Oleh Ari Purnama*
MAKASSARBICARA.ID – Politik memiliki pengaruh sangat dominan dalam pembangunan suatu bangsa. Ini diwujudkan dalam desentralisasi politik yang membebaskan tiap daerahnya melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Hal ini dilakukan untuk mencari kepala daerah yang memang diinginkan warga memimpin wilayahnya. Sayangnya, di dalam proses tersebut kerap terjadi politik dinasti, sebuah sistem yang dibangun oleh elit lokal yang mengikutsertakan kerabatnya dalam pemilihan tersebut. Ini juga bakal bersinggungan dengan dinasti politik yang pada akhirnya bisa mempengaruhi sebuah ekosistem politik yang ada.
Dinasti Politik Vs Politik Dinasti di Indonesia
Negara demokrasi harus benar-benar membuka lebih banyak kesempatan politik untuk menjamin partisipasi rakyat dalam proses politik. Ruang partisipasi publik dalam kontes politik daerah dan Negara harus sangat terbuka.
Bahkan, munculnya politik dinasti menghalangi partisipasi karena status sosial atau hak mereka sangat berbeda dengan keluarga pejabat atau mereka yang menjabat. Jika ingin menjadi kepala daerah, Dewan Perwakilan Rakyat harus melalui partai politik tertentu. Sebelum dimulainya debat politik, ketika partai politik mencalonkan calon untuk pemilihan kepala daerah atau pilkada, selalu ada calon yang berasal dari keluarga pengurus partai politik.
Politik dinasti dan Dinasti politik adalah dua hal yang berbeda. Politik dinasti adalah proses mobilisasi pembaharuan kekuasaan oligarki dengan tujuan memperoleh kekuasaan atau kelanggengan. Dinasti politik adalah sistem reproduksi kekuasaan berdasarkan keluarga atau kekerabatan.
Dinasti politik di Indonesia sudah muncul sejak orde lama, yakni dalam keluarga presiden pertama Indonesia, Soekarno. Dilanjutkan juga oleh pemimpin selanjutnya, Soeharto, Gusdur, SBY, bahkan sampai dengan Presiden Jokowi, dimana sebuah sejarah Anak dan menantu Presiden menjadi kepala daerah Kabupaten/Kota. Bukan tidak mungkin selanjutnya akan naik ke tingkat Provinsi.
Dalam ranah lokal, dinasti politik muncul sejak pertama kali pemilukada langsung diberlakukan pada tahun 2005 maupun implementasi otonomi daerah tahun 2001. Sebagai wujud demokratisasi lokal pada saat itu, berbagai elit politik lokal muncul untuk mengkooptasi kedua proses tersebut. Kemunculan para elit tersebut dikenal dengan reorganisasi kekuasaan.
Dalam paper yang berjudul Indonesia’s 2009 Elections: Populisme, Dynasties and the Consolidation of the Party System (Mietzner, 2009), menilai bahwa kecenderungan politik dinasti cukup menguat dalam politik kontemporer Indonesia.
Dinasti politik di Indonesia dilakukan dengan dua cara: by design dan by accident. Dinasti politik by design telah terbentuk sejak lama. Secara relasi, jejaring familisme dalam pemerintahan sudah kuat, sehingga kerabat yang ingin masuk dalam peruntungan Politik sudah diatur sedemikian rupa untuk merekayasa keberhasilan tujuannya.
Adapun dinasti politik by accident terjadi dalam situasi suksesi pemerintahan yang secara tiba-tiba mencalonkan kerabat untuk menggantikannya demi menjaga kekuasaan informal terhadap penggantinya jika menang dalam kontestasi Politik.
Di banyak negara yang terdapat pejabat pemerintah yang membangun dinasti politik memiliki latar belakang yang berbeda-beda, misalnya dinasti politik Kennedy yang dikenal sebagai dinasti yang cerdas, berkualitas,berintegritas, dan religius; dinasti Nehru-Gandhi, yang dikenal sebagai dinasti yang mempunyai peran penting dalam wujud India modern saat ini. Dinasti politik di Indonesia justru berbahaya jika tidak dicegah, karena berdasarkan fakta yang terjadi, mekanisme dan ketentuan dalam pencalonan belum diatur dengan tepat.
Bahayanya Dinasti Politik di Indonesia
Pertama, politik kekerabatan di Indonesia menyulitkan masuknya kritik, pengawasan, maupun mekanisme checks and balances. Dinasti politik di Indonesia sebatas mengutamakan kekerabatan, dan dalam pengambilan kebijakan juga menguntungkan pihak tertentu saja.
Kedua, berkembangnya politik dinasti menyebabkan playing field mengalami ketimpangan karena politik dinasti sudah mampu mengakumulasi pengaruh, kekayaan, penguasaan terhadap wilayah, maupun control ekonomi tertentu, sehingga memungkinkan persentase kemenangan yang potensial dalam kontestasi politik dibanding calon lain yang masih memiliki keterbatas dalam sumberdaya dan modal
Ketiga, tumbuh suburnya politik dinasti menunjukkan bahwa institusionalisasi kepartaian yang semakin buruk dan menunjukkan kualitas partai politik yang lemah.
Keempat, kekuatan partai politik semakin melemah karena kekuatan individu kandidat menjadi faktor determinan dalam kemenangan kontestasi. Partai politik mengutamakan calon yang mempunyai hubungan dengan kerabat yang memiliki jabatan politik karena dianggap mumpuni dari segi finansial popularitas, serta kemampuan dalam memobilisasi massa.
Dinasti Politik dan Korupsi
Dinasti politik sering dinilai negatif. (Susanti, 2018) melihat politisi dinasti menghabiskan lebih banyak sumber daya, khususnya dalam investasi di infrastruktur perkotaan, kesehatan dan sanitasi. Namun tidak menghasilkan perbaikan dalam pertumbuhan ekonomi dan perubahan kualitas pelayanan publik.
Dinasti politik tidak hanya menciptakan kecenderungan ketidakadilan dalam demokrasi maupun inefektivitas dan inefisiensi pemerintahan, namun juga potensial memberikan persoalan pada penyalahgunaan kekuasaan.
Lord Acton melihat kekuasaan yang absolut akan menimbulkan korupsi yang absolut pula. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa dinasti politik cenderung memiliki kekuasaan yang besar (mengakar), sehingga kecenderungan perilaku korupsi juga terbuka.
Meskipun tidak bisa dipastikan bahwa dinasti politik akan selalu membangun rezim yang korup, namun dinasti politik yang mengakar kuat dan luas baik secara sektoral atau territorial akan membuka peluang pemerintahan yang tidak terkontrol. Hal tersebut disebabkan pemerintahan cenderung tertutup, tidak transparan, dan minim pengawasan, serta Ambisi kekuasaan yang besar dari para pelaku politik dinasti.
Para politisi suatu dinasti cenderung berusaha mempertahankan dan memperbesar kekuasaan, di berbagai jabatan kekuasaan dan wilayah kekuasaan.
Para keluarga atau kerabat di sekitar penguasa memiliki kepercayaan diri yang besar akan berhasil memenangkan kompetisi pemilihan dari dukungan dinasti yang ada.
Hampir sama dengan sinyalemen tersebut, politik dinasti juga sering dituduh sebagai upaya melindungi praktek-praktek penyalahgunaan kekuasaan yang sudah berlangsung sebelumnya, sehingga penguasa akan memperbesar kekuasaan dengan cara menempatkan kerabat/keluarga di berbagai jabatan.
Penulis merupakan Magister Ilmu Komunikasi Universitas Lampung