Oleh: Fathurrahman
Makassarbicara, Makassar – Perjalanan dunia kemahasiswaan adalah sebuah nilai yang sarat akan makna.
Hal itu dimulai ketika seorang mahasiswa baru menginjakkan kakinya dalam perguruan tinggi, hingga pulang mengabdikan diri dengan gelar dan atribut yang mendefinisikan kemampuannya.
Bulan ini adalah bulan yang begitu berkesan bagi ribuan calon mahasiswa baru, dimanapun, tidak terkecuali calon mahasiswa baru Universitas Muhammadiyah Makassar.
Kesan awal “Initial Impression” sebagai mahasiswa baru adalah ketika dengan gembira merasakan euforia perkenalan “Ta’aruf” dengan teman-teman yang datang dari berbagai daerah, suku, dan budaya.
Bukan hanya calon mahasiswa baru, akan tetapi para pengurus lembaga kemahasiswaan juga antusias menyambut mereka.
Namun miris, Surat Keputusan (SK) Pimpinan Universitas Muhammadiyah Makassar menyoal Ta’aruf mahasiswa baru menyisakan keluh.
Kabarnya, pagelaran penyambutan akan dilakukan secara Hybrid (Kombinasi online dan offline).
Meski hal seperti ini sudah terjadi dalam beberapa gelombang penyambutan mahasiswa baru di Unismuh, namun perlu digarisbawahi bahwa penyambutan maba secara Online kemarin adalah dampak dari wabah ataupun peristiwa global yang mengharuskan kita membatasi pertemuan secara langsung.
Hari ini, tak ada dasar yang cukup jelas untuk melakukan hal yang sama.
Apakaha pemangku kebijakan tidak ingin menyambut mahasiswa baru sebagaimana penyambutan di kampus-kampus yang lain?
Saya, beberapa pengurus lembaga dan ratusan Mahasiswa lain tentu harus menaruh curiga.
Ada banyak keganjilan yang terjadi di tubuh Pimpinan Kampus Biru ini.
BEM-U ‘Tanpa Taji’
BEM Universitas (BEM-U) memiliki peran strategis dalam carut marut permasalahan ini.
Sebagai lembaga korektif yang menempati posisi nomor satu, BEM-U mestinya menjadi wasilah dalam mengoreksi kebijakan yang timpang.
Namun, melihat rekam jejaknya, sejak dilantik, tak ada dampak signifikan yang dibuatnya.
Menaruh harapan tinggi pada BEM-U justru tak membuahkan apa-apa.
Selain itu, Mahasiswa baru mesti menyadari, seremonial penyambutan mereka di kampus hanya terjadi sekali.
Harus ada protes dan pertanyaan, kenapa Masa Ta’aruf ini tak digelar offline?
Kemerosotan kini telah merasuki kampus, ada inkondusifitas pada tempat menimbah ilmu.
Selain itu, keputusan Pimpinan menyoal metode ta’aruf ini merepresentasikan Unismuh sebagai kampus yang “tak ramah”.
Harapannya, Pimpinan membuka ruang diskusi bagi suara-suara sayup di lorong-lorong lembaga kemahasiswaan.
Sebab, ada pihak yang merugi dengan kebijakan itu.
Atau hanya saya yang risau?
Penulis adalah anggota Bidang Organisasi BEM FAI Unismuh 23-24