Oleh: A.Ulfa Wulandari*
MAKASSARBICARA.ID-Makassar merupakan salah satu kota metropolitan dan masuk dalam list kota besar di Indonesia. Banyak hal yang menarik dari kota ini, terutama kuliner, budaya, dan tempat wisatanya. Kebanyakan orang yang berkunjung ke Makassar biasanya akan ditawari untuk melihat Pantai Losari, CPI (Center point of Indonesia), Mall Nipah, atau tempat-tempat yang instagramable lainnya.
Beberapa waktu lalu, saya kedatangan kerabat dari luar kota yang akan melanjutkan studi di Kota Daeng. Saya memperkenalkan salah satu daerah yang istimewa di kota ini, yaitu daerah Antang. Sengaja saya melalui akses jalan Tamangapa untuk memperkenalkan kawasan TPA Antang, dengan laju kendaraan yang sengaja diperlamban. Dengan begitu, dia bisa melihat jelas bukit-bukit sampah yang tinggi menjulang, mencium berbagai aroma sampah yang menembus kain masker, melihat gerombolan sapi yang baru keluar dari tumpukan sampah, dan menyaksikan kegiatan warga yang bermukim di kawasan TPA. Bukan tanpa alasan, melainkan karena ingin memperlihatkan sisi lain dari Kota Makassar yang penting untuk disorot, terutama oleh kaum-kaum intelektual, disamping ingin melihat reaksi setiap orang yang melihat tempat istimewa ini.
Tempat ini menjadi istimewa karena mengandung banyak makna hidup (meaning of life). Pertama, orang-orang yang tinggal di kawasan ini mengais rezeki di tengah tumpukan sampah yang jelas berbau tak sedap. Dari sampah-sampah itu mereka berusaha untuk bertahan hidup, bahkan tak jarang barang rongsokan yang kita buang mereka pungut kembali lalu diambil jika masih layak pakai. Bayi dan anak-anak mereka sudah sangat akrab dengan aroma sampah, apalagi jika TPA kembali kebakaran, maka asapnya yang beracun akan menemani aktivitas anak-anak kecil di sana. Mereka tetap menikmati makanan di dekat tumpukan sampah, saat tak sedikit orang merasa jijik terhadap sampah. Ada banyak hal yang mungkin luput untuk kita syukuri, sementara di luar sana saudara-saudara kita lebih susah tapi tetap bersyukur.
Kedua, Peternak sapi yang kesulitan mencari makanan untuk ternaknya, memilih membawa sapi-sapinya ke TPA, memakan sampah. Ini yang membuat daerah Tamangapa Antang langganan macet, terutama di siang hari menjelang sore, karena rombongan sapi yang juga menggunakan jalan umum untuk mencari makan di TPA. Hal ini menunjukkan betapa minimnya lahan peternakan di ibu kota, karena telah dipenuhi dengan pembangunan gedung-gedung serta perumahan cluster. Sehingga juga berdampak pada kualitas ternak.
Ketiga, TPA juga menjadi tolak ukur dari efektivitas pengelolaan sampah. Karena pengelolaan sampah yang efektif dapat menjadi salah satu indikator dari good urban governance atau tata kelola pemerintahan yang baik. Sejauh ini, tata kelola sampah di Kota Makassar masih menggunakan sistem open dumping, sehingga tumpukan sampah menjadi overload dan mengganggu kenyamanan penduduk sekitar. Akhirnya, timbullah isu mengenai desakan pembebasan lahan di kawasan TPA Antang oleh warga setempat. Sistem dumping ini juga tidak ramah lingkungan, sebab berpotensi menimbulkan pencemaran terhadap tanah, air serta pencemaran udara.
Selain menjadi bahan refleksi bagi pemerintah kota, hal ini tentu dapat menjadi bahan mawas diri bagi masyarakat untuk meningkatkan self awarness (kesadaran diri) serta kepedulian terhadap lingkungan. Sebenarnya hanya ada dua cara untuk menangani kasus sampah di ibu kota, yaitu pola komsumtif dan tata kelola sampah. Karena produksi sampah erat kaitannya dengan tingkat konsumsi masyarakat. Dengan mengendalikan hasrat konsumtif sejatinya dapat berkontribusi dalam menekan jumlah sampah yang diproduksi. Kemudian juga dengan memanfaatkan Mall Sampah Makassar diharapkan mampu membantu dalam pengelolaan sampah yang belum efisien.
Keempat, Antrean mobil angkutan sampah (Tangkasaki) di kawasan TPA menyebabkan kemacetan panjang. Para supir rela mengantri berjam-jam lamanya, hingga tembus pagi untuk menunggu giliran membongkar muatan sampah. Hal ini menjadi keluhan beberapa petugas kebersihan kota terutama para supir Tangkasaki yang menganggap bahwa pemerintah kurang memerhatikan TPA dan kondisi mereka yang harus menghabiskan banyak waktu untuk mengantri.
Dari satu tempat sebenarnya mampu memberikan banyak refleksi dan pelajaran. Jangan sampai karena sesuatu itu terlihat kecil, sehingga kita abaikan. Jangan sampai karena lokasi TPA Antang berada di pinggir kota, lantas dianak-tirikan. Sederhananya, pemerintahan yang belum mampu mengelola sampah dengan baik, kemungkinan besar juga belum mampu memberikan layanan kesehatan dengan efektif. Karena udara yang dihirup oleh penduduk kota, telah bercampur dengan gas yang dihasilkan oleh sampah di TPA itu, asap-asap kendaraan, dan limbah pabrik. Sementara kejernihan pikiran, kualitas, serta kesehatan manusia sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Mengingat perkataan Eo Wilson bahwa, “Alam dan lingkungan kita memegang kunci untuk kepuasan estetika, intelektual, kognitif, dan bahkan spiritual kita.”
Penulis adalah Kolumnis di Makassarbicara.id