Fitrah Manusia yang Bertentangan dengan Misi Ilahiah


Penulis

*Oleh Sulaiman Saputra

MAKASSARBICARA.ID – Masa iya ciptaan bertentangan dengan penciptanya?

Mungkin itu boleh saja terjadi sebagai rekayasa besar tuhan, agar ciptaannya sadar bahwa betapa tersesatnya dalam menjalani kehidupan tanpa ada petunjuk dari sang pencipta.

Dan mungkin ini salah satu alasan kenapa orang memilih beragama, bukan hanya persoalan keselamatan di akhirat saja, tetapi juga keselamatan di dunia.


Fitrah Manusia

Buku “Diri Yang Tak Ditemukan” yang ditulis oleh Carl Gustav Jung menyinggung soal fitrah atau sifat bawaan manusia. Bahwa dalam diri manusia mengalir hasrat yang dibawa sejak lahir untuk melakukan kejahatan.

Maka pada dasarnya manusia secara kolektif berada dalam lingkaran hitam yang selalu mengancam lewat potensi menciptakan sebuah kerusakan.

Dalam keadaan tersebut, kejahatan tanpa dikehendaki akan selalu ada dalam imajinasi manusia. Kalau mau jujur dengan diri sendiri, maka pasti kita aamiinkan bahwa manusia adalah makhluk yang hina.

Bagaimana tidak, tanpa disadari tiba-tiba muncul pikiran untuk merusak sesuatu (seperti nafsu seksualitas, dendam, iri dengan pencapaian orang lain, membenarkan segala cara untuk memenuhi hasrat kekuasaannya, dan pikiran-pikiran pengrusakan lainnya yang menuntut agar sesegera mungkin dilakukan), yang pada dasarnya pikiran merusak tersebut bertentangan dengan norma yang diyakini masyarakat pada umumnya (misalnya aturan adat, negara maupun agama).

Hal tersebut juga dibenarkan oleh Sigmund Freud, bahwa dalam diri manusia terdapat kepribadian ‘id’ (dorongan dalam diri manusia agar segera dipenuhi), misalnya insting dan nafsu (makan, minum dan seks).

Agar kita lebih mudah mengingat kepribadian id pada manusia, maka kita bisa ibaratkan kepribadian id sebagai sifat kebinatangan pada manusia.

Kepribadian id memiliki prinsip kenikmatan ataupun kesenangan yang menuntut untuk segera diwujudkan, tanpa melihat benar atau salah, yang jelas bisa terpenuhi.

Jika segala keinginan kepribadian id diikuti dan dibiarkan menganga lebar, serta dibebaskan untuk mengekspresikan dirinya, maka yakinlah kekacauan akan merajalela.

Bisa kita lihat di lingkungan sekitar, misalnya korupsi, perselingkuhan, pelecehan seksual, eksploitasi lingkungan, serta kejahatan-kejahatan lainnya, itu semua terjadi karena tidak terkontrolnya sifat kebinatangan pada manusia.

Hal inilah yang menyebabkan, mengapa kita harus berhati-hati kepada makhluk yang namanya manusia dan tidak berlebihan dalam memberikan suatu kepercayaan.

Karena mungkin saja manusia tidak berbuat jahat disebabkan waktu dan kondisi yang tidak mendukung. Kita juga tidak tahu kapan dan di mana sifat kebinatangan itu bisa saja tak terkendalikan.

Karena selama manusia masih hidup, maka kejahatan itu pun akan selalu ada, karena sumber kejahatan adalah manusia itu sendiri.


Agama Menjerat Manusia

Dengan adanya potensi dalam diri manusia untuk berbuat keburukan, ditambah lagi tidak adanya upaya untuk melawan hasrat tersebut dan selalu menurutinya, maka hal tersebut tentu akan memperburuk keadaan manusia.

Bisa kita bayangkan kekacauan akan terjadi di mana-mana jika manusia hanya mengikuti hasrat dalam dirinya. Agar manusia tidak hancur karena menuruti nafsunya, maka agama hadir untuk meredam itu semua.

Agama hadir sebagai pedoman manusia dalam menjalani kehidupannya, dengan iming-iming akan mengantarkannya pada keselamatan.

Dengan harapan itulah, maka manusia tunduk dan patuh terhadap perintah ataupun larangan dalam agama.

Menjalankan perintah agama memang berat, dikarenakan bertentangan dengan keinginan manusia yang selalu menuntut untuk segera dipenuhi tanpa melihat benar atau salah.

Sedangkan agama tidak membenarkan itu, dalam pandangan agama tidak semua dorongan dalam diri manusia harus dipenuhi secepatnya. Itu karena agama memiliki aturan benar atau salah, sehingga peraturan inilah yang mengatur manusia apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

Jika agama membawa pada keselamatan, mengapa banyak orang yang beragama tapi korupsi, tokoh agama yang melakukan pelecehan seksual pada santrinya, menjilat pemerintah, kejahatan yang merajalela, dll?,

Yang menjadi pertanyaannya adalah ajaran agama mana yang menganjurkan itu semua?

Jangan sampai orang-orang dianggap sholeh karena hanya menggunakan simbol-simbol keagamaan (pakaian agamis) untuk melakukan sesuatu atas nama agama dan kesejahteraan masyarakat.

Sebab saja itu semua dilakukan hanya sebagai batu loncatan untuk memenuhi hasrat kebinatangannya dengan berkedok agama.

Untuk menguji bagaimana agama mampu menyelamatkan manusia dari sifat kebinatangannya, maka bisa kita refleksikan pada diri sendiri.

Coba renungkan, kira-kira bagaimana keadaan diri kita ketika jauh dari agama? Dan bagaimana keadaanmu ketika dekat dengan agama?

Dari ke dua keadaan tersebut, kira-kira keadaan mana yang mampu menyelamatkanmu dari kehinaan atau kejahatan-kejahatan yang dapat merugikan diri sendiri dan juga orang lain?

Tentu yang bisa menjawabnya adalah diri kita masing-masing.

Penulis merupakan Ketua Umum PK IMM Psikologi UNM.