*Oleh Sarvin
MAKASSARBICARA.ID – Bayangkan bagaimana jadinya jika pemegang kekuasaan tertingi dalam kampus ikut berkontestasi dalam Pemilu 2024?
Apa pengejawantahan Tri Dharma Perguruan Tinggi tidak terganggu?
Harusnya pendidikan tinggi bebas dari intervensi politik untuk bisa menjadi wadah netral dan berfokus pada pengembangan ilmu pengetahuan.
Senada dengan Jurgen Habermas dalam bukunya berjudul ‘The Structural Transformation of the Public Sphere’ (1962), yang membahas peran universitas dalam menciptakan ruang publik serta berperan khusus sebagai tempat pertukaran ide politik dan diskusi.
Diskusi tentang politik dalam lingkungan kampus bukanlah fenomena tabu dan baru. Namun tentu kita harus jeli melihat berbagai macam polarisasi partai politik yang kian mudah memasuki kampus dalam melancarkan segala kepentingan politiknya.
Teranyar, kejelian perlu dikuatkan imbas keputusan MK No. 65/PUU-XXI/2023 mengenai perizinan partai politik untuk berkampanye di institusi pendidikan, termasuk kampus dan sekolah.
Ketika kampus dijadikan sebagai tempat kampanye untuk kontestasi pemilu, tentu para aktor kampus akan berpeluang mengalihfungsikan kekuasaannya demi melancarkan segala kepentingan politiknya. Apalagi ketika aktor kontestasi pemilu adalah Rektor Universitas.
Mungkin saja proses belajar mahasiswa akan terganggu ketika ada praktik kampanye. Semisal ada sesi atau upaya si aktor untuk kampanye lewat menyanyikan lagu mars partai tertentu.
Secara psikologi, hemat penulis, mahasiswa akan berpotensi terdoktrin dengan niatan-niatan dalam praktik kampanye tersebut. Mengganggu bukan?
Penulis tak habis pikir melihat perilaku Rektor Orengs. Pasalnya, spanduk miliknya terbentang di sepanjang jalan Sulbar. Tak ketinggalan, mahasiswa juga diutus untuk ber-KKN di sana.
Padahal ketika ditelisik lebih jeli, masih banyak pelosok desa terbelakang di Sulsel.
Layaknya ninja yang senyap dan tepat, Rektor acap kali bertemu dengan tokoh-tokoh parpol. Bahkan menghadirkan tokoh-tokoh parpol dalam beberapa kuliah umum.
Aneh kan? Dan untuk apa? Padahal masih banyak tokoh-tokoh pendidikan berkompeten di luar parpol yang bisa diundang. Tentu itu akan menjauhkan mahasiswa dari kecurigaan.
Selain itu, personal branding Pola Hidup Sehat, disingkat PHS, kerap penulis temukan. Entah itu dalam Dies Natalies atau saat pembekalan Mahasiswa sebelum KKN.
Kira-kira, apa tujuan personal branding tersebut digaung-gaungkan? Kerap kali, dosen dan mahasiswa juga ikut-ikutan menggaungkannya.
Penulis tak keberatan jika Pola Hidup Sehat digaungkan sebagai nasihat, tapi ketika ada maksud lain bagaimana?
Fenomena tersebut menjadi tanda tanya besar bagi penulis. Jika benar Rektor Orengs berkontestasi dalam Pilgub 2024, penting mengindahkan amanat UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Pasal 7 Ayat 2 Poin (t) untuk segera membuat secara tertulis pengunduran diri sebagai PNS.
Sebab Pasal 5 Ayat 2 Poin (h) UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN jadi acuan. Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap ASN harus menghindari konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya.
Yah….. arkian, penulis hanya mengingatkan untuk mempertimbangkan dampak menyeluruh dari setiap agenda-agenda politik praktis agar proses pembelajaran mahasiswa tidak terganggu dan tetap menjadi prioritas utama.
Penulis merupakan salah satu Mahasiswa di Makassar.