

Siapa yang lebih dulu datang ke kelas di pertemuan berikutnya menjadi tantangan yang diajukan.

Di pertemuan berikutnya teman penulis datang ke kelas pukul 06.00 WITA, sedangkan dosen yang bersangkutan ternyata tak kunjung hadir hingga jam perkuliahan selesai.

Kabar adu integritas tersebut tersebar luas, hingga pada akhirnya teman penulis tak lagi diladeni oleh dosennya di perkuliahan setelah kejadian itu.

Pengakuan teman, selama Ia mengenal dosen yang bersangkutan, pendidik tersebut dianggap tak mencirikan kultur ilmiah.

Belum lagi ketika berbicara demonstrasi atau menyampaikan kritik ke birokrasi UNM, beberapa dosen justru membenci hal semacam itu.

Tak jarang beberapa teman sejawat diintervensi karena menyampaikan kritik, bahkan direpresi.

Jangankan gelagat-gelagat di atas, dosen yang sulit dijumpai pun masih menjadi keluhan beberapa mahasiswa.

Dampaknya, sulit menemukan dosen sebagai role model pembelajaran yang memberi dorongan belajar. Arkian, hal tersebut menguatkan bahwa beberapa dosen di UNM tak mampu menggugah semangat belajar.


Literasi sebagai Obat Toxic

Fenomena semacam ini membuat penulis menyimpan banyak kegundahan tentang kultur akademik, entah itu di kampus lain apatah lagi di UNM.

Fenomena yang menimpa teman sejawat, hemat penulis, adalah kekerasan akademik. Apa yang ditumpahkan ke dalam tulisannya, yang membuat dosen tersinggung, justru perlu dilanggengkan dalam kultur kampus.

Kebiasaan menulis harusnya punya kaitan erat dengan kampus. Akan tetapi, dosen yang gemar dengan budaya literasi sulit dijumpai.

Rerata, dosen hanya menyerukan mahasiswanya menulis untuk sebuah tugas perkuliahan, bukan penumpahan ide seperti yang dilakukan oleh teman sejawat.

Kurangnya dosen yang gemar berliterasi menyebabkan kultur akademik dewasa ini menjadi tidak sehat.

Padahal kegemaran berliterasi melapangkan hati, mengaktifkan imajinasi, dan membuat pelakunya tak mudah terprovokasi. Setidaknya itu yang penulis rasakan selama menyelam ke dunia literasi.

Dosen yang gemar berliterasi pastinya tak akan keberatan ketika ada mahasiswa yang beradu gagasan dengannya. Sehingga setiap argumen yang dilontarkan kepadanya akan dibalas pula dengan argumen, bukan sentimen.

Dalam kasus teman sejawat, tulisan yang dibuat harusnya dibalas pula dengan tulisan.

Tak dekat dengan literasi membuat dosen tak paham dengan filosofi pendidikan kritis. Sedangkan pendidikan kritis dapat menjadi jawaban atas maraknya simulacra di era postmodern.

Hal itu membuat mereka seolah tak serius mendidik. Yang terlihat dari dosen justru keseriusan dalam mengakumulasi keuntungan.

Keuntungan yang dimaksud bermacam-macam. Bisa dalam bentuk akumulasi dukungan untuk berpolitik, ataupun seperti yang disinggung teman sejawat dalam tulisannya.

Gelagat dosen yang paham filosofi pendidikan kritis akan berbeda dengan mereka yang tak punya nilai filosofis apapun.

Hal tersebut tentu berimbas pada keefektifan jalannya proses perkuliahan. Mahasiswa akan tertarik dan lebih kritis ketika belajar dengan dosen yang mencirikan nilai filosofis. Pada titik inilah semangat belajar mahasiswa bisa tergugah.

Lulusan mahasiswa menjadi salah satu penilaian bagi sebuah perguruan tinggi. Maka, mencetak sarjanawan kritis nan penuh empati penting dilakukan perguruan tinggi.

Selain giat berpolitik praktis, pelekatan budaya literasi perlu digaungkan oleh Rektorat untuk menyembuhkan kultur akademik di UNM.

Karena penerapan nilai filosofis lebih menyentuh akar permasalahan dan paradigma berpikir mahasiswa. Hemat penulis, salah satu filosofis yang menyentuh akar permasalahan adalah praksis pendidikan ala Paulo Freire.


Macam-macam Gelagat Dosen ala Paulo Freire

Paulo Freire, dalam bukunya risalah Pendidikan Kaum Tertindas, membagi praksis kesadaran dalam tiga kategori. Kesadaran magis, naif, dan kritis. Ketiga kategori ini mudah dijumpai di dosen-dosen UNM.

Di kategori kesadaran magis, beberapa individu menerima ketertindasan atau ketimpangan dengan dalih takdir. Mereka percaya bahwa keadaan tersebut adalah sebuah ketetapan dan ujian. Keteguhan dan keikhlasan dalam menjalani tanpa mencari asbab dari suatu ketimpangan menjadi satu-satunya pilihan.

Di UNM, banyak dosen terjebak simulacra yang menjauhkan mereka dari akar masalah. Mereka justru ikut melanggengkan lingkaran setan dengan keyakinan suatu hari akan meraih atau mewariskan kesuksesan jika berhasil melewati ujian.

“Kuliah aja yang baik, lulus dapat kerja, lalu sukses,” sering digaungkan dosen di kategori ini.

Hampir sama dengan magis, di kesadaran naif orang-orang telah sadar dan mampu menjelaskan ketimpangan yang ada. Namun bedanya di kategori ini, kesadaran tersebut hanya jadi retorika tanpa berusaha menyelesaikan masalah.

Dosen kategori ini acap kali ditemui. Mereka kritis, paham, bahkan kerap beretorika di hadapan mahasiswanya tentang masalah yang ada di UNM.

Sayangnya, dosen tersebut hanya mampu beretorika ke mahasiswa, bukan ke Dekanat ataupun Rektorat.

Seolah-olah menaruh harapan bahwa hanya mahasiswa yang mampu menyuarakan, sedangkan di sisi yang lain Ia tak menyukai demonstrasi dan mahasiswa pengkritik.

Penulis menemukan dosen dengan ketagori ini sewaktu berkuliah, Ia mengeluhkan fasilitas yang tak layak. Saat salah satu mahasiswa menanyakan UKT yang dibayarnya, dosen tersebut memilih mengalihkan pembicaraan.

Padahal, edukasi tentang UKT dapat menjadi jawaban atas ketimpangan fasilitas yang dikeluhkannya.

Satu waktu, teman sejawat juga menemukan hal serupa. Ia diberi nasihat oleh dosen setelah teman sejawat kedapatan mengkritik Rektorat.

Nasihatnya masuk kategori kesadaran naif. Pasalnya dosen menyerukan untuk berlapang dada menerima keadaan dan berhenti memberi kritik dengan dalih sulit melawan tampuk pimpinan saat ini.

Berbeda dengan kategori kesadaran kritis. Di tahap ini, seseorang sadar dan berusaha dengan kritis menyelesaikan berbagai ketimpangan.

Dosen dengan kesadaran kritis sulit dijumpai di UNM. Berbagai kemungkinan bisa jadi penyebab, salah satunya relasi kuasa. Layaknya nasihat kategori naif dari dosen tadi, merasa sulit melawan tampuk pimpinan karena takut karirnya dipersulit atau semacamnya.

Perannya menjadi jelas, melanggengkan lingkaran setan. Pembiaran tentu bukan perilaku yang patut dilakukan sebagai entitas yang lekat dengan privilege pendidikan tinggi.

Cakrawala pengetahuan yang diraup harusnya memberanikan seseorang untuk mengentaskan masalah, termasuk kultur akademik yang sakit.

Sejatinya pendidikan adalah usaha memanusiakan manusia, bukan penanaman wawasan kewirausahaan.

Penulis merupakan mahasiswa UNM.