Gengsi “Uang Panai” Berkedok Tradisi


Sumber; Dokumen Pribadi

*Oleh Muhammad Ali

MAKASSARBICARA.ID-Akhir-akhir ini sedang ramai dibincangkan di platform sosial media tentang pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA). Dua insan yang telah saling mencintai memilih untuk melepaskan masa lajangnya di KUA.

Hal tersebut dipandang sangat unik karena masyarakat Indonesia secara umum menginginkan pernikahannya yang megah dan penuh kemeriahan. Justru malah dibuat sesederhana mungkin yang penting sah dimata hukum negara dan agama.

Apakah hal tersebut bisa dilakukan oleh setiap orang? Tentu kita mengatakan itu bisa, dengan catatan kedua mempelai siap menerima konsekuensi-Nya, misalnya akan mendapatkan cacian, atau akan menjadi bahan pergosipan tetangga karena menyalahi tradisi di kalangan  masyarakat.

Disini saya akan berbicara tentang Uang Panai. Uang Panai atau yang biasa disebut uang belanja yang diminta oleh pengantin wanita merupakan tradisi adat suku Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan. 

Tradisi tersebut terbilang wajib dalam proses pernikahan, tapi apakah hal tersebut masuk dalam rukun pernikahan? yang ketika tidak ditunaikan pernikahan akan batal? Tentu kita mengatakan bahwa uang panai bukanlah termasuk dari rukun atau syarat pernikahan.

Uang panai juga sering dijadikan tolok ukur dari gelar atau pendidikan seorang wanita yang hendak dilamar, terlebih lagi jika memandang kasta dari keluarga mempelai wanita. 

Hal ini sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat bugis untuk memenuhi syarat tersebut sebelum melangsungkan pernikahan, selain itu tingginya uang panai juga menjadi penilaian masyarakat bahwa laki-laki yang melamar adalah berstatus kaya raya. 

Tentunya tradisi ini bisa kita sebut tradisi yang tidak sehat lagi. Tradisi adanya uang panai karena konon katanya dulu orang-orang asing sangat mudah menikahi perempuan bugis karena rendahnya uang panai, sehingga mesti ditinggikan agar wanita bugis bisa dilindungi.

Namun sekarang uang panai bukan lagi tradisi yang sehat, bukan lagi semata untuk perlindungan orang tua kepada anaknya dari laki-laki yang datang meminang, melainkan

Saling gengsi antar tetangga dan lingkungan keluarga Inilah yang disebut gengsi berkedok tradisi

Yang dimana masyarakat bersaing siapa yang anaknya lebih tinggi uang panainya, karena ketika uang panainya rendah maka akan menjadi buah bibir tetangga. 

Kita bisa mengatakan bahwa selama kita hidup maka selama itu pula tidak akan terlepas dari lidah manusia, tinggi atau rendahnya uang panai tidak akan menjadikan kita terlepas dari pembicaraan tetangga.

Uang panai juga menjadi salah satu kendala utama seorang laki-laki jika hendak melamar perempuan yang diinginkan, kenapa tidak. Nilai uang panai tidaklah berjumlah sedikit namun bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah, selain itu tingginya uang panai menjadi bentuk penghargaan terhadap seorang wanita. 

Namun karena tingginya uang panai membuat pasangan kekasih nekat memilih kawin lari atau dikenal dengan istilah silariang, karena merasa tidak direstui akibat terhalang uang panai yang tinggi. 

Hal inilah yang selalu menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat luar dan Sulawesi Selatan itu sendiri, terkait besaran uang panai yang amat mahal hanya demi menuruti gengsi.

Memilih kawin lari adalah pilihan yang memalukan diri sendiri juga memalukan keluarga, pilihan tersebut bukanlah pilihan yang tepat. 

Jika lamaran tidak diterima hanya persoalan uang panai, maka yang hendak kita lakukan adalah mencari wanita lain, toh perempuan tidak sekedar ada di Sulawesi selatan. Soal cinta atau tidaknya kepada wanita itu bisa dipupuk setelah menikah.

Menyikapi sebuah tradisi kembali lagi pada diri masing-masing. Setiap tradisi tentu memiliki sisi baik dan buruknya, dan tradisi panai ini bukanlah ajang untuk menunjukkan siapa yang paling ‘mahal’ dan siapa yang ‘murah’. 

Melainkan dari tradisi ini sisi baiknya kita bisa belajar untuk mendapatkan sesuatu, harus berusaha dan bekerja keras. Sisi buruknya, pernikahan bisa menjadi batal ketika uang panai tidak cukup.

Dalam Islam tidak diatur mengenai ketentuan uang panai akan tetapi hukumnya mubah, yang penting uang panai tidak bertentangan dengan syarat pernikahan dan tidak ada unsur keterpaksaan, hal ini sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan dari pihak laki-laki.

Yang diatur dalam Islam ialah bagaimana seorang perempuan yang tidak memberatkan maharnya, dan bagaimana seorang lelaki yang memberikan mahar terbaik baik seorang perempuan yang ingin dinikahi-Nya.

Semoga Allah SWT memudahkan setiap langkah-langkah kita dalam melakukan ibadah yang mulia ini tanpa adanya rintangan yang memberatkan.

Penulis merupakan Mahasiswa Islamic University of Madinah