Catatan Penting Dibalik Pembunuhan Bocah 11 Tahun


Oleh Andi Ulfah Wulandari

MAKASSARBICARA.ID – Makassar baru-baru ini dihebohkan dengan kasus penemuan mayat dalam sebuah kantong plastik di jalan Inspeksi PAM, Nipa-nipa.

Berdasarkan hasil penyelidikan, ditemukan fakta bahwa mayat tersebut adalah anak laki-laki berusia 11 tahun dan merupakan siswa kelas 5 pada salah satu Sekolah Dasar di Makassar.

Ironisnya, pelaku pembunuhan merupakan dua orang anak SMA yang masing-masing berusia 17 dan 14 tahun, keduanya bahkan sangat dekat dengan korban.

Melalui wawancara oleh pihak kepolisian, pelaku mengakui bahwa yang menjadi latar belakang pembunuhan tersebut karena terobsesi untuk melakukan perdagangan organ tubuh manusia yang pelaku peroleh melalui channel media online.

Kasus ini merupakan salah satu dari sekian banyak kasus pembunuhan yang terjadi di Indonesia belakangan ini, yang tidak hanya menimbulkan gejolak emosi, kemarahan, dan kesedihan mendalam bagi keluarga korban namun juga masyarakat sekitar yang memiliki “kesadaran diri”.

Melalui video yang diunggah oleh akun instagram Makassar Info, terlihat antusias warga melakukan penyerangan terhadap rumah pelaku hingga atap dan dinding rumah hancur berantakan. 

Tragedi ini menandakan bahwa Makassar hadir dengan dua wajah, yakni sebagai kota metropolitan yang berkembang mengikuti arus zaman dan teknologi, namun di lain sisi masyarakat Makassar mampu mempertahankan tradisi “siri na pacce”, sehingga bukan hal yang tabu apabila pelaku kriminal memperoleh sanksi sosial yang berat oleh masyarakat setempat.

Salah satu akun mengomentari postingan tersebut dengan mengatakan bahwa itu tidak seberapa.

Keluarga pelaku hanya kehilangan rumah, tapi keluarga korban keluarga kehilangan anak selama-lamanya.

Sanksi berupa hukum negara memang tidaklah cukup untuk menenangkan riak di pikiran keluarga yang kehilangan anaknya, namun sanksi sosial pun hanya mampu memberikan kepuasan bagi beberapa pihak, serta kemungkinan terbesar yang ditimbulkan oleh sanksi sosial itu adalah dendam berkepanjangan.

Namun tulisan ini bukan untuk mencari kambing hitam, karena tersangka sudah jelas terbukti. Namun di balik realitas yang tampak ini, ada suatu hal yang perlu menjadi bahan perenungan. 

Penulis memandang bahwa seluruh rentetan kriminalitas yang dewasa ini terjadi disebabkan oleh arus deras kapitalisme dan hedonisme yang tidak lagi mampu dibendung.

Kehidupan manusia yang semakin modern tidak hanya mengubah cara berpakaian, cara berbicara, dan gaya hidup manusia, tapi juga menimbulkan pergeseran moralitas dan spiritualitas  manusia modern.

Kekacauan yang menjangkit kebanyakan manusia saat ini salah satunya disebabkan oleh ketidakseimbangan antara spiritualitas dan realitas hidup yang mereka jalani.

Begitu banyak ekspektasi dan keinginan-keinginan manusia yang menyebabkan berlomba-lomba untuk mengerahkan segala kemampuannya tanpa batas dan kepuasan.

Tidak adanya kepuasan ini memicu timbulnya ketamakan, gejolak emosi, mudah stres dan frustasi serta rasa ambisi yang tinggi untuk memperoleh apa yang diinginkan. 

Perut senantiasa diisi dengan aneka macam makanan instan, otak diberi nutrisi dengan berbagai ilmu pengetahuan, teknologi modern, serta limpahan informasi, namun luput memperhatikan sisi batin yang sudah kering dan gersang.

Sementara manusia terdiri atas unsur jasmani dan rohani yang membutuhkan keseimbangan agar kehidupan bisa berjalan dengan baik.

Mencairnya nilai-nilai agama, kaidah-kaidah sosial dan susila menyebabkan manusia dengan mudah menghabisi nyawa sesamanya dengan cara-cara yang keji.

Krisis kemanusiaan yang terjadi di Indonesia khususnya di Makassar menjadi catatan penting dan tanggung jawab setiap kepala untuk mampu memberikan ruang aman dan nyaman bagi siapa saja, terutama bagi anak-anak di bawah umur yang masih memerlukan pendampingan. 

Anak di bawah umur mampu menjadi pelaku pembunuhan dengan alasan tergiur oleh angka rupiah yang begitu banyak jika berhasil menjual organ tubuh manusia. Suatu motif pembunuhan yang berangkat dari pola pikir materialistik, yang menilai materi segala-galanya sehingga menghalalkan berbagai macam cara untuk mendapatkan uang. 

Pelaku pembunuhan yang notabene merupakan pelajar SMA ini telah terkontaminasi oleh lingkungan terutama secara digital, di samping kurangnya pemahaman nilai-nilai kemanusiaan dan prinsip moral yang terdapat dalam ajaran agama maupun Pancasila.

Terbukti dengan minimnya jam pembelajaran yang diberikan untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan juga Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah-sekolah, sehingga perlu inisiasi untuk memberikan lebih banyak porsi misalnya dengan menyelipkan tentang pendidikan karakter di setiap pembelajaran.

Seberat apapun sanksi yang diperoleh, jika self awareness (kesadaran diri) itu tidak ada, maka besar kemungkinan kesalahan tersebut akan terulang kembali. Disebut “sadar” jika manusia mampu memfungsikan akal dan jiwanya sebagai manusia untuk memanusiakan manusia. 

Penulis merupakan Kepsek SDIT Makassar Islamic School Baruga