*Oleh: Muhammad Yaras
“Perampasan ruang hidup merujuk pada praktik dimana entitas pemerintah, perusahaan besar, atau individu kaya, mengakuisisi tanah dari masyarakat lokal. Tujuannya adalah untuk kepentingan komersial industri dan pariwisata, dengan menomorduakan kepentingan rakyat”.
Seringkali perampasan tanah terjadi tanpa persetujuan atau kompensasi yang memadai kepada pemilik atau masyarakat lokal.
Akibatnya, semakin maraknya pengusiran paksa, hilangnya mata pencaharian, serta masalah sosial dan ekonomi lainnya.
Contoh nyata yang saat ini gempar adalah PSN (Proyek Strategis Nasional) Rempang Eco city yang mendapatkan gelombang penolakan dari masyarakat setempat.
Mirisnya di tengah penolakan masyarakat Rempang, pemerintah justru menunjukkan kebengisannya dengan menurunkan aparat kepolisian.
Aparat itu kemudian berdalih mengendalikan massa, justru merepresif warga dengan menembakkan gas air mata hingga kontak fisik.
Di tengah situasi yang terus memanas, dalam sebuah kesempatan Presiden Jokowi mengatakan, bahwa masalah di Rempang ‘hanya masalah komunikasi dengan masyarakat’.
Kegagalan memahami masalah diperparah dengan pernyataan Menteri Investasi, yang mengatakan jika proyek Eco city tersebut gagal, maka masyarakat akan mengalami kerugian besar, termasuk kehilangan lapangan pekerjaan. Padahal warga Rempang, sejak lama telah bekerja dan hidup tentram tanpa proyek tersebut.
Bagi penulis, tanggapan pemerintah tersebut terkesan terlalu memaksakan kehendak. Mestinya, pemerintah mempertimbangkan keberlanjutan proyek tersebut lantaran menuai penolakan besar.
Setidaknya terdapat 16 kampung yang menolak untuk direlokasi.
Alasannya, warga telah mendiami tanah tersebut sejak 1834. Sementara wacana Eco City baru mencuat tahun 2004.
Kebengisan pemerintah benar-benar tampak seperti penjajah. Pemerintah dengan dalih investasi tak lagi mempertimbang suara, air mata, dan darah yang tertumpah.
Ada logika berbahaya yang masih diidap pemerintah, yaitu semua yang dianggap mengganggu proyek akan disapu rata.
Bahkan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan akan membuldozer masyarakat yang menghalangi proyek pemerintah.
Wal hasil, tanah Rempang yang dipertahankan masyarakat selama ratusan tahun dari penjajah, kini dijajah kembali penjajah, dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara.
Bung, inilah Indonesia, negara demokrasi yang ditafsirkan ‘Dari rakyat untuk rakyat’ menjadi ‘Dari rakyat untuk pemerintah, dan pemerintah untuk investor’.
Tetap Gemakan Suara Perlawanan.
Penulis adalah Pengurus Bidang Sospol HIMATEP FIP UNM