[Gambar ilustrasi]
“Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam hubungan sosial (social relation) atau perubahan terhadap keseimbangan (ekuilibrium) hubungan sosial
(Robert Morrison MacIver, 1882-1970)
Anugrah terindah yang diberikan Tuhan untuk Kota Makassar yaitu diletakannya pantai yang pengunjungnya dapat menyaksikan sunset (matahari terbenam) dan sunrise (matahari terbit) di tempat yang sama, pantai itu dikenal dengan nama Pantai Losari. Salah satu tempat andalanku untuk menikmati matahari senja di Kota Makassar. Namun di sore itu, perasaan kesal mulai muncul lantaran mataku tertuju pada sampah-sampah yang mengapung pada pinggiran tembok pantai dan juga sampah yan tergeletak ditempat-tempat duduk pantai ini, seolah ikut menikmati senja. “Mengapa masih ada saja orang yang membuang sampah sembarangan? padahal tempat sampah di lokasi ini sudah tersebar dimana-mana”, diriku membatin. Sontak pikiran ini menjawab dengan sendirinya, “mungkin inilah alasan mengapa pembangunan fasilitas (fisik) harus dibarengi dengan pembangunan mentalitas (non fisik).
Pembangunan mentalitas masyarakat ini mengingatkanku pada kejadian memilukan hati, ketika itu tim PKM (Program Kreatifitas Mahasiswa) yang kubentuk melakukan pembentukan rumah pelatihan dan pengembangan olahan rumput laut, namun beberapa hari selepas kegiatan ibu-ibu yang kami latih malah membagi-bagi (privatisasi) alat produksi bahkan ada yang dijual. Kejadian ini membuatku sadar bahwa mentalitas masyarakat adalah pondasi dari terwujudnya pembangunan negara. Hal ini yang membuat saya sepakat dengan teriakan presiden kita pak Jokowi yang katanya “ayo revolusi mental!”.
Revolusi mental nampaknya jadi kunci pemikiran dari walikota kota Makassar, Ramadhan Pomanto, dalam menggagas program Makassar Tidak Rantasa’ (MTR). Program ini betul-betul dibangun untuk menyadarkan masyarakat pentingnya hidup sehat dan bebas dari sampah. Dalam mewujudkan program ini, lahir beberapa jargon pendukung seperti LISA (Lihat Sampah Ambil), MABELO (Makassar Bersih Lorong), MABASA (Makassar Bebas Sampah) juga slogan Aku dan Sekolahku Tidak Rantasa’. Kemudian program pendukung seperti menghadirkannya tempat sampah gendang dua, truk Tangkasa’ki dan dibangunnya TPA bintang lima. Adapun kegiatan yang diimplementasikan untuk mengubah pola pikir masyarakat secara langsung ialah LONGGAR (Lorong Garden), kerja bakti, Sosialisasi, dan Bank Sampah.
Implementasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Makassar telah mencakup pembangunan fisik dan non fisik. Namun upaya yang dilakukan tentu tidak lepas dari hambatan-hambatan. Misalnya masih banyaknya masyarakat yang LISA (Lihat Sampah Abaikan), tempat sampah gendang dua yang dirusak oleh masyarakat sendiri, masyarakat yang apatis terhadap kerja bakti dan masih banyak lagi. Sekali lagi sikap masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan sendiri menjadi cerminan buruknya mentalitas pada masyarakat itu sendiri.
Kondisi diperparah lagi dengan kenyataan bahwa meningkatnya volume sampah pada Kota Makassar. Seperti yang dilansir dari Berita Kota.com (2017) bahwa volume sampah mencapai angka 1.200 ton. Sedangkan pada tahun 2016 pertambahan volume sampah mencapai 1.500 kubik perhari (Berita Kota.com, 2016). Ini mengingatkan kita bahwa pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan mental penduduk terhadap kebersihan hanya memperparah kondisi kebersihan Kota.
Penelitian Zakiyah (2017) tentang implementasi kebijakan MTR Pemerintah Kota Makassar mengatakan bahwa implementasi dari program ini masih kurang dan masyarakat harus banyak membantu pemerintah untuk mewujudkan Makassar kota bersih. Masih kurangnya partisipasi masyarakat menjadi alasan mengapa kebersihan kota belum terwujud. Padahal kenyataan ini bertolak belakang dengan dilahirkannya program MTR, yaitu membangun kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap permasalahan sampah di Kota Makassar.
Berdasarkan uraian tersebut, untuk mewujudkan program MTR perlu ditinjau kembali apa yang masih kurang dalam pengimplementasiannya. Jika ditinjau kembali jargoan pendukung dan kegiatan yang implementasikan langsung di masyarakat, hampir semua berprospek pada kesadaran kolektifitas masyarakat. Namun menurut penelitian Ramadhan (2017) dengan judul implementasi kesadaran kolektif masyarakat terhadap kebersihan lingkingan menghasilkan temuan bahwa ada empat Faktor penghambat kesadaran kolektif masyarakat Kelurahan Kassi-Kassi pada kebersihan lingkungan yaitu 1) Jadwal kerja yang padat, 2) Perbedaan Etnis, 3) Lokasi, pusat keramaian ataupun pertokoan,4) Kepadatan penduduk. Problem ini bukanlah hal yang asing dalam implementasi program-program sosial. Ini ibarat batu sandungan yang jelas di depan mata namun masih saja menyandung kaki pemerintah.
Permasalahan pada pembangunan kesadaran kolektif menyadarkan kita bahwa pentingnya membangun kesadaran individual pada program MTR. Karena kesadaran kolektif adalah kesadaran individu-individu secara bersama. Bagaimana bisa kesadaran bersama terbangun jika tiap individu belum terbangun kesadarannya. Perlu adanya kesadaran individu yang kemudian menjadi virus yang menyebar ke individu-individu lainnya.
Salah satu contoh bahwa individu yang tauladan mampu mempengaruhi dan memberi perubahan sosial ialah sosok Wali Songo (9 wali dalam bahasa Jawa). Wali Songo menjadi simbol berakhirnya kerajaan dan peradaban Hindu-Budha dan menggantikannya dengan peradaban Islam di Indonesia. Wali Songo adalah para cendekiawan muslim yang menempatkan diri pada bidang keahlian masing-masing sekaligus berdakwah. Pribadi seorang Wali Songo mampu mempengaruhi masyarakat sekitar bahkan patut diakui bahwa 9 wali ini memiliki peran yang sangat besar menjadikan Indonesia menjadi negara dengan penganut ajaran islam terbesar dengan jumlah ratusan juta penduduk.
Individu yang dibangun karakter juga mentalnya tentu akan menjadi tauladan untuk masyarakat sekitarnya. Pemerintahpun mencoba membangun karakter individu melalui slogan LISA, namun apakah kita menyadari bahwa slogan ataupun kegiatan yang ada bentuknya bersifat mengatasi bukan mencegah. Tentu kita semua sering mendengar kalimat lebih baik mencegah dari pada mengobati atau kalimat jangan mengotori kalau tidak bisa membersihkan.
Mencegah dapat dilakukan dengan membangun kesadaran individual untuk mengurangi produksi sampah. Jadi MTR harusnya mampu mencegah produksi sampah bukan hanya membersihkan sampah. Ketika benda sisa kegiatan manusia itu dibuang karena tidak terpakai lagi maka itu dikatakan memproduksi sampah. Selain itu, sampah itu akan menjadi tanggung jawab umum atau kolektif ketika dibuang pada tempat umum. Sehingga yang harus dibangun adalah kesadaran individu untuk tidak memproduksi sampah, juga ketika memproduksi sampah harusnya tidak menjadikannya tanggungan kolektif.
Permasalahan ini menginisiasiku untuk mengagas slogan baru yaitu SAPUTANGAN (Sampahku Tanggunganku). SAPUTANGAN adalah slogan yang tujuannya untuk menyadarkan dan menanamkan prinsip setiap individu bahwa sampah pribadai adalah miliki pribadi. Penguatan slogan ini dapat dilakukan dengan memperadakan slogan lebih dekat pada masyarakat, seperti hadir pada media sosial, media cetak, Televisi lokal, radio lokal, bahkan dinding-dinding lorong garden.
Internalisasi yang dilakukan juga dapat melalui kerjasama setiap stakeholder dalam menyukseskan Makassar yang bebas sampah, melalui pihak pemerintah, pihak swasta dan pihak masyarakat secara umum. Pihak pemerintah dapat menekankan pada setiap instansi yang ada khususnya instansi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Pihak swasta dapat menggelorakan melalui kebijakan atau program pada perusahaan, maupun dalam bentuk kegiatan sosial perusahaan. Kemudian masyarakat dapat membantu sosialisasi sekaligus aktif dalam menerapkan SAPUTANGAN.
SAPUTANGAN juga memiliki implementasi yaitu dengan mengarahkan setiap individu mampu mencegah produksi sampah. Cara mencegahnya melalui prinsip TOM (Tunda, Olah, Manfaatkan) dengan cara individu. Dengan Prinsip TOM ini masyarakat akan lebih mudah mencegah meningkatnya volume sampah di Kota Makassar.
Prinsip TOM pertama yang sangat sederhana yaitu Tunda Sampah. Tunda Sampah adalah prinsip untuk menunda barang menjadi sampah. Dimana sampah yang merasa tidak dapat diolah atau dimanfaatkan dalam bentuk lain harus disimpan dengan tujuan dikumpulkan untuk digunakan lagi atau dibuang sendiri pada tempat pembuangan sampah yang disediakan pemerintah. Prinsip Tunda ini contoh pertamanya adalah kantong kresek, seperti yang diketahui bahwa kantong kresek pada umumnya dapat digunakan berkali-kali, olehnya itu kegiatan lipat,simpan, dan pakai pada kantong kresek perlu dibudayakan. Juga contoh kecil dari prinsip Tunda Sampah ini yaitu ketika tidak tersedia tempat sampah disekitar, setiap individu membungkus dan membawa pulang sampah pribadinya ke rumah atau membuangnya di tempat yang disediakan.
Prinsip Tom yang selanjutnya yaitu Olah Sampah. Olah Sampah adalah prinsip untuk mengolah semua sampah yang dapat diubah nilai gunanya. Contohnya untuk limbah dapur, sisa potongan sayur, kupasan bawang bahkan makanan basi dapat diolah menjadi pupuk secara alamiah melalui komposter atau langsung ditimbun di pekarangan rumah. Dengan demikian masyarakat tidak perlu lagi menghirup aroma tidak sedap dari sampah basah yang menumpuk di depan rumah atau pinggir jalan.
Prinsip TOM yang terakhir yaitu Manfaatkan Sampah. Manfaatkan sampah adalah prinsip memanfaatkan jenis-jenis sampah yang dapat diubah jadi uang. Contoh sederhananya adalah mengupayakan setiap individu memiliki bank kertas pribadi juga bank plastik sendiri. Jika sulit, bank kertas maupun bank plastik dapat diperadakan untuk masing-masing rumah saja. Kemudian dapat disinergikan dengan Bank Sampah sekitar untuk melakukan penyisiran di perumahan-perumahan warga seperti yang dilakukan di Jepang. Sehingga masyarakat mendapatkan income juga outcome dari kegiatan Manfaatkan Sampah.
Mungkin sepintas terpikir hal ini sulit untuk diterapkan, tapi jujur saja hal ini sebagian besar sudah lama diterapkan pada keluarga tanteku yang kebetulan beliau bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mungkin sebagian orang mewajarkan, namun aku yakin tidak semua pegawai dapat se-idealis tanteku ini. Di sana di setiap sudut ruangan, bahkan kamar tidur juga kamar mandi tersedia tempat sampah. Aku diajarkan untuk menanam semua limbah dapur, bahkan untuk limbah cair seperti hasil cuci beras, cuci ikan dan cuci sayuran harus disiramkan ke tanaman. Di sana juga haram hukumnya membuang kantong kresek begitu saja, semua kantong kresek terlipat dengan rapih berbentuk segitiga lalu disimpan pada laci khusus. Namun yang jadi kendala adalah tidak terjangkaunya Bank Sampah di sekitar tempat tinggalnya, sehingga penukaran sampah harus dilakukan pada Bank Sampah yang jauh tempatnya. Ini jadi bukti kalau kurangnya fasilitas terkadang menjadi alasan masyarakat untuk menunda berbuat kebaikan.
Ketika kita telah mampu menerapkan SAPUTANGAN pada masyarakat, bukanlah hal yang sulit untuk mencegah pertumbuhan volume sampah yang ada di Kota Makassar. Hal selanjunya yang perlu dikerahkan adalah sinergitas antara setiap aspek masyarakat, baik tokoh adat, agama, pendidikan dan lainnya agar ikut membantu dalam menghimbau SAPUTANGAN dengan prinsip TOM pada masyarakat sekitar. Tokoh adat dapat menekankan bahwa kebersihan lingkungan juga bagian dari siri’ dalam kehidupan suku Bugis, Mandar, Makassar juga Toraja. Kemudian Tokoh agama dapat lebih menekankan bahwa hidup bersih adalah cerminan dari tiap individu kepada masyarakat juga Tuhannya. Tokoh Pendidikan dapat lebih mengajarkan pada peserta didik bahwa pendidikan tidak hanya menjadikan orang-orang cerdas tapi juga menjadikan orang-orang bermental hidup bersih.
Kemudian untuk kita semua dapat menyuarakan bahwa diri ini tidak perlu menunggu kesadaran kolektif untuk bertindak, melainkan tindakan diri inilah yang menyadi pemicu kesadaran kolektif untuk turut bertindak. Mari kita kembali sadari bersama bahwa kepedulian tiap individu mencegah hadirnya sampah adalah jalan terbaik untuk menjaga kebersihan lingkungan, dan individu yang tidak peduli dengan kebersilhan lingkungan itu adalah individu yang lebih buruk dari sampah. Sebab individu-individu yang berbenah akan mengubah lingkungan sosial, lingkungan sosial yang terbenahi akan mempengaruhi Equilibrium sosial dan pada akhirnya menciptakan perubahan sosial yang paripurna.
Penulis, Afdhal Abdillah AR.Tulisan ini merupakan karya esai yang dilombakan pada kegiatan Makassar Literasi Award