*Oleh Daeng Sangkala
MAKASSARBICARA.ID – Pasca Kota Makassar gagal meraih penghargaan Adipura, berbagai pihak menyalahkan Wali Kota. Satu anggapan yang keliru karena seolah-olah perolehan Adipura, tidak membutuhkan partisipasi publik.
Tulisan ini bukan untuk membela Wali Kota Makassar, tetapi menjadi pengingat bahwa Adipura bukan pekerjaan satu dua orang.
Sehari yang lalu, saya membaca artikel berjudul Danny Pomanto, Watak dan Blame Trap. Satu kritikan yang ditulis oleh Mulawarman.
Positifnya, tulisan Mulawarman mengingatkan kita bahwa pola kerja birokrasi di Indonesia masih cenderung tradisional, sehingga perlu adanya transformasi tata kelola pemerintahan. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Kota Makassar, tetapi masih kita temui di level kepemimpinan gubernur bahkan nasional.
Namun, disaat yang sama, tulisan Mulawarman melupakan satu hal, bahwa untuk memperoleh Adipura butuh partisipasi semua pihak.
Partisipasi dalam pembangunan Kota Makassar bukan hanya memberikan masukan/kritikan, tetapi lebih kepada bagaimana semua pihak ikut serta.
Semoga dalam konteks perolehan Adipura ini, Mulawarman turut terlibat aktif menjaga kebersihan Kota Makassar, minimal membuang sampah pada tempatnya.
*Pengakuan Atas Realitas
Sebagai warga Makassar, saya selalu menemukan realitas dimana mayoritas dari kita masih kurang patuh terhadap kebersihan kota. Saya tidak ingin masuk pada wilayah kebijakan publik, sebab juga masih sering terpaksa dan sengaja mengotori kota.
Namun harus diakui, mental masyarakat kita masih menomor duakan kebersihan kota, yakni gemar membuang sampah sembarangan.
Pun ketika terbit kebijakan publik dari pemerintah, namun tidak sejalan dengan perilaku warga, maka sama saja, Makassar tetap rantasa.
Jauh sebelum Adipura, kita harus jujur mengakui bahwa pemkot Makassar telah menunjukkan keseriusannya dalam memberantas sampah. Misalnya dengan menambah armada truk sampah hingga membentuk tim Pakkandatto.
Meski begitu, untuk kesekian kalinya kita harus mengakui realitas masyarakat kita. Sebaik apapun kebijakan, tidak ada artinya tanpa partisipasi publik.
Maka narasi yang menilai Wali Kota Makassar adalah selalu menyalahkan bawahannya, juga tidak sepenuhnya benar. Saya justru melihat sikap Danny Pomanto sebagai ‘penegasan’ tupoksi kerja masing-masing unsur pemerintahan, bahwa mesti ada evaluasi secara serius dalam bertugas.
Apa yang disebutkan Mulawarman tentang ‘kinerja bawahan tidak terlepas dari kualitas kinerja atasan’, bisa saja keliru. Sebab seringkali, kadar etos kerja dalam batang tubuh pemerintahan memiliki level berbeda-beda.
Terkadang, atasan punya visi besar namun tidak mampu diimbangi oleh bawahan. Hal ini yang perlu dipahami Mulawarman, agar tidak semata-mata menggeneralkan sesuatu.
Dalam bagian tulisan Mulawarman lainnya, ia memaparkan rentetan jejak digital Danny yang menurutnya cenderung menyalahkan sesuatu. Mulai dari menyinggung insiden tarik tambang maut hingga mengungkit peristiwa tahun 2018 silam.
Hemat saya, Mulawarman sebagai seorang jurnalis dan alumni kampus ternama, terlalu menampakkan ketidaksukaannya terhadap Danny. Hal ini tentu bukan masalah, namun membentuk kesan publik yang kurang etis terhadap Pemkot Makassar.
Mulawarkan seakan-akan dikuasai oleh amarah, sehingga sikap jernih dalam menilai masalah tidak terlihat.
Jika kelak Mulawarman menjadi Pengambil Kebijakan Publik, mungkinkah dirinya berhasil meraih Adipura meski tanpa partisipasi publik?
*Pentingnya Bertabayyun
Penilaian Mulawarman terhadap Danny perlu mendapat koreksi. Penilaian bahwa Danny terkesan ‘cuci tangan’ perihal kegagalan meraih Adipura tentu menjadi hal keliru lainnya.
Se pengamatan saya, Danny begitu aktif merespon berbagai hal. Gaya kepemimpinan aktif yang melekat pada Danny merupakan sikap positif, sekaligus sebagai bentuk kepeduliannya terhadap peristiwa.
Olehnya itu, Mulawarman perlu bertabayyun dan terlepas dari perasaan ketidaksukaan yang berlebih.
Dalam konteks Adipura misalnya. Apakah kegagalan Kota Makassar meraih Adipura adalah tanggung jawab pemkot semata?
Sekali lagi, Danny tidak pernah menyalahkan sepenuhnya bawahannya, apalagi memilih cuci tangan.
Kita mesti memahami posisi Danny selaku pimpinan yang menginginkan kinerja bawahan meningkat, termasuk mengoreksi dan mengintropeksi jajarannya.
Akhirnya, semua harus bertabayyun. Termasuk meluruskan anggapan Mulawarman yang mengatakan “masalah Makassar bukan di tataran keterlibatan pihak terkait dan legislatif dalam membangun kota dan sistem pemerintahan yang baik”.
Bung, bagaimanapun, kebersihan kota tidak bisa dikerjakan oleh segelintir orang, terlebih kota besar seperti Makassar.
Hemat saya, masalah Makassar adalah masalah kita semua sehingga membutuhkan keterlibatan semuanya. Tiap warga dan instansi/institusi memiliki perannya masing-masing, dan tugas kita adalah berkolaborasi.
Mari berperan untuk kemajuan kota.
Penulis adalah warga Makassar yang tinggal dipinggiran Kota, senang minum Sarabba.