Politik dan sepakbola merupakan dua entitas kehidupan yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Sejarah membuktikan keduanya sejak dulu punya hubungan erat. Olahraga paling populer di planet bumi ini tidak bisa dipahami semata-mata sebagai olahraga, namun bisa dilihat dari sudut pandang politik yang melingkupinya.
Memang pada hakikatnya, sepak bola dan politik merupakan dua hal yang jika dilihat dari sudut pandang ontologis sangat berbeda. Sepak bola hanya akan berbicara soal olahraga, sedang politik akan berbicara kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain. Namun pada sejarahnya keduanya memiliki relasi yang sangat kuat. Jika melihat sejarah, bisa dilihat bahwa olahraga ini pernah sukses dijadikan sebagai komoditas politik oleh berbagai pihak.
Belajar dari Eropa
Di benua Eropa yang dikenal dengan modernisasi pengelolaan sepak bola dan menjadi kiblat olahraga ini, relasi sepak bola dan politik sangat bisa terlihat jelas. Kita bisa melihat bagaimana Silvio Berlusconi sejak ia membeli klub yang bermarkas di San Siro Italia, AC Milan.
Saat itu, namanya benar-benar mencuat di pentas politik nasional Italia. Saat Berlusconi mencalonkan diri sebagai kandidat perdana menteri tahun 1994, sepakbola menopang strategi pemilunya. Jutaan suporter AC Milan secara otomatis mendongkrak partainya hingga akhirnya terpilih. Ia sukses menggunakan AC Milan sebagai komoditas politik (Panditfootball edisi 19/10/2017).
Berlusconi yang memiliki misi politis masuk di dalam AC Milan dengan mencoba merangkul sepak bola dan kelompok pendukung sepakbola untuk mendukung timnya. Ketika para supporter AC Milan telah percaya kepadanya, lalu di situlah Ia meraup dukungan massa yang sama pula saat mencalonkan perdana menteri.
Bergeser ke Eropa lainnya, di Spanyol. Pada tahun 1930-an, pada saat Perang Saudara melanda Spanyol, Jendral Franco yang berkuasa di Spanyol pada saat itu menggunakan klub favorit penulis, Real Madrid untuk mengembangkan popularitasnya. Di daratan German, ada juga Adolf Hitler yang notabene tidak hobi olahraga termasuk bola juga memanfatkan tim nasional Jerman sebagai mesin politik untuk membangkitkan semangat rakyat Jerman yang terpuruk krisis ekonomi.
Semua ini dilakukan karena satu alasan, bahwa sepakbola bukan lagi sekadar olahraga dan pertandingan memasukkan gol ke jaring gawang lawan. Tapi sepakbola telah melahirkan demam kegilaan, bahwa sepakbola mendapat ruang atensi yang besar dalam kehidupan bermasyarakat. Inilah yang menyebabkan banyak penguasa atau calon penguasa tertarik menggunakan sepakbola sebagai pasar politik.
PSM Makassar
Pemanfaatan sepak bola sebagai media komunikasi politik juga rentan terjadi di tingkat daerah. Di Kota Makassar pemanfaatan sepak bola sebagai media komunikasi politik sangat bisa terjadi dalam klub kebanggaan warga kota Makassar, PSM Makassar oleh Munafri Arifuddin sebagai CEO PSM yang ditunjuk 2016 lalu melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Berstatus sebagai salah satu calon wali kota Makassar, sangat memungkinkan Appi, sapaan Munafri menjadikan sepak bola sebagai ladang emasnya dalam usahanya meraih dukungan publik, utamanya dari para supporter pada Pilwalkot 2018 mendatang. Posisinya di PSM sangat potensial memanfaatkan massa dari para pendukung PSM Makassar baik dari sektor penonton di lapangan Mattoanging maupun sektor depan televisi yang jumlahnya tidak sedikit.
Ditambah lagi, warga Makassar dan Sulsel pada umumnya sedang bereuforia karena prestasi klub bola di bawah naungan Bosowa Grup ini saat ini lagi berada di papan atas klasemen dan sangat berpeluang juara pada kompetisi domestik tanah air. Kondisi ini memungkinkan Appi sering tampil di media-media dan tentu saja, momentum ini uga akan turut mendongkrak popularitasnya.
Sepak bola dalam konteks komunikasi politik seperti ini disebut penulis komunikasi politik asal Queensland University, McNair sebagai free media. Free media dalam komunikasi politik telah menjadi pilihan para aktor politik, dimana kita merujuk pada ruang dimana aktor politik dapat memperoleh ekspos tanpa harus membayar atau berkampanye gratis.
Pemanfaatan massa dari kalangan suporter ini tentu tidak bisa dilepaskan dari tujuan komunikasi politik, dimana tujuan dari komunikasi politik adalah untuk memengaruhi khalayak.
Kelebihan dari free media dalam kasus semacam ini adalah ekspos atau kampanye bagi figur politik yang dibangun terlihat alami dan lebih bermakna daripada iklan politik yang direkayasa dengan memasang iklan di media ataupun memasang baliho di pinggir-pinggir jalan dengan janji-janji politiknya.
Pertanyaannya, apakah Appi juga akan menggunakan PSM untuk memuluskan jalannya menuju kursi wali kota 2018 mendatang? Jika iya, hal tersebut merupakan suatu kewajaran yang tidak dapat diperdebatkan. Karena politik bisa muncul di mana saja layaknya sebuah tikus yang berlarian kemanapun dia mau.
Wallahu A’lam.
Abrar Agus (Kader HMI MPO Cabang Makassar)