[ Gambar : Int ]
Di tengah rimbun lautan manusia, dua orang-orang anak muda berjalan menyusuri Pantai Losari. Mereka berbeda, mereka merasakan keresahan di tengah orang-orang yang sedang berbahagia. Kehadiran mereka bukan untuk mencermati lirik lagu artis-artis ibu kota, tetapi lebih kepada kepeduliannya terhadap Makassar dan Pantai Losari.
Di antara kepungan suara gemuru yang lahir dari pelantang suara, di sebuah tempat yang strategis, berdiri sebuah poster Makassar di masa yang akan datang. Mereka mengamati dengan cermat gambar Makassar (dalam hal ini Losari) dengan prespektif sebuah perusahaan pengembang di masa yang akan datang. Gedung tinggi dimana-mana dengan label hunian modern. Tentu saja “jembatan” untuk menggapai itu adalah reklamasi.
Mereka akhirnya khawatir kelak tak ada lagi senja di losari. Semua terhalang gedung hunian modern yang berdiri di atas reklamasi Pantai Losari. Demikian, gambaran tentang film pendek yang berjudul “Menenggelamkan Mata”, potret tentang keresahan dua orang pemuda dengan latar riuhnya Makassar International Eight Festival dan Forum (F8).
F8 merupakan event internasional tahunan yang diadakan oleh pemerintah kota Makassar. Secara sederhana, F8 menampilkan 8 unsur yaitu: fashion, film, folk, flora dan fauna, fine art, fussion music, fiction writer dan font. F8 menyajikan kegiatan seni dan kebudayaan sebagai salah satu upaya memperkenalkan budaya dan kearifan lokal kota Makassar. Hal ini juga menjadi ruang ekspresi dan apresiasi bagi penggiat seni dan literasi.
Akan tetapi, melalui film pendek “Menenggelamkan Mata”, ada sudut pandang berbeda yang menarik untuk dicermati. Di dalam poster besar atas nama sebuah perusahaan pengembang, sangat jelas tentang gambaran Pantai Losari di masa yang akan datang. Losari dengan kepungan gedung tinggi di atas “reklamasi”.
Hal ini tentunya akan menjadi kabar buruk bagi warga pesisir. Menurut Aliansi Masyarakat Pesisir dan Walhi Makassar, reklamasi pesisir akan menyebabkan rusaknya terumbu karang dan mangrove, rusaknya ekosistem laut, terjadi perubahan pola arus, gelombang dan sedimentasi, meningkatnya potensi banjir, dan kerusakan alam di sumber galian, serta hal yang paling sederhana adalah apakah kelak kita masih dapat menikmati senja di Losari secara gratis?
Mungkinkah megahnya F8 bersama mekarnya senyuman penggiat seni dan literasi yang terlibat F8 tidak menimbulkan ratapan di sisi yang lain bagi masyarakat pesisir? Membangun nilai-nilai budaya dan kearifan lokal melalui sebuah ruang apresiasi seperti F8 dari berbagai sponsor besar, semoga tidak menjadi lagu ninabobo bagi mereka. Hati nurati harus tetap tumbuh untuk hal-hal yang menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan, termasuk kebijakan reklamasi.
Maka dari itu, pekerjaan literasi sebagai upaya mecerdaskan dan menumbuhkan pemikiran kritis masyarakat, harus memiliki implikasi nyata. Jangan sampai komunitas literasi hanya menjadi gincu untuk sebuah eksistensi semata. Komunitas literasi kemudian tidak memiliki sebuah progres tentang arah perjuangan yang tentu saja harus berimplikasi positif di Masyarakat.
Hal lain yang juga harus dipikirkan adalah gerakan literasi harus menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Jangan menjadikan gerakan atau komunitas literasi tempat untuk menutup diri yang justru membuat jarak dengan masyarakat. Gerakan dan komunitas literasi kemudian hanya dijadikan wadah untuk menunjukkan eksistensi semata. Mereka hadir, berdiskusi, memegang buku, sambil menggenggam sebuah kamera handphone, kemudian selfie, setelah itu kembali dan tidak terjadi apa-apa, termasuk tidak berubahnya pola pikir ke arah yang lebih kritis.
Literasi bukan hanya sebatas sebuah kegiatan baca, diskusi, dan tulis, akan tetapi menjadi wahana untuk berpikir kritis agar terbebas dari belenggu represif. Secara sederhana, salah satu tujuan gerakan literasi adalah meningkatkan minat baca masyarakat. Efek yang diharapkan dari meningkatnya minat baca tersebut adalah kemajuan dalam berpikir dan cara padang seseorang terhadap suatu masalah. Termasuk tetap berpikir kritis terhadap kebijakan reklamasi yang ada di Pantai Losari serta menemukan solusi terhadap permasalahan mereka.
Kembali kepada persolana F8 sebagai wadah apresiasi budaya dan kearifan lokal, hal ini tentunya sangat dibutuhkan. Demikian halnya dengan penggiat seni dan gerakan literasi yang digerakkan oleh komunitas maupun individu, juga merupakan suatu upaya perjuangan. Akan tetapi, progres tentang literasi, seni dan bentuk kekaryaan yang lain harus tetap menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Aktivitas seni dan literasi harus melepaskan sisi esklusifitasnya. Kegundahan dan keresehan terhadap setiap ketimpangan-ketimpangan yang ada harusnya juga direkam dengan baik oleh seniman dan penggiat literasi.
Seniman dan penggiat literasi sebenarnya punya kebebasan untuk berekspresi dan bersikap terhadap suatu masalah, termasuk kebebasan terlibat di F8. Hanya saja, semoga F8 tetap ada sebagai sebuah ruang apresiasi, bukan menjadi wahana hegemoni korporasi besar untuk membuat kita terlena. Ruang apresiasi mestinya hadir sebagai ruang kemanusiaan.
Penulis : Arlin. Esai ini merupakan karya yang dilombakan pada kegiatan Makassar Literasi Award