Nelayan Buloa, Kemiskinan, dan Makassar kota Dunia


 

Oleh : Alfiana

Mereka ada dalam keramaian Kota Metropolitas yang padat akan sesaknya penduduk. Mereka merintih dalam tarian sang penguasa. Mereka tertatih dalam gemerlap harta ibu pertiwi. Mereka bebas, bebas dalam kekumuhan. Namun, tidak bebas dalam pendidikan. Mereka unik, unik dalam tertawaan si kolongmerat.Mereka bisa saja murka tapi apadaya mereka hanya minoritas di kota itu. Segala predikat melarat cocok untuknya. Segala predikat kumuh, brutal dan kasihan seolah menjadi pangkatnya. Mereka bukan bagian dari yang lain, bukan tamu di negeri ini.

Mereka sang pemilik merah putih yang terpinggir ditengah kota keagungan. Tidak banyak yang bisa mereka lakukan, hanya belas kasihan yang bisa disyukuri. Jika, sang penguasa ingin tahu siapa mereka, itulah sebuah keajaiban. Lukiskanlah mereka sebagai bagian dari kita. Mereka adalah Nelayan Buloa dipesisir sungai antah beranta. Buloa, sebuah perkampungan yang familiar dengan kata kumuh terletak di sebelah utara Kota Makassar. Kampung Buloa sebutan bagi sebuah kelurahan yang mendiferensiakan diri dari keramaiab Kota Makassar. membuat cara sendiri dalam membangun keharmonisan daerahnya. Membangun solidaritas tanpa intervensi dari pemerintah.

Sedikit mengulas administrasi perkampungan kumuh ini. Kelurahan Buloa adalah pemekaran dari Kelurahan Tallo terdapat di Kecamatan Tallo, Kota Makassar dulunya disebut Sengka Batu. Kelurahan Buloa terdiri dari 6 RW dan 27 RT dengan luas wilayah 0.61 Km2. Mata pencaharian mayoritas masyarakat Buloa adalah nelayan. Ketika semua orang berfikir tentang Kota Makassar, pernahkah mereka berfikir bahwa ada nelayan di tengah Kota Metropolitan ?.

Kemiskinan seolah-olah telah melekat akrab dalam kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan Buloa, tingkat pendapatannya hanya sekitar 300.000/bulan/kepala. Bukan hanya itu, pendidikan ibarat hal yang tabu bagi para nelayan. Keseharian mereka melaut dari pagi sampai pagi kembali menjemput. Hal ini, menjadikan para nelayan ulung ini terjebak dalam sistem kerja rodi yang mereka buat sendiri. Terkesan tidak ada pilihan bagi mereka, yang ada hanya sebuah pemberontakan yang terkungkung karena penguasa.

Pendidikan tidak lagi jadi prioritas bagi keberlangsungan anak cucu di perkampungan ini. Walaupun, anak-anak tidak berdoa yang lahir disana tidak pernah memilih untuk menjadi bagian dari nelayan Buloa. Namun, mereka hanya bisa terjerat dalam nasib orang tua mereka.

Teringat saat senja menyambar diiringi gaungan kata Wali Kota Makassar yang akan mewujudkan Makassar Kota Dunia. terkesan lucu karena bagaimana jadinya saat sebuah kota dunia menjadi pusat perhatian investasi internasional, sementara masih ada bagian dari mereka yang mengisolasikan diri.

Salah satu produk Kota Dunia adalah lahirnya industri. Lalu apa, industri tersebut malah merenggut mata pencaharian dari saudara kita. Sepuluh kelompok nelayan harus rela meninggalkan sanak saudaranya selama berminggu-minggu hanya untuk mengais sekeranjang ikan. Limbah itu sangat ganas tapi tidak jauh lebih ganas dari tikus berdasi yang tertawa diatas kotoran yang mereka buang. Industri yang katanya akan menyejahterahkan penduduk, membuka lapangan pekerjaan dan membangun perekonomian dari daerah tersebut.

Malah ibarat kacang lupa pada kulitnya dam AMDAL itu hanya secarik kertas formalitas yang penuh dengan kepalsuan. Lalu, dimana kota dunia itu buat mereka atau apakah mereka jadi bagian dari dari kota dunia yang diimpi-impikan ?

Terbersik dalam benak saat 2016 silam, saat Kota Makassar meraih penghargaan Adipura. Kota yang bersih dan nyaman, lalu pertanyaan pantaskah ?. gambaran Makassar adalah setapak lorong-lorong hiasan dan manipulasi jalan protokol. Terlihat jelas pengamat itu dikawal dengan senyuman dan candaan kecil sebagai suguhan sang penguasa. Kebersihan kota seakan digeneralisasi. Entah ini adalah sebuah pencitraan ataukah niat baik untuk kesejahteraan rakyat ?. kenyamanan kota hanya menjadi milik sebagian orang.

Mereka yang terbuang hanya akan jadi pajangan belas kasihan dan pundi amal sang penguasa. Pemerintah tidak pernah sadar akan sampah kiriman sungai dari manusia berdasi tapi tidak bermartabat. Sampah itu jelas ada dan hidup bersama kekumuhan nelayan buloa. Jadi, tidak heran saat justifikasi bahwa nelayan itu kumuh semakin menjadi-jadi. Tidak akan terlewatkan pula saat kasus sengketa tanah tidak berujung. Kasus yang membara karena kesadaran dan bungkam entah karena apa. Tepatnya 2014 silam mereka harus disibukkan oleh pertikaian atas dasar kepentingan. Pemerintah tidak salah sepenuhnya dalam hal ini karena para nelayan buloa itu mempertahan hak, tidak dengan cara berpendidikan.

Jangankan untuk berfikir terkait pembuatan sertifikat untuk setapak tanah dipinggi Sungai Tallo. Bahkan, baca tulis tidak pernah tersentuh. Mereka hanya memikirkan bahwa setumpukan tanah dan bangunan reok itu adalah peninggalan dari pendahulunya. Setidaknya rumah sederhana ini bisa menaungi mereka dari hujan, terik matahari dan kejamnya dunia ini.

Sebuah keanehan dalam kota metropolitan saat sistem punggawa sawi masih menggunakan sistem purba. Hasil tangkapan tidak seberapa harus dipaksanakan terjual dengan harga yang sangat rendah. Sepuluh ribu rupiah perkeranjang, apakah itu manusiawi ?. cerita indah para intelektual bertoga itu, melambangkan Jepang untuk membakar semangat para ageng of cange. Nelayan di Jepang yang katanya sangat sejahtera dan diajmin oleh Negara. Nelayan Jepang yang katanya berpenghasilan tinggi dan sejahtera. Itu hanya mimpi, menganalogikan sesuatu hal yang ibarat langit dan bumi.

Jangankan untuk pengolahan hasil tangkapan dan mewujudkan added value. Hanya sekedar beradu argumentasi terkait harga ikan dengan punggawa, para nelayan ini harus pulang dengan predikat kalah dan ikhlas akan harga hasil tanggapan yang otoriter.

Terlalu banyak waktu terbuang saat hanya membicarakan masalah mereka melalui sehelai kerta. Mereka butuh rangkulan tangan pasti. Mereka butuh pundak untuk menopang kepercayaan mereka terhadap penguasa. Harus disadari bahwa mereka jauh dari pendidikan, mereka jauh dari adat modernisasi, mereka jauh akan egoisme. Namun, mereka tidak pernah lupa atas kerukunan, kesetiaan terhadap Negara dan keunikan untuk berkembang.

Saat 2045 nanti saat Indonesia sudah menjadi poros meritim dunia. saat 2020 nanti saat Makassar sudah menjadi kota dunia. Apakah mereka masih ada ?, apakah nelayan buloa telestarikan ?. atau mereka akan jadi bagaian dari sejarah.

Oleh karena itu, mereka butuh rangkulan Pemerintah Kota Makassar dalam hal pembangunan, mereka butuh diayomi terkait dengan pendidikan, mereka butuh keadilan menyangkut perekonomian dan kesejahteraan dari pemerintah dan mereka butuh perhatian dari kita untuk mengembalikan senyuman yang tidak pernah ada.

Penulis adalah mahasiswa Unhas

sumber foto : https://lawunhas.wordpress.com/2012/08/14/poster-selamatkan-nelayan-buloa-tallo