BEM dan Maperwa FIP UNM: Pion para Elite Senior


Ilustrasi (Foto : Ig. filsafatrindu)

*Oleh Dirga

MAKASSARBICARA.ID – Proses pergantian Rektor cukup menyita perhatian khalayak Universitas Negeri Makassar (UNM). Pasalnya, ada lima calon yang bertarung untuk pucuk kepemimpinan kampus. Selain itu, akhirnya Rektor UNM dua periode sudah bisa fokus untuk berkontestasi di Pilgub Sulbar mendatang.

Selain politik birokrasi–pemilihan Rektor, di ranah kemahasiswaan juga berlangsung prosesi Musyawarah Besar (Mubes) Universitas–politik Lembaga Kemahasiswaan (LK). Politik LK Univ ini adalah proses untuk menentukan Calon Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) hingga Ketua Umum Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (Maperwa).

Teringat pesan intel polisi saat demonstrasi yang menyerukan solidaritas di tengah perhelatan pemilihan Rektor, realitanya kini politik LK Univ telah membawa perpecahan yang ruwet antarmahasiswa. Hal ini sangat terasa, khususnya di Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP).

Rangkaian politik LK Univ memperlihatkan satu hal nyata yang telah menjadi rahasia umum, UNM terjangkit kultur feodalistik. Ini tidak terlepas dari tingkah laku pengurus LK dalam menyambut Mubes paling besar tersebut.

Dari 7 jurusan/prodi di FIP, mayoritas pengurus LK–Himpunan Mahasiswa–belum berdaulat dalam berorganisasi. Mudah ditemui bahwa kedaulatan tertinggi dalam LK dimiliki oleh para elite. Dan elite ini adalah senior, entitas yang kerap merasa paling bijak, superior, dan tahu hal mana saja yang baik untuk kepentingan LK.

Kedaulatan senior dalam mengelola LK sering saya dengar, bahkan dari mulut seorang alumni yang telah lulus dari kampus sejak lama. Berbeda dengan sebelumnya, yang selalu berbuah solidaritas dan progresifitas, kedaulatan senior kini membawa banyak petaka bagi mahasiswa yang sedang berorganisasi. Dampak paling buruk adalah berkurangnya minat organisasi mahasiswa hingga tercorengnya nama baik beberapa LK, terkhusus BEM dan Maperwa FIP.


Maperwa FIP: Lembaga Pesanan Senior

Sebelum lebih jauh, perlu diketahui bahwa perwakilan Jurusan Administrasi Pendidikan (AP) dan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) didaulat sebagai Ketua Umum Maperwa dan Presiden BEM pada perhelatan Musyawarah Fakultas (Mufak) XXI LK FIP.

Politik–pemilihan Presiden dan Ketua Umum Maperwa–di FIP kurang lebih sama dengan perpolitikan negara, terdapat koalisi pemenangan untuk setiap figur. Di Mufak kemarin, Jurusan AP, PLS, dan Pendidikan Khusus (PKh) tergabung dalam satu koalisi. Dapat dikatakan, bahwa yang menguasai LK FIP kini adalah koalisi tersebut.

Sebenarnya, beberapa teman tidak mempersoalkan koalisi apapun yang terjadi saat Mufak, akan tetapi situasinya kini semakin terang menjelang politik LK Univ. Ketimbang memposisikan diri sebagai wakil mahasiswa tingkat fakultas, Maperwa masih membawa ego jurusannya masing-masing. Ya, dalam hal ini ego koalisi pemenangan.

Masalah lebih besarnya yakni yang dibawa adalah ego senior, bukan ego Pengurus LK apalagi mahasiswa. Ini sangat terlihat pada kinerja Ketua Umum Maperwa yang tak aspiratif terhadap dinamika politik LK. Mudah dikatakan bahwa Ketua Umum tak melakukan usaha untuk menyatukan LK FIP. Sang Ketua Umum seolah merasa persatuan tak diperlukan sebab ada senior dan koalisi pemenangan yang menopang dari belakang.

Menjelang politik LK Univ, Maperwa tak pernah sekalipun melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) guna menentukan sikap soal Mubes paling besar di UNM. Lucunya lagi, Maperwa mengirim peserta penuh–Calon Anggota Maperwa Univ–yang ketiganya berasal dari koalisi pemenangan. Artinya, yang mengirim adalah senior dan bukan hasil musyawarah mahasiswa FIP. Salah seorang teman bahkan mengatakan bahwa peserta penuh yang dikirim terpaksa mewakili FIP karena perintah dari seniornya.

Kemungkinan besar pengiriman peserta penuh secara paksa dan tanpa melalui RDP adalah imbas terjalinnya koalisi dengan fakultas lain–yang terjalin karena hubungan antarsenior. Mengherankan ketika ada fakultas yang berkoalisi dengan FIP. Kira-kira apa harapan mereka dari Maperwa yang mengirim peserta penuh lewat keputusan segelintir elite jurusan? Dan di lain sisi Maperwa pun tidak menindak lanjut aspirasi mahasiswa yang ingin mewakili FIP hanya karena senior tidak memberi arahan.

Selain tak aspiratif, Ketua Umum Maperwa cenderung arogan. Beberapa kalimat terlontar seolah berlagak paling berkuasa, mungkin karena koalisinya berhasil memenangkan Mufak. Dan yang paling mencirikan arogansi ketika Ketua Umum pada Sidang Pleno menyampaikan secara eksplisit bahwa ia hanya “memanfaatkan delegasi setiap jurusan”.

Penggunaan kata ‘memanfaatkan’ tak tepat digunakan untuk sekelas Ketua Umum sebuah organisasi yang tugas utamanya adalah menampung segala aspirasi mahasiswa. Perlakuannya itu membuat kepercayaan mahasiswa surut.

Beginilah akibatnya ketika Maperwa hingga BEM diisi oleh mahasiswa pesanan senior.


Dominasi Senior Harus Diputus!

Maperwa seyogyanya adalah organisasi penjemput aspirasi mahasiswa di setiap jurusan. Dan BEM seyogyanya bertindak total dalam melaksanakan aspirasi. Namun keduanya pincang dalam melaksanakan tugas, yang lebih parah adalah Maperwa. Ini terjadi karena pengurus LK tak berdaulat dalam berorganisasi dan membiarkan dominasi senior tetap langgeng.

Yakin saja, ketika dominasi senior tak diputus, maka degradasi kualitas LK FIP tak terhindarkan. Gejalanya pun kini mudah dilihat, salah satunya yakni pencalonan figur Ketua Umum Maperwa dan Presiden BEM yang kualitas dan kapasitasnya tak mumpuni. Wajar saja kualitas tak jadi pertimbangan karena yang terpenting adalah bagaimana bisa menang dan memiliki pejabat LK yang patuh dengan senior.

Seruan memutus dominasi bukan bermaksud mengusir atau melarang senior untuk datang ke kampus. Seruan ini bertujuan agar kedaulatan penuh dalam berorganisasi bisa diberikan kepada pengurus LK selaku mahasiswa sah yang diberi kepercayaan oleh birokrasi lewat Surat Keputusan (SK). SK adalah simbol kuat bagi pengurus untuk berdaulat dan berpartisipasi aktif-bermakna di urusan politik, baik itu tingkat fakultas apalagi universitas.

Sayangnya SK tersebut tak berarti di kalangan senior bak kejadian di Mahkamah Konstitusi (MK) dan dinasti Presiden Jokowi. Tapi yang menggelitik adalah beberapa senior jurusan koalisi tadi tak sepakat dengan wacana dinasti Presiden Jokowi. Sang senior tak ingin negaranya dikuasai oleh sebuah dinasti akan tetapi ia sendiri menjelma Tuhan di kampus hingga mahasiswa lain–si junior–tak berkutik dan hanya bisa Samina’ wa Ato’na terhadap perintah atau larangannya.

Arkian, semua kegiatan pengkaderan hingga pelatihan, mulai dari Latihan Kepemimpinan (LK) I, LK II, LK III, Sekolah Legislatif, Sekolah Trias Politica, Kelas Advokasi, Kelas Riset, atau Latihan Kepemimpinan Lanjutan (LKL) hanyalah omong kosong belaka. Pasalnya, kriteria utama untuk jadi figur hanya satu, yakni patuh dengan senior. Ini bertolak belakang dengan tujuan pelatihan tadi, untuk membangkang dan melawan ketidakadilan hingga pembodohan. Dan dominasi senior adalah salah satu bentuk pembodohan.

Karena terlalu sering didominasi, pengurus LK pada akhirnya mati akal dan keberanian. Dalihnya jelas, agar tak mendapat ocehan dari senior. Sehingga pengurus LK inilah yang nantinya jadi figur di Maperwa dan BEM. Ketika seperti ini, bentuk penyatuan dan advokasi apa yang diharapkan?

Akhir kata, mengharapkan UNM jadi kampus ilmiah dan demokratis hanyalah omong kosong belaka jikalau si tukang advokasi–pengurus LK–nya masih terkurung dalam genggaman senior. Manfaat organisasi akan betul-betul terasa jikalau kedaulatan dalam menentukan ide dan pilihan dikembalikan pada entitas yang berhak sedari awal, yakni mahasiswa dan pengurus LK.

Sudah waktunya LK FIP mulai meriakkan kedaulatan dalam berorganisasi. Karena sampai kapan mahasiswa dan pengurus LK harus dipandang sebagai pion–budak–yang dengan sesuka hati bisa digerakkan oleh senior?

Penulis merupakan mahasiswa UNM yang gemar bicara apa adanya, asal baca dulu diskusi kemudian.