Paradigma Cetek Soal ASN di ‘Wakanda’


*Oleh Andi Rahmat Al-Muhajir BB/Mamat

MAKASSARBICARA.ID – Menjadi guru yang berstatus pegawai negeri barangkali menjadi harapan banyak orang. Tidak heran jika profesi yang satu ini sangat populer dikalangan masyarakat.

Status sukses sering disematkan pada guru-guru PNS. Bahkan ada kalimat yang pernah saya dengar jika seseorang telah menjadi pegawai dia telah menjadi manusia atau “Anjari tau mi” dalam dialek Khonjo.

Bagi penulis, anggapan ini bermasalah, tidak melulu kesuksesan guru itu diidentikkan dengan status pegawai negeri. Seolah-olah mereka yang berstatus magang, honor, atau bahkan relawan pendidikan dianggap tidak sukses atau berhasil.

Kita perlu memahami bahwa mereka (selain PNS) juga berkontribusi pada pencerdasan kehidupan bangsa melalui pengajaran.

Satu waktu, saya memiliki teman yang melepaskan baju kepegawaiannya atau status pegawai dan memilih membangun komunitas belajar melukis.

Masa yang lain, saya juga kenal dengan salah satu guru yang tidak ingin menjadi pegawai dan lebih memilih honor.

Satu hal yang pasti, alasan kebanyakan orang memilih menjadi PNS adalah kepastian gaji, adanya uang pensiun, tunjangan dan lain-lain.

Bukannya menolak jika para guru menjadi PNS dengan alasan pragmatis diatas, sebab itu berkaitan dengan kesejahteraan guru, dan itu hak mereka. Tapi kita tidak boleh melupakan hal esensial dalam pendidikan, yang bagi guru berkewajiban untuk mengajar dan meningkatkan kualitas anak didiknya.

Penulis sendiri berprofesi sebagai seorang guru, yang saat ini cukup aktif di sosial media. Saya meyakini bahwa sosial media menjadi salah satu ruang mengekspresikan diri. Suatu hal wajar bila seseorang menunjukkan ekspresi yang beragam.

Akhir-akhir ini saya banyak melihat postingan-postingan ucapan selamat pada pencapaian tertentu seperti lulus PPPK atau PPG atau bahkan lulus di Universitas keguruan favorit.

Ada banyak kerabat saya yg lulus PPPK atau PPG. Tentu ini merupakan hal baik. saya tidak menyangkal bahwa memang ini jenjang karir guru yang baik. Tetapi melebih-lebihkan sesuatu agar tampak hebat, mulia, dan sempurna atau istilahnya (glorifikasi) merupakan hal yg harus dihindari.

Apresiasi berlebihan berakibat kita kehilangan kemampuan untuk melihat hal yg mendasar. Kehilangan kemampuan untuk melihat secara kritis persoalan yang menimpa guru.

Data Riset The Conversation, Guru makin sejahtera di era desentralisasi, tapi tidak berdampak pada kualitas pendidikan dan Proses rekrutmen sebagai ASN membuat guru di Indonesia berkualitas rendah, menemukan bahwa kesejahteraan tidak sejalan dengan kualitas guru terkini, yang terbilang sangat rendah.

Artinya, ada “PR” yang perlu dituntaskan guru, terlebih mereka yang menyandang status PNS atau ASN.

Bahagia atas predikat baru boleh saja, tapi mesti diiringi dengan kewaspadaan lebih terhadap kebodohan.

Kita perlu memperkecil selebrasi sekaligus mengingatkan kerabat atau diri kita untuk terus belajar sampai akhir hayat.

Dalam konteks pendidikan banyak hal yg harus dievaluasi atau dikritisi dalam upaya perbaikan berkesinambungan. Tapi semua itu tidak bisa tercapai jika kita masih meneruskan tradisi glorifikasi atau tradisi memuji berlebihan.

sebagai penutup saya teringat oleh kalimat yang diucapkan seorang konten kreator pendidikan, Alfian Bahri “tidak ada yang lebih penting dari pendidikan selain kesadaran bahwa pentingnya terus belajar”.