Oleh Akbar*
MAKASSARBICARA.COM-Siapa yang tidak senang dengan tindakan ugal-ugalan. Seperti yang dilakukan oleh rombongan pengantar jenazah yang mungkin pernah kita temui di jalan. Fenomena sosial ini sudah membudaya di masyarakat kita, termasuk masyarakat Kota Makassar.
Petanda Matinya Adab
Sering kali, iring-iringan pengantar jenazah yang pada umumnya didominasi oleh pengendara roda dua bertindak ‘arogan’ dan seenaknya. Sehingga tidak jarang, memicu konflik sosial di arena aspal. Sikap arogansi yang didorong oleh rasa superior diri ini, berimbas pada kerugian sosial yang dialami oleh pengendara lain, yang notabenenya memiliki hak yang setara di jalan yang sama. Jadi tidak keliru, jika penulis mengaitkan fenomena sosial ini sebagai salah satu bukti kematian adab (tata perilaku) masyarakat kita.
Ajaran Islam dengan jelas menerangkan bagaimana adab kita pada pengantaran jenazah. Dalam Hadis Riwayat Muslim dikatakan “Apabila seorang Muslim mati, iringilah jenazahnya”. Proses pengiringan jenazah inilah yang memiliki adab yang nampaknya masyarakat kita belum paham sepenuhnya atau mungkin keliru dalam memahaminya.
Adab dalam mengiringi jenazah menurut Islam, penulis kutip dari Imam al-Ghazali dalam risalahnya berjudul Al-Adab fid Din, dikatakan bahwa adab mengiringi jenazah di antaranya, senantiasa khusyu’, menundukkan pandangan, tidak bercakap-cakap, mengamati jenazah dengan mengambil pelajaran darinya, memikirkan pertanyaan kubur yang harus dijawabnya, bertekad segera bertaubat serta berharap agar tidak termasuk golongan yang celaka ketika maut datang menjemputnya. Dari semua adab itu, apakah betul-betul telah dipahami oleh masyarakat kita?
Misalnya, adab mengiringi jenazah dengan senantiasa dalam keadaan khusyu’. Keadaan khusyu’ yang dimaksud adalah setiap pelayat yang mengiringi jenazah hingga ke tempat pemakaman hendaknya senantiasa sadar bahwa kematian tentu menimbulkan duka mendalam bagi keluarga sehingga sikap khusyu’ dilakukan untuk menghormati perasaan duka keluarga yang ditinggalkan.
Adab lainnya adalah tidak bercakap-cakap pada saat mengantar jenazah. Hal ini dimaksudkan agar tercipta suasana khusyu’ dalam pengantaran jenazah. Namun bukan berarti kita diharuskan berdiam diri pada saat pengiringan jenazah, tetapi dianjurkan untuk mengeluarkan kalimat-kalimat thayyibah sebagai pengingat keimanan kita kepada sang Pencipta.
Tetapi lagi-lagi masyarakat kita justru jauh dari adab-adab ini, bahkan terbilang tak beradab sama sekali. Hal tersebut dapat kita saksikan dimana para rombongan pengiring jenazah, justru melontarkan ujaran makian terhadap pengendara lain agar diberi jalan dan menjadikan momen pengantaran jenazah sebagai ajang konvoi dengan bunyi klakson yang begitu meriah.
Budaya mengantar jenazah tak ubahnya seperti kampanye politik yang meriah, penuh arogansi, mencekam, serta merugikan pengendara yang lain. Seperti yang terjadi di beberapa titik Kota Makassar, misalnya baru-baru ini terjadi di depan Bumi Tamalanrea Permai (BTP), dimana terjadi konflik antara iring-iringan pengantar jenazah dengan pengendara lainnya. Arogansi dan sikap menyimpang para rombongan pengiring jenazah ini justru memperburuk citra dan watak masyarakat Makassar, yang dikenal sombere (ramah dan santun).
Para pengantar jenazah tidak hanya jauh dari kekhusyu’an tetapi juga semakin mempertegas bahwa warga Makassar intoleransi terhadap sesama pengguna jalan. Justru yang terjadi adalah cacian, celaan dan konvoi di jalanan yang jauh dari adab yang di ajarkan oleh Islam.
Jika kondisi masyarakat Makassar terus menerus demikian, arogan dalam mengantar jenazah, maka bisa dipastikan, kita betul-betul mengalami kematian dalam beradab. Lalu mengapa fenomena ini terus saja terjadi?
Membangunkan Polisi ‘Tidur’
Bagi penulis salah satu penyebab fenomena ini terjadi adalah karena ‘tertidurnya’ aparat kepolisian dari tugas dan tanggung jawabnya. Hal ini berkaitan dengan aturan tentang pengawalan mobil jenazah, dimana menempatkan aparat kepolisian sebagai pihak yang bertanggung jawab lebih, apalagi sehubungan dengan ketertiban masyarakat umum.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, disebutkan ada enam pengguna jalan yang memiliki prioritas utama di jalan raya, diantaranya kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas, ambulans yang mengangkut orang sakit, kendaraan untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan lalu lintas, kendaraan pejabat dan tamu negara, iring-iringan pengantar jenazah dan konvoi atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan kepolisian.
Namun di beberapa peristiwa, penulis jarang menemui mobil ambulans pengantar jenazah yang dikawal atau diiringi langsung oleh pihak kepolisian. Justru yang mendapatkan pengawalan adalah rombongan para pejabat dan tamu negara. Sehingga dengan demikian ‘ketidakhadiran’ aparat kepolisian justru semakin membuka potensi konflik di masyarakat kita, bahkan parahnya kepolisian terkesan sengaja dan acuh terhadap potensi-potensi konflik tersebut.
Padahal, polisi digaji oleh masyarakat umum, bukan oleh pejabat, hanya pejabat memperoleh prioritas lebih utama dari segalanya karena memberikan nilai lebih (imbalan) ke aparat. Tentu hal demikian sangat jauh dari harapan masyarakat dan tugas pokok kepolisian sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yang diharapkan mampu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberian perlindungan, pengayoman serta pelayanan kepada masyarakat. Hemat penulis, solusi terbaik dalam menyelesaikan permasalahan sosial ini adalah melibatkan aparat kepolisian dalam pengawalan mobil jenazah.
Terakhir, penulis teringat apa yang dikatakan oleh Presiden RI ke 4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang mengatakan hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, pertama Jenderal Hoegeng, patung polisi dan polisi tidur.
Sudah saatnya kita membangunkan aparat kepolisian kita dari tidurnya, agar optimal dan betul-betul mengayomi masyarakat, tidak hanya melayani orang-orang berduit, tetapi dapat menjadi polisi bagi semua kalangan di masyarakat kita, baik kelas atas, menengah maupun bawah, terkhusus selalu mengambil bagian dalam pengawalan mobil jenazah agar konflik-konflik di jalanan dapat dicegah sedini mungkin.
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sosiologi UNM, Ketua HMI (MPO) Cabang Makassar 2021-2022