Literasi dalam Bingkai Waktu


[Ilustrasi Dongeng Keliling]

Nilai yang terkandung dalam Sumpah Pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober lalu kini tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral. Dibuktikannya dengan kondisi terkini para pemuda Indonesia yang banyak menunjukkan sisi negatif. Walaupun begitu, masih ada pemuda Indonesia yang membanggakan dengan capaian prestasi penemuan serta inovasi-inovasi yang cemerlang, salah satunya melalui literasi. Ketika kita berkilas balik tentang sejarah lahirnya Sumpah Pemuda yakni dari Kongres Pemuda II. Dimana Kongres Pemuda II ini digelar di 3 gedung dan dibagi menjadi 3 rapat yang berbeda. Dimana, dalam sambutannya pada rapat pertama Sugondo Djojopuspito selaku ketua PPPI berharap dapat memperkuat semangat persatuan dalam hati para pemuda. Acara kemudian dilanjutkan dengan uraian Muhammad Yamin tentang arti dan hubungan antara persatuan dan pemuda.

Menurut Muhammad Yamin ada 5 faktor yang dapat memperkuat persatuan Indonesia yaitu Sejarah, Bahasa, Hukum Adat, Pendidikan dan Kemauan. Pada rapat kedua membahas tentang pendidikan. Para pembicara yaitu Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro berpendapat bahwa anak-anak harus mendapatkan pendidikan kebangsaan dan harus pula ada kesimbungan antara pendidikan di sekolah dan pendidikan di rumah. Anak harus pula dididik secara demokratis. Dan pada rapat ketiga yang juga sebagai rapat penutup Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan menjelaskan bahwa gerakan kepanduan tidak dapat dipisahkan dari pergerakan nasional, gerakan kepanduan mendidik anak-anak disiplin dan mandiri sejak dini dan hal-hal yang diperlukan dalam perjuangan (Sumber:http://www.pelajaran.co.id/2017/31/sejarah-singkat-lahirnya-sumpah-pemuda-dan-isi-sumpah-pemuda.html)

Pada rapat kedua kita bisa menarik bahwa muatan yang diharapkan oleh para pemuda bangsa pada waktu itu adalah mengenai pendidikan yang dapat dirasakan oleh seluruh anak Indonesia. Salah satu dari aspek pendidikan yang kita dapatkan pada bangku sekolah dasar yang kita terapkan hingga kini adalah kemampuan membaca dan menulis atau kita kenal dengan literasi. Masih jelas dalam ingatan saya bagaimana guru di kelas 1 SD kita memberikan pelajaran membaca dan juga menulis. Berangkat dari itu, kita dapat merefleksikan sejauh mana aspek literasi itu berlaku. Sedikit meneropong bahwa minat membaca dan menulis di Indonesia masih sangat rendah padahal angka melek huruf kita tinggi. Bahkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Central Connecticut State University terkait minat baca menempatkan Indonesia di posisi 60 dari 61 negara, setingkat di atas Botswana. Sangat miris bukan?

Sedikit bernostalgia, rasa suka terhadap membaca dan menulis pada diri saya mulai tumbuh dari Sekolah Dasar (SD) hingga saat ini. Ada banyak hal yang saya dapatkan ketika SD yang anak-anak sekarang sudah tidak lagi, bahkan setelah bertanya pada beberapa kawan, mereka juga tidak melewati hal yang sama. Ya, ketika SD dulu, saya disuguhi dengan salah satu mata pelajaran aneh menurut saya pada waktu itu, yaitu mata pelajaran: Perpustakaan. Mata pelajaran ini tidak seperti pelajaran lainnya yang terkadang memaksa kita untuk benar-benar paham dan mengerti. Meski seperti mata pelajaran pada umumnya yang memiliki jam khusus serta pada hari tertentu, tetapi mata pelajaran perpustakaan hadir dengan konsep yang berbeda. Mata pelajaran ini diisi dengan kunjungan ke perpustakaan sekolah.

Selain melakukan kunjungan, kami juga diperintahkan oleh bapak guru, dalam hal ini diamanahkan kepada bapak yang mengurusi perpustakaan sekolah kami untuk mencari satu buah buku apa saja. Kemudian setelah mendapatkan buku tersebut, kami lalu membacanya dan menuliskan isi apa yang kami dapatkan saat itu juga. Apabila waktu pelajaran kami harus berakhir tapi kami belum menyelesaikannya, kami diperbolehkan untuk membawa pulang buku perpustakaan tersebut dan mengembalikannya pada esok hari bersamaan dengan tugas ringkasan kami. Begitu seterusnya selama kurang lebih 3 tahun. Sebab, mata pelajaran perpustakaan ini dimulai pada kelas 3 SD dimana kita telah mempunyai kemampuan untuk membaca dan menulis. Selain itu, sisi istimewa dari mata pelajaran Perpustakaan ini, adalah dengan menghadirkan peringkat-peringkat khusus Perpustakaan. Jadi, ketika di Sekolah Dasar kita mampu meraih dua peringkat sekaligus, yakni peringkat kelas dan peringkat perpustakaan. Namun, disayangkan mata pelajaran itu sudah tidak ada lagi di SD saya. hal inilah yang membuat saya berpikir negatif sebab menurut saya budaya membaca dan menulis harus dibentuk sejak dini.

Sebagai solusi dari berbagai permasalahan diatas, Pemerintah Kota Makassar menghadirkan sebuah program yang dikembangkan oleh Dinas Perpustakaan yang bernama Donkel (Dongeng Keliling) yang pada waktu lalu berhasil mendapatkan penghargaan sebagai Top 99 Inovasi Nasional. Program ini diharapkan mampu mendongkrak minat baca warga utamanya kalangan pelajar. Pelaksanaan dari program Donkel ini adalah dengan menjalan perpustakaan keliling yang kemudian membacakan dongeng kepada anak-anak. Namun, dongeng yang diceritakan sengaja tidak diselesaikan. Hal ini sengaja dilakukan agar menumbuhkan rasa penasaran kepada pendengarnya. Oleh karena itu, nantinya anak-anak atau pelajar ini dianjurkan untuk mencari sendiri buku cerita tersebut kemudian membacanya hingga selesai. Secara tidak langsung, maka hal ini telah menumbuhkan minat membaca mereka.

Harapan saya kepada Pemerintah Kota Makassar khususnya Dinas Pendidikan, di samping menjalankan program Donkel yang notabenenya adalah sebagai umpan informal (bersifat tidak mengikat) dalam meningkatkan minat baca masyarakat, khususnya anak-anak, Dinas Pendidikan mampu kembali mengimplementasikan mata pelajaran Perpustakaan di Sekolah Dasar sebagai upaya yang bergerak secara formal dalam menumbuhkan minat baca anak sejak dini. Dengan meningkatkan minat membaca, maka kemampuan menulis seseorang juga dapat meningkat dan memberikan dampak positif bagi bangsa dan negara.

 

Penulis, Qolbi Khaerun Nisa Syahruddin,  Tulisan ini merupakan karya esai yang dilombakan pada kegiatan Makassar Literasi Award