Jumlah anak yang bersekolah di Indonesia mencapai lebih dari 20% dari total penduduk keseluruhan, yakni 52.227.688 anak (2015) dan masa sekolah ini merupakan masa yang paling baik untuk menanamkan nilai-nilai budaya hidup bersih dan sehat (PHBS) sejak dini. Dari jumlah tersebut, hampir 15% menjalani pendidikan di madrasah. Mencermati data tersebut, terlihat bahwa remaja di madrasah lebih sedikit daripada remaja di sekolah konvensional, sehingga dalam pengelolaan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) akan jauh lebih mudah.
Penerapan pola hidup bersih dan sehat yang dimaksud tersebut adalah berdasarkan yang dikemukakan oleh World Health Organisation/WHO (1948), yaitu suatu keadaan mental, fisik, kesejahteraan sosial, dan bukan hanya pada ketiadaan penyakit kepada seluruh manusia. Hal ini diperjelas oleh pendapat Kotler (2002), bahwa pola hidup sehat adalah gambaran dari aktivitas/kegiatan yang didukung oleh minat, keinginan, dan bagaimana pikiran menjalaninya dengan lingkungan.
Dalam konteks madrasah, yang menjadi pelaku utama dalam pengembangan PHBS adalah siswa dan siswi di dalamnya. Bentuk-bentuk PHBS yang paling dominan adalah upaya-upaya sederhana dalam menjaga kebersihan dan kesehatan para siswanya, seperti membiasakan cuci tangan setelah dari toilet dan sebelum makan, gerakan go green, dan membuang sampah pada tempatnya. Namun tampaknya upaya ini kurang efektif, kurang produktif, dan kurang bernilai ekonomis jika dilakukan begitu saja.
Sampah yang seharusnya masih dapat bernilai ekonomi dibuang begitu saja tanpa dipilih dan dipilah. Padahal jika didaur ulang atau dijual, uang yang diperoleh dapat digunakan untuk mengembangkan usaha PHBS yang lainnya. Misalnya seperti Bank Sampah dengan prinsip kerja layaknya tempat menabung sampah dengan imbalan uang. Setiap siswa yang telah dikader dari masing-masing kelas ditugaskan mengumpulkan sampah selama satu minggu dan dikumpulkan di Bank Sampah di akhir minggu. Sampah yang telah terkumpul kemudian disalurkan ke pengepul/penimbang sampah yang selanjutnya bernilai ekonomi. Masing-masing kelas akan memperoleh uang sesuai dengan jumlah sampah yang disetor.
Nyatanya, cara kerja Bank Sampah ini masih kurang efektif karena uang yang dihasilkan relatif kecil dan tidak dapat dikembangkan lagi. Tujuan PHBS pun yang mulanya untuk menjadikan siswa-siswi madrasah bersih dan sehat secara fisik, mental, dan sosial akan kurang tercapai karena Bank Sampah hanya menjadi media “penghasil pundi-pundi rupiah” melalui konversi sampah ke uang.
Kendala ini dapat diatasi apabila Bank Sampah diubah menjadi Koperasi Sampah. Konsep Koperasi Sampah ini sedikit berbeda dengan Bank Sampah, tapi pada hakikatnya adalah pengembangan fungsi dari Bank Sampah itu sendiri.
Seperti koperasi yang dikenal umum, istilah Koperasi Sampah merupakan sejenis organisasi bisnis madrasah yang diharapkan para siswalah yang menjadi pengelolanya selaras dengan Palang Merah Remaja (PMR) Madrasah demi kepentingan bersama.
Koperasi Sampah dibentuk beranggotakan seluruh siswa madrasah, dengan pengurus dapat dikader minimal satu orang untuk mewakili kelasnya. Prinsip kerjanya, seperti diutarakan sebelumnya, sedikit berbeda tetapi hampir sama dengan Bank Sampah. Para siswa diminta untuk menabung sampahnya masing-masing kelas, berupa sampah plastik, kaleng, kertas, styrofoam, dan sampah organik, kemudian menyetornya sebagai “dana awal” koperasi.
Setelah sampah terkumpul, pengurus koperasi dapat bekerja sama dengan pihak luar (perusahaan) yang khusus menangani masalah daur ulang sampah. Sampah-sampah yang dapat didaur ulang diproses lebih lanjut dan hasilnya dapat disalurkan ke Koperasi Sampah tersebut kembali sebagai milik anggotanya. Sedangkan untuk sampah organik, dapat dikelola secara mandiri atau melalui bantuan pihak luar (perusahaan) yang khusus menangani masalah sampah organik untuk kemudian diolah menjadi pupuk organik. Pupuk organik tersebut selanjutnya dapat dijual di Koperasi Sampah bersangkutan kepada pihak luar.
Untuk pengembangan lebih lanjut, Koperasi Sampah selain menjual barang daur ulang dan pupuk organik, dapat pula menjual perlengkapan kesehatan dalam skala kecil. Organisasi PMR Madrasah dapat bekerja sama dengan Koperasi Sampah dalam mensosialisasikan budaya hidup sehat terkait gerakan PHBS secara lebih efektif kepada siswa-siswi madrasah (berupa bimbingan dalam pemilahan sampah dari sumbernya), sekaligus menjual produk kesehatan milik Koperasi Sampah.
Selain bernilai ekonomi, tentunya program Koperasi Sampah ini dapat berjalan dalam jangka panjang dan berkembang lebih cepat jika dijalankan dengan meilbatkan seluruh siswa madrasah secara aktif.
Para siswa pun tidak lagi berperan sebagai penikmat kebijakan madrasah, melainkan turut menciptakan siklus lingkungan yang menguntungkan semua pihak, di samping madrasah sebagai pengawas jalannya program ini.
Jika program Koperasi Sampah ini berjalan dengan baik, tentunya sampah di madrasah secara signifikan akan berkurang. Lingkungan yang bersih dan sehat pun terwujud dengan sendirinya, sehingga mendukung kelancaran proses belajar mengajar di madrasah.
Oleh karena itu, PHBS melalui upaya penanaman nilai-nilai budaya hidup bersih dan sehat harus dibarengi dengan tindakan pengelolaan lingkungan yang efektif dan produktif pula. Membuang sampah pada tempatnya bukanlah akhir dari usaha menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat, melainkan bagaimana mengelola sampah itu agar dapat digunakan kembali melalui kerja sama segenap siswa madrasah.
Dalam hal ini, Koperasi Sampah dapat menjembatani kerja sama dengan PMR dalam rangka membersihkan sampah dari lingkungan madrasah, mengolahnya menjadi barang berguna, menjualnya kembali, menyediakan perlengkapan kesehatan yang lebih baik, sekaligus mensosialisasikan pola hidup bersih dan sehat kepada masyarakat madrasah. Intinya, sampah bukan lagi istilah habis manis, sepah dibuang; tetapi habis manis, untung dituai.
Penulis, Jeremy Novandi Sarnio, Siswa MAN 2 Kota Makassar, Pemenang lomba esai Wujudkan Madrasah tidak Rantasa (judul esai telah diedit)