*Oleh Andi Muh. Asdar
Makassarbicara.id – Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengejutkan banyak pihak dengan putusan No.60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan Pilkada Serentak 2024.
Namun sehari setelah putusan tersebut, DPR menggelar rapat badan legislatif secara cepat menyetujui revisi Undang-Undang Pilkada. Tindakan ini memicu kecurigaan bahwa DPR berupaya menganulir putusan MK.
Secara definisi, anulir berarti menganggap sesuatu tidak sah atau tidak berlaku. Pertanyaannya adalah, apakah DPR memiliki kewenangan untuk menganulir putusan MK?
Untuk menjawabnya, kita perlu memahami kedudukan putusan MK. Putusan MK adalah hasil pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Jika undang-undang yang diuji terbukti bertentangan dengan UUD 1945, MK akan membatalkannya melalui putusannya. Setelah putusan MK, tidak ada upaya hukum lain yang bisa dilakukan untuk menentangnya.
Karena putusan MK bersifat final dan mengikat serta berlaku untuk semua pihak (asas erga omnes). DPR tidak memiliki kewenangan untuk menganulir putusan MK. Justru sebaliknya, MK lah yang dapat membatalkan produk DPR melalui putusannya.
Lantas, apa dampak pembahasan RUU Pemilu oleh DPR terhadap putusan MK?
Dalam ilmu hukum, terdapat asas “lex posterior derogat legi priori”, yang menyatakan bahwa hukum yang lebih baru (lex posterior) mengesampingkan hukum yang lebih lama (lex prior). Dengan kata lain, jika RUU Pemilu yang baru tidak mengadopsi putusan MK, maka setelah RUU tersebut diundangkan, putusan MK secara otomatis tidak berlaku lagi sesuai asas tersebut.
Oleh karena itu, bisa jadi langkah DPR dalam membahas RUU Pemilu adalah untuk memanfaatkan asas ini dan mengembalikan aturan sebelum putusan MK ke dalam RUU yang baru.
Tindakan yang dilakukan oleh DPR ini jelas menunjukkan bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan MK yang bersifat final dan berkekuatan hukum tetap.
Revisi UU Pemilu yang dilakukan DPR dapat dianggap sebagai upaya untuk mengabaikan keputusan konstitusi yang telah ditetapkan. Hal ini berpotensi merusak kredibilitas sistem hukum dan prinsip-prinsip demokrasi yang telah ditegakkan oleh MK. Selain itu, tindakan ini juga bisa menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengganggu kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan, yang pada akhirnya dapat merugikan stabilitas politik dan keadilan dalam proses pemilu di Indonesia.
Penulis merupakan aktivis hukum