[Ilustrasi Gambar : https://redaksibdg.files.wordpress.com]
Sampah memang merupakan benda mati. Namun, ia hidup pada indra penciuman manusia. Sebab, sampah sering menghadirkan bau yang begitu menyengat tak ada bedanya dengan politik yang juga menyengat. Sampah memang benda mati. Namun, iapun juga hadir dalam Pemerintahan. Setiap daerah sering menjadikan sampah sebagai barang yang begitu berharga tak terkecuali di Kota Makassar.
Hal itu dibuktikan dengan adanya program Pemerintah Kota Makassar dibawah kepemimpinan Moh. Ramdhan Pomanto yang digagas melalui Smart City mencakup dua program unggulan yakni; Makassar ta’ Tidak Rantasa’ dan Lihat Sampah Ambil (LISA). Program tersebut menjadi bukti nyata bahwa, sampah tak hanya hadir di tempat-tempat yang kumuh dan kolot tetapi ia juga hadir di Pemerintahan.
Sebagai masyarakat, kita tidak tahu, bisa saja sampah yang ada di Pemerintahan baunya lebih menyengat karena dibalut dengan politik yang tak sehat dibandingkan dengan sampah yang ada ditempat-tempat kumuh, kolot itu.
Jika terjadi fenomena demikian, tentu kita lebih mengapresiasi para pekerja yang menghabiskan waktu dari pagi buta hingga petang hari dengan bekerja sebagai pemulung dibanding dengan para penguasa yang duduk manis di Pemerintahan yang memiliki ambisi politik busuk dengan menjadikan masyarakat sebagai sampah.
Di aras ini, meski Pemerintah Kota Makassar telah mendapatkan penghargaan Indonesia Award 2017 kategori Tata Kelola Pemerintahan berbasis Smart City bertajuk Metamorfosa Indonesia Award 2017, Selasa, 31 Oktober 2017 lalu. Namun, keprihatinan kita soal sampah di Kota Makassar tidak boleh cair begitu saja.
Sebab, masalah sampah di Kota Makassar merupakan fenomena yang berkelanjutan. Masalah itu tidak akan selesai begitu saja dengan program Makassar ta’ Tidak Rantasa’ dan Lihat Sampah Ambil (LISA) ditambah lagi dengan penghargaan tersebut. Keprihatinan kita terhadap sampah tidak boleh hanya sekadar dipolitisasi lewat program tersebut. Karena yang terpenting dari itu semua adalah Pemerintah Kota Makassar harus menyentuh akar masalah persampahan di Kota Makassar.
Kita tidak ingin, program tersebut menjadi rutinitas birokrasi layaknya upacara belaka. Penanganan sampah di Kota Makassar harus digulirkan ke ruang-ruang sosial secara langsung tanpa melihat kelas masyakat. Sebab, produksi sampah tak akan pernah lepas dari masyarakat itu sendiri.
Meminjam pernyataan Direktur Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulawesi Selatan, Abdul Karim. Ia mengatakan, Sasarannya, adalah mentransformasi mentalitas warga ke arah yang lebih bersih. Karena selama ini, pola hidup Rantasa’ (Kotor). Tentu saja, transformasi itu butuh stimulus-stimulus untuk memompa motivasi warga, membangun hidup bersih dari sampah.
Keterlibatan aktif masyarakat dalam penanganan sampah merupakan senjata yang paling ampuh untuk menuntaskan masalah sampah di Kota ini. Sadar dan tidak sadar, dengan adanya program tersebut kaum miskin kota justru semakin menderita. Terbukti, saat program tersebut telah dijalankan rutinitas para pemulung sampah semakin tergusur. Padahal saat kontestasi politik para pemulung sampah tersebut juga memilih pemimpin di Kota Makassar. Namun, disisi lain pilihannya juga telah menganiaya dirinya sendiri.
Ini tentu menjadi perhatian serius bagi warga di Kota Makassar. Sebab, apa yang menjadi program Pemerintah Kota Makassar, tidak menutup kemungkinan dirangkai dengan kebijakan-kebijakan politik yang hanya mengarahkan mata kita kepada hal-hal yang sifatnya prosedural tetapi tidak substantif. Disisi lain mengangkat harkat dan martabat Kota Makassar menuju kota Duni tetapi disisi lain menindas orang-orang yang berada dipinggiran.
Hal ini tentu miris, karena ada yang tertawa tetapi ada pula yang menangis. Ini akan menjadi bahan evaluasi bagi Pemerintah Kota Makassar bagaimana menggagas sebuah program yang betul-betul pro terhadap amanah penderitaan rakyat. Pemerintah harus sadar bahwa, program jangan dipolitisasi, cukup politik hanya berhenti pada level Pemilihan Wali Kota (Pilwali) saja.
Sebab, jika kebijakan juga dipolitisasi dalam sebuah program maka bukan tidak mungkin, masyarakat yang tidak tahu apa-apa akan menjadi tumbal dari kebijakan tersebut yang telah bersekutu dengan politik busuk yang baunya menyengat.
Olehnya itu, lewat program tersebut masyakat harus mengevaluasi kinerja kerja dari Pemerintah Kota Makassar sehingga masalah sampah di Kota ini tersentuh sampai ke akar-akarnya. Jika, hal tersebut tidak diperhatikan maka, cepat atau lambat masyarakat akan menjadi sampah karena ambisi politik yang tak terbendung lagi.
Penulis, Fathullah Syahrul. Tulisan ini merupakan karya esai yang dilombakan pada kegiatan Makassar Literasi Award