Manusia yang Melorong


[Gambar : Int]

Program pemerintah kota Makassar, yaitu Lorong Garden merupakan salah satu program unggulan yang masuk dalam kategori penataan ruang kota. Desain lorong garden pun tidak hanya didasarkan pada kebersihan, keindahan, dan kenyamanan kota, tetapi juga ekonomi. Penduduk kota yang berdomisili di lorong-lorong diminta untuk membersihkan, memperindah, dan bercocok tanam.

Selain menarik perhatian pengunjung yang datang ke Makassar untuk melihat keindahan lorong, lorong juga difungsikan untuk komoditi hasil kebun. Lorong yang sempit dan padat penduduk ini membuat kebun buatan dari polybag atau tanaman hidroponik. Tanaman yang bisa tumbuh juga terbatas pada jenis sayuran atau buah tertentu tergantung media tempat ia tumbuh.

Penduduk yang berdomisili di kecamatan Rappocini dan kecamatan Tamalate terdorong untuk merealisasikan program pemerintah ini. Dinas PU dan Pemkot Makassar akan turut membantu dengan menggelontorkan dana sebesar 1,2 Miliar (tribunnews.com). RT 1/RW 10 Mamoa Ria, Mangasa, kecamatan Tamalate merupakan salah satu contoh keberhasilan program lorong garden ini. Begitu juga dengan kecamatan Rappocini dsb. Keasrian dan kebersihan yang diringkus dalam satu kata “garden”, dengan mengacu pada slogan “Makassar Kota Dunia”, apakah variabel manusianya ikut dihitung?

Makassar dan Budaya Tutur

Istilah “Lorong” seringkali dipersempit pada pemaknaan suatu jalan yang sempit. Tetapi kesempitan jalan tidak bermakna sempit bila istilah lorong itu dipakai pada brand statement dari walikota Makassar, yaitu “Lorong Garden”. Sepintas konotasi dari program pemkot “Lorong” Garden terasa bersih dari kata “lorong” sebelumnya. Adanya pembersihan makna terlihat pada predikasi kata garden pada lorong. Apakah pergeseran paradigma (cara melihat) lorong ini benar-benar bersih atau tidak? Apakah pembersihan pada makna sekaligus induksi dari fakta di lapangan?

Makassar adalah pusat komoditas barang dan jasa. Hal ini terhitung sejak Speelman (1628-1684 M) memetakan secara demografis Makassar. Adalah benteng Rotterdam sebagai memory portable yang menjadi simbol peradaban sekaligus kekuatan ekonomi di Makassar pada waktu itu. Tidak hanya itu disekitaran benteng ini terjadi perjumpaan—bukan hanya ekonomi—melainkan budaya. Konten dari perjumpaan kebudayaan merupakan jenis komoditi lain yang jarang dikalkulasi sebagai kapital. Secara geografis Makassar berada di kawasan pinggir pantai Losari—dengan Rotterdam sebagai komoditi utama—dan para pemodal dan pekerja yang juga ikut berdomisili di sekitarnya. Inilah juga mungkin yang menjelaskan mengapa Makassar juga disebut Ujung Pandang, karena batas horison terlihat ketika memandangi pantai Losari. Tidak hanya itu, ras Tionghoa, kulit putih Eropa, dan pedagang Pakistan serta Arab merupakan pedagang yang lebih sebagai saudagar kaya tinggal dan berbisnis di Makassar. Penduduk asli Sulawesi pada waktu itu juga bercampur baur dengan suasana plural seperti itu. Penduduk asli datang dari beragam daerah di Sulawesi, adalah Sengkang, Bone, dan Gowa lebur juga dalam sistem dagang semacam itu.

Tak penting perjumpaan ekonomi karena itu biasa di dalam era kolonialisme Eropa. Yang menjadi sorotan penulis adalah perjumpaan budaya. Jumpa budaya artinya jumpa tutur, jumpa simbol, jumpa bahasa, dan yang paling penting adalah jumpa pengetahuan. Jadi, bila slogan Makassar menuju kota dunia itu ditukar tambah dengan kultur Makassar era colonial sebelumnya, sejak awal penduduk kita sudah terbiasa dengan hidup plural dan global.

Dari Ujung Pandang ke Lorong Kota

Ujung dari horison bisa saja dibatasi oleh ‘ujung pandang’ kita, tetapi keterbatasan horison selalu menginginkan kehendak untuk melampauinya. Horison mungkin hanya mampu memperlihatkan apa yang dicerap oleh indera, tetapi persoalannya adalah bagaimana cerapan inderawi itu diperluas pada kebudayaan, yaitu kompleksitas masyarakat.

Budaya Bugis-Makassar merupakan budaya tutur, hal ini juga yang diterangkan oleh William Cummings dalam The Makassar Annals (2011). Dimana Cummings mendaftar tuturan-tuturan Makassar abad ke-17, terutama era kerajaan Gowa-Talloq. Belakangn ini kita terpapar oleh beragam variabel mulai dari politik, ekonomi, sentimen primordialisme, ekologi, dlsb. Di tengah isu itu, opini bermuara dari pikiran dan tuturan penduduk Makassar. Percakapan publik pun tidak memperhitungkan ruang, ia menggema dari cyberspace, warung kopi, teras rumah, hingga ke lorong-lorong kota.

Program pemkot Makassar untuk meng-garden­_kan lorong-lorong kota adalah upaya yang baik yang berguna untuk kepentingan lingkungan. Tetapi soalnya adalah apakah pemerintah juga menghitung variabel budaya dalam penyusunan kebijakan lorong? Apakah lorong dilihat sebagai hanya  property atau ruang civil society?

Kalau mengacu pada ruang kota di negara maju, Copenhagen di Denmark misalnya, yang dihitung bukan keindahan dan kebersihan kotanya, tetapi lebih dari itu, yaitu terciptanya ruang jumpa budaya; antara lansia dan anak muda, antara penyandang difable dan yang normal, antara yang miskin dan yang kaya. Semua bercakap-cakap tentang apa saja. Jadi, lorong sebagai salah satu ruang publik harus diisi oleh percakapan yang demikian, yang tanpa dihalangi oleh kelas maupun stratifikasi sosial.

Lorong untuk Siapa?

Apa sebetulnya yang dimaksud bersih dalam terminologi pemerintah pada program lorong garden. Dengan mudah dipahami bahwa yang dimaksud bersih adalah tanpa sampah, sejuk oleh tanaman, dan menghasilkan komoditi. Jadi, seluruh upaya untuk mewujudkan lorong garden adalah untuk ekonomi. Lorong yang indah dan asri akan mengundang turis untuk datang. Demikian juga dengan mal, hotel, dan apartemen tidak lagi merasa terganggu dengan view pemandangan yang kumuh. Tentu kita bisa mengatakan bahwa ekonomi itu penting untuk kota kapitalis, tetapi terbaca dengan jelas arah dari program ini untuk siapa.

Tata ruang kota selalu mempertimbangkan utiliti dari setiap program. Tetapi ruang kota bukan sekedar tumpukan beton yang ditumbuhi tanaman hijau. Dengan kata lain ruang kota bukan hanya soal property tetapi yang lebih penting adalah percakapan civil society. Bagaimana mungkin Makassar akan menjadi kota dunia tanpa mengkalkulasi variabel civil di dalamnya yang akan menghasilkan civilization.

 

Penulis, Mahram Mubarak M. Esai ini merupakan karya yang dilombakan pada kegiatan Makassar Literasi Award