KETIKA SMART LIBRARY KALAH PAMOR DENGAN KEDAI KOPI


[Ilustrasi : Int]

Ketika berjalan sepanjang gang antara rak-rak panjang,
di perpustakaan yang mengandung ratusan ribu buku
dan cahaya lampunya terang benderang,
kulihat anak-anak muda dan anak-anak tua
sibuk membaca dan menuliskan catatan,
dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang,

Petikan puisi tersebut adalah karya Taufiq Ismail yang mendeskripsikan budaya membaca dimana-mana di sebuah kota,membuat saya berandai-andai,seandainya saja pemandangan seperti ini bisa saya temukan di Makassar,kota Anging Mamiri yang seharusnya bangga karena telah memiliki festival literasi-nya sendiri,bahkan bertaraf Internasional,Makassar International Writers Festival.

Namun miris,meskipun telah memiliki festival literasi internasional,minat baca yang rendah masih saja menjadi persoalan rumit.masalah ini bukan lagi masalah aktual namun telah lama dibuat terapung,terombang ambing bersama keresahan para pemerhati dan berbagai kalangan yang peduli akan pentingnya budaya membaca.khususnya para remaja yang terjebak oleh kemajuan teknologi.remaja masa kini cenderung malas bersentuhan dengan segala sesuatu yang bersifat manual,katakanlah buku.sebagai benda manual,buku sekarang seperti dikesampingkan.tergerus dengan pesatnya kemajuan digital yang membuat siapapun jatuh cinta terhadapnya,buku sekarang layaknya cinta lama yang telah terlupakan.

Pemandangan baru di abad ini kemudian muncul menggantikan para pendahulu yang kerap menghabiskan waktunya di depan buku,pemandangan itu tak lain adalah para remaja yang kini lebih suka berlama-lama di depan komputer atau gadget,menghabiskan waktu berjam-jam di kedai kopi,bukan dengan tujuan untuk menyeruput secangkir kopi hangat,namun karena hasrat untuk berselancar di dunia maya,berkeliling dunia tanpa meninggalkan kursinya,seakan kata “Buku adalah jendela dunia” merupakan hal yang tabu bagi remaja zaman sekarang.waktu yang seharusnya dialokasikan untuk kegiatan manual seperti membaca buku nyaris tak ada dan tergantikan dengan kegiatan visual digital yang menjebak remaja dengan selimut tebalnya yang nyaman.

Sungguh mencemaskan melihat keadaan itu,bagaimana mungkin Makassar sebagai kota metropolitan bisa maju jika generasi mudanya malas membaca.sedangkan membaca adalah bagian dari kerja intelektual yang tentu saja sangat berpengaruh pada eksistensi peradaban generasinya.jika penerus generasinya malas membaca,maka generasi yang akan tercipta di masa yang akan datang adalah generasi yang bodoh,tidak peka pada pembaharuan dan pastinya akan ketinggalan zaman,mereka hanya akan menjadi generasi yang diam dan tertunduk lesu tak mampu untuk maju dan berubah,itukah potret wajah Makassar kita,kini dan di masa yang akan datang ?

Pemerintah Kota Makassar sendiri melalui dinas terkait sudah mencanangkan program Smart Library,namun kunjungan ke Perpustakaan Kota Makassar dan aktivitas baca lainnya masih sangat minim,Ikhwal minat baca yang rendah di Makassar bukan lagi sebuah opini,melainkan sebuah fakta yang harusnya tidak ditutupi lagi.di pusat pertokoan buku,hanya segelintir orang yang berkunjung atas niat ingin membeli buku,mayoritas dari mereka terkesan membeli buku hanya karena tuntutan,entah itu tuntutan dari guru atau dosen mereka,ataupun pihak lain yang kemudian membuatnya “Terpaksa” membeli buku,seakan buku hanya untuk sekedar formalitas saja.bukan sebuah kebutuhan,melainkan keterpaksaan.

Di tempat umum atau keramaian di Makassar pun menunjukkan wajah yang tak jauh berbeda,entah itu di Anjungan Pantai Losari,di taman,ataupun di tempat keramaian lainnya jarang sekali kita temukan orang yang tengah duduk dengan tenang,sambil membaca deretan kalimat dalam sebuah benda bernama buku.yang umumnya kita lihat hanyalah orang-orang yang kecanduan teknologi digital,jepret sana-sini,atau tengah sibuk bercermin di depan layar gadgetnya masing-masing.

Efek lain yang lebih parah lagi adalah remaja masa kini kemudian menciptakan budaya baru,budaya copas (copy paste),mereka tak lagi suka  mencari referensi dalam buku,melainkan dengan cara instant berbekal kemampuan mengakses situs search engine,seperti google,yahoo,dan situs lain yang keakuratan data dan informasinya tak dapat dipertanggungjawabkan.demam media sosial juga sangat berpengaruh pada remaja sekarang,mereka kemudian menjadi pribadi yang anti sosial dan tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya.sungguh miris generasi kita.

Sudah saatnya kita membuka mata kita,mulai untuk tak selalu bergelut dalam penjara dunia digital,belajar untuk tak selalu bergelut dalam hiruk pikuk dunia maya dan kembali ke dunia nyata,temukan bacaan yang sesungguhnya,buku.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah kutipan yang penulis harap bisa menjadi pegangan kita untuk mulai menyadari betapa pentingnya membaca buku,kembali menumbuhkan cinta kita pada buku.mengutip kata Robert Downs,dalam bukunya Books In My Life,ia mengatakan,

Cinta sepanjang hayatku dengan buku dan membaca tidak terganggu oleh komputer, mesin-mesin otomatis, dan segala macam perangkat abad ke dua puluh”.

 

Penulis, Hamsah Hasan. Tulisan ini merupakan karya esai yang dilombakan pada kegiatan Makassar Literasi Award