Gadis Kretek, Realitas Pahit Perempuan dan Bobroknya Bangsa


Penulis.

*Oleh Muh. Zulfikri Arman

MAKASSARBICARA.ID – Kesenjangan gender kerapkali terjadi disekitar kita. Terlebih lagi negara kita tercinta ini tak luput dengan budaya patriarki yang sangat kental.

Kekerasan seksual masih merajalela di mana-mana. Diskriminasi terhadap perempuan juga mudah dijumpai, seperti halnya dalam serial Gadis Kretek karya Karmila Andini.

Serial ini pertama kali tayang pada 2 November 2023, di Netflix. Film ini berhasil menempati posisi top 10 Global series non-inggris di seluruh Dunia. Film ini pastinya banyak menuai perhatian publik lantaran ceritanya cenderung mencerminkan realitas sosial.

Film ini mengisahkan tentang Jeng Yah atau Dasiyah, perempuan yang mengalami banyak tantangan dalam meracik rokok kretek lantaran stigma-stigma patriarki yang menghantui masyarakat kala itu. Jika dispesifikkan lebih lanjut, film ini memberikan gambaran mengenai perjuangan inklusif gender perempuan selaku pekerja perempuan di industri rokok.

Pada zaman itu, tepatnya tahun 1964, rokok dilabelkan sebagai objek yang hanya dapat diracik dan dikonsumsi oleh laki-laki. Sehingga pada film tersebut menampilkan sebuah dialog, yang seolah memberikan diskriminasi langsung terhadap kaum perempuan. Seolah menunjukkan jika perempuan meracik tembakau, rokok itu akan menjadi asam dan tidak layak dikonsumsi.

Tidak hanya itu, terdapat juga dialog-dialog lain seperti halnya perempuan hanya dapat bekerja di dapur dan melayani sang suami. Dapat dipastikan, ungkapan seperti itu menjadi pukulan telak bagi seorang perempuan.

Secara tidak langsung, kebebasan yang ia miliki perlahan direnggut oleh stigma-stigma patriarki itu.

Namun perjuangan Dasiyah tidak berhenti sampai di situ lantaran ia yakin bahwa dapat merubah stigma tersebut. Seiring berjalannya waktu, ia berhasil membuat rokok yang kualitasnya lebih baik dan tembakau racikannya itu sangat laris. Dasyiyah pun berhasil membungkam stigma-stigma masyarakat terhadap kaum perempuan.


Realitas Pahit Perempuan yang Terpinggirkan

Secara umum, perempuan perokok dianggap nakal atau binal. Ini pun melahirkan stigma lain di masyarakat bahwa perempuan nakal tidak memiliki masa depan yang jelas. Pada akhirnya, banyak kaum perempuan di luar sana terkucilkan dari kehidupan sosial. Sedangkan dalam film ini rokok adalah simbol, bentuk manifestasi Dasiyah agar dapat diterima di kalangan masyarakat.

Sumber: gramedia.com

Film ini memberi kesan masyarakat Indonesia masih dekat dengan pemikiran mistik atau mitos dan juga budaya patriarki yang sebetulnya merugikan. Selain itu, pelajaran yang dapat diambil adalah masyarakat harus mengkaji secara mendalam, mencari tahu apa hubungan antara merokok dan konotasi buruk perempuan dibanding melakukan cocoklogi antara keduanya.

Secara umum merokok merupakan hal buruk dan mungkin juga dapat merugikan tubuh manusia. Sedangkan perempuan buruk, hemat saya, hanya bentuk sentimental masyarakat luas terhadap kaum perempuan, yang lekat pada budaya patriarki. Jika memang rokok merupakan sesuatu hal yang buruk, lantas mengapa barang tersebut masih diproduksi hingga saat ini?

Selain persoalan rokok, kasus kekerasan dan pelecehan seksual juga masih kerap terjadi. Baru-baru ini diberitakan oleh beberapa media online mengenai kasus begal payudara oleh mahasiswa. Selain itu, banyak juga kasus serupa yang pernah terjadi.

Menurut catatan 21 Komnas Perempuan, yang dilansir dari komnasperempuan.go.id, menyatakan kekerasan dan pelecehan perempuan terus meningkat tiap tahunnya. Selama 21 tahun, terhitung sejak 2001, telah tercatat 3,8 juta laporan tentang kekerasan terhadap perempuan. Namun setelah diverifikasi, data kekerasan berbasis gender sebanyak 2,7 Juta laporan. Di tahun 2024, tercatat sebanyak 2.897 kasus baru yang terhitung sejak bulan Januari hingga saat ini.


SDGs, Kesetaraan Gender, dan Pemberdayaan Perempuan

Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan agenda Transforming our Word: The 2030 Agenda for Sustainable Development. Agenda ini disepakati dalam pertemuan puncak di PBB 25-27 November 2015. Goals yang tercantum pada SDGs tersebut merupakan pelengkap dari apa yang belum tercapai di tujuan pembangunan milenium (MDGs).

Tujuan ke-5 di SDGs adalah tentang mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Oleh karenanya, kelompok dan organisasi perempuan dituntut agar dapat mendorong pemerintah memperbaiki kebijakan dan peraktik yang selama ini merugikan kaum perempuan. Seperti halnya praktik pernikahan dini yang masih banyak terjadi di kalangan masyarakat.

Dampak dari praktik-praktik tersebut pastinya akan memberi pengaruh besar bagi pembangunan dan perkembangan bangsa kita. Oleh karenanya, dalam mencapai tujuan ke-5 tersebut, memerlukan keterlibatan bagi semua pihak, baik laki-laki hingga kaum perempuan. Film Gadis Kretek telah memberi gambaran sangat signifikan dan banyak pelajaran berharga yang dapat dipetik untuk dijadikan pedoman dalam berbangsa dan bernegara.

Penulis merupakan Ketua FLP Ranting Unismuh Makassar.