*Oleh Akbar
Makassarbicara.id – Sebuah tulisan media menyebut, Danny Pomanto merupakan figur yang tidak peduli dengan partai politiknya. Danny dinilai hanya memanfaatkan PDIP sebagai kendaraan politik memperoleh jabatan tertentu.
Tulisan kemudian menjelaskan figur yang lain seperti Ilham Arief Sirajuddin (IAS)-Andi Iwan Darmawan Aras (AIA)dinilai berdarah-darah membesarkan partai. Tulisan tersebut seolah-olah menggambarkan, bahwa Danny lebih buruk dari kedua figur tadi.
Tapi tunggu. Sebelum mengamininya, kita mesti mencari tahu kebenaran informasi ini.
Pertama, publik penting mengetahui, bahwa Danny bukanlah petinggi partai, dia hanya kader yang baru masuk PDIP pada 28 Agustus 2023.
Meskipun Danny menjabat Wali Kota, tugas utama Danny bukan memenangkan kader-kader PDIP di Pileg, melainkan melayani masyarakat Makassar.
Olehnya, kita seharusnya bijak menilai dan membedakan, Danny sebagai kader partai dan Danny sebagai kepala daerah.
Pernyataan menyebut Danny tidak berdarah-darah untuk partai, kurang pantas jika dijadikan indikator penilaian antara Danny dengan figur yang memang merupakan orang ‘besar partai’, seperti IAS-AIA. Sementara perihal Danny menjadikan partai sebagai kendaraan, tidak hanya dilakukan oleh Danny, IAS-AIA juga melakukan hal serupa.
Kedua, Danny dinilai tidak berkontribusi pada perkembangan demokrasi melalui partai. Penilaian ini sangat subjektif, sebab membatasi pengawalan demokrasi sebatas melalui partai politik. Padahal ada banyak bentuk pengawalan demokrasi dan itu tidak semuanya harus melalui partai.
Selama menjadi wali kota, berbagai program dan kebijakan Danny, sejalan dengan prinsip demokrasi. Bahkan, dengan kepemimpinan selama dua periode, Makassar diganjar beragam penghargaan baik kategori pemerintahan maupun individual. Kontribusi dan partisipasi masyarakat juga tinggi dalam membantu pemerintah menjalankan program.
Terakhir, Danny disebut tidak memiliki prestasi di pemerintahan. Tudingan ini dengan mudah dibantah, sebab justru Danny menjadi salah satu Role Model Kepala Daerah di Indonesia. Namun demikian, Danny tidak perlu menceritakan prestasinya, prestasinya lah yang bakal menggambarkan bagaimana sosok Danny. Lalu apakah IAS-AIA lebih berprestasi dibanding Danny, biarkan publik yang menilai itu.
Lagi pula, agak kurang baik, menggunakan nama ‘akademisi’ untuk berpolitik praktis atau memberikan penilaian tak berimbang. Akademisi sebaiknya mengedukasi calon pemilih tentang pendidikan politik tanpa terkesan berpihak.