Fenomena Latto-Latto dan Krisis Kepemimpinan


Penulis Bermain Latto-Latto

Oleh Muhammad Yusran*

MAKASSARBICARA.ID – “Tak tok tak tok” mereka berlari di depan kantor camat sambil main latto- latto. Suara latto-latto mereka mengganggu pemerintah yang sedang khusyuk bertransaksi di dalam kantor. “Brengsek itu anak, saya jadi salah hitung uang,” Ujarnya.

Fenomena latto-latto marak kita jumpai di lorong-lorong Kota Makassar. Permainan yang pernah eksis pada tahun 70-an kembali digandrungi oleh anak-anak sekarang, termasuk adik saya.

Meskipun pernah dihimbau oleh Polrestabes Makassar dengan dalih berbahaya dan suaranya mengganggu tetapi tidak menyurutkan semangat adik saya untuk latihan main latto-latto. Tiada hari tanpa latto-latto dan semakin hari dia semakin hebat.

Saya perhatikan terjadi perubahan pada psikomotoriknya. Bukan hanya semakin ceria tetapi juga lebih sering bersosialisasi dengan temannya, sekadar memainkan bersama latto-lattonya dan sesekali saling unjuk kemampuan. 

Berbeda jauh dengan kondisinya kemarin yang hanya diam dirumah dengan gawainya menikmati game online. Sekarang adik saya sudah menemukan dunia baru dengan latto-latto.

Saya baru sadar ternyata adik saya terjangkit virus beyoisme (ikut-ikutan). Berawal dari provokasi temannya membeli latto-latto hingga skillnya sekarang sudah layak pentas.

Ternyata virus beyoisme bukan hanya menjangkiti adik saya tetapi sudah menjadi wabah generasi kita. Lantas apa yang harus dilakukan?

Hemat penulis, para pemimpin harus memanfaatkan kondisi ini untuk menggiring generasi menuju pemberdayaan yang optimal.  

Aktivitas edukatif harus menjadi proyek viralitas. Agar atmosfer sosial tidak lagi dipenuhi tontonan amoral dan pencitraan si tikus berdasi.

Maka seorang pemimpin harus menjadi arsitek peradaban yang merancang pola perubahan sosial secara kolektif. Serta desain konsep pemberdayaan untuk mengokohkan bangunan karakter generasi penerus.

Tetapi alih-alih memberdayakan malah menyakiti hati anak-anak dengan di gosting saat peringatan hari jadi Makassar. Padahal mereka sudah siap tampil dan telah latihan cukup lama.

Ini hanya salah satu khilaf beberapa pemimpin di Kota Makassar dari sekian banyak tragedi yang harus segera dibenahi.

Kondisi memprihatinkan juga saya jumpai pada beberapa kampus di Makassar. Jual beli gelar akademik, pungli wisuda dan pelecehan seksual ramai menghiasi dunia kampus yang katanya ruang intelektual.

Saya prihatin melihat salah satu Ketua lembaga kampus menjadi aktor utama tindakan kriminalitas. Ternyata kampus sebagai inkubator kepemimpinan hanya melahirkan sampah masyarakat.

Pappasang Karaeng Pattingalloang

Sepulang sekolah adik saya membawa buku dengan gambar sampul wajah Karaeng Pattingalloang bersongkok guru.

Saya iseng membukanya dan membaca beberapa pappasang (petuah) dari Karaeng Pattingalloang. Kiranya pappasang ini harus menjadi bahan renungan bagi pemimpin sekarang.

Karaeng Pattingalloang memberikan beberapa pappasang tentang krisis kepemimpinan yang menjadi kehancuran sebuah negeri.

Pertama, Punna tenamo naerok nipakaingak karaeng maggauka (Bila raja yang memerintah tidak mau diperingati atau dinasihati lagi).

Pappasang ini harus menjadi spirit bagi seorang pemimpin baik di lingkup pemerintahan maupun di ruang kampus untuk mendengar tangarak (saran/aspirasi) dari orang yang dipimpinnya.

Tetapi yang saya lihat “Kritikmu mantap kau kutangkap.” Harusnya aspirasi masyarakat/mahasiswa jangan diabaikan, didiskriminasi apalagi di kriminalisasi.

Sebab suara rakyat adalah bahan pertimbangan pemimpin dalam menggunakan wewenangnya. Sehingga kebijakan yang diambil betul-betul berpihak kepada rakyat.

Kedua, Punna majai gauk lompo ilalang pakrasanganga (Jika terlampau banyak kejadian besar di sebuah daerah yang menggelisahkan rakyat).

Makassar menjadi arena kriminalitas dewasa ini. Mulai dari kasus busur-busur, pelecehan seksual dan baru-baru ini kembali terjadi penculikan dan pembunuhan anak.

Semoga drama ini segera berakhir. Bukan menunggu banyak korban kemudian pemerintah baru bertindak. Seharusnya pemerintah cepat dan tepat seperti adik saya saat bermain latto-latto.

Ketiga, Punna mangalle sogok gallarang mabbicaraya (bila para pejabat mengambil sogokan atau jika mereka melakukan korupsi).

Saya kaget saat membaca berita di Kompas bulan lalu. Beberapa pejabat kecamatan di Makassar berulah, mereka ramai-ramai kembalikan uang korupsi. “Waduh, ngeri juga Pak Camat dkk,” Ujarku.

Saya Pun meletakkan kembali buku yang dibawa adik saya. “Sungguh benar petuahmu Karaeng, seandainya pemimpin sekarang ingin memetik buah keteladanan dari pohon kepemimpinan anda maka sejahteralah kami.” Ujarku.

Saya melihat pemimpin sekarang hanya mewarisi songkok guru Karaeng Pattingalloang. Fotonya memenuhi ruas jalan, terlihat si paling beradat dengan songkok gurunya tetapi nyata mereka malas berpikir (tena siri’) dan juga tuna rasa (tena pacce).

Riuhnya bunyi latto-latto harus diiringi dengan festival keteladanan para pemimpin. Falsafah makassar harus diperankan dalam panggung kehidupan.

Siri’ na pacce jangan hanya ditulis dibalihomu dan jangan hanya terucap saat kamu sambutan. Siri’ na pacce harus menjadi melodi yang mengiringi jalan panjang peradaban Kota Makassar.

Waduh, latto-latto adik saya mengenai kepala Pak Camat, kau kutangkap!

Penulis Merupakan Ketua Bidang Kader PC IMM Makassar Timur